in ,

Prof ESI: Perlu Reformasi Sistem PPN untuk Optimalkan Rasio Perpajakan

Prof ESI
FOTO: Dok. Pribadi/Desain: Muhammad Iksan Jamaludin

Prof ESI: Perlu Reformasi Sistem PPN untuk Optimalkan Rasio Perpajakan

Pajak.com, Jakarta – Dalam Dokumen Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menargetkan rasio perpajakan di kisaran 10,7 persen hingga 12,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan. Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia yang juga Guru Besar Politik Hukum Pajak Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Prof. Dr. Edi Slamet Irianto, S.H., M.Si. (Prof ESI) berpandangan, target rasio perpajakan dapat dioptimalkan salah satunya dengan reformasi sistem pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Kenapa sistem PPN kita harus diperbaiki? karena sistem pengkreditan PPN itu bukan pada pembayaran PPN, tapi berdasarkan sistem transaksi yang dilakukan. Faktur pajak adalah bukti transaksi, bukan bukti pembayaran PPN, namun bisa diklaim sebagai bukti pembayaran. Sistem ini sangat keliru, karena menimbulkan celah-celah yang bisa merugikan negara,” ujar Prof ESI kepada Pajak.com, di ruangannya, (15/11).

Dalam perkembangannya, regulasi mengenai PPN telah mengalami empat kali perubahan. Pertama, melalui Undang – Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1994 yang mulai berlaku pada 1 Januari 1995. Kedua, setelah dilakukan pengesahan UU Nomor 18 Tahun 2000 yang berlaku pada pada 1 Januari 2001. Ketiga, melalui UU Nomor 42 Tahun 2009 yang mulai berlaku pada 1 April 2010. Keempat, UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mulai berlaku pada 29 Oktober 2021 sekaligus menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen—dari sebelumnya 10 persen.

Meski mengalami empat kali penyempurnaan aturan, Prof ESI yang baru saja memasuki masa purnabakti setelah sekitar tiga dasawarsa mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkeyakinan, reformasi sistem PPN merupakan hal fundamental yang perlu dilakukan. Secara filosofis, PPN merupakan pajak yang dipungut dari masyarakat sehingga seyogianya langsung disetor ke negara.

“Jangan sampai pajak yang dibayarkan masyarakat tidak sampai atau tidak langsung disetor ke negara. Sementara otoritas perpajakan tidak punya alat kontrol yang efektif, selain mengandalkan laporan faktur pajak. Sekarang bagaimana kita bisa menjamin faktur pajak itu sudah dibayarkan ke kas negara. Kita tidak bisa mengontrol itu, tapi pemerintah sudah mengakui dia membayar pajak,” ungkap penulis buku berjudul Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia ini.

Oleh sebab itu, Prof ESI mengusulkan agar faktur pajak dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setelah PKP membayar pajak. Selain penerimaan pajak menjadi optimal, tidak akan ada lagi potensi faktur cacat, faktur fiktif atau faktur pajak Tidak Berdasarkan Transaksi yang Sebenarnya (TBTS).

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 132/PJ/2018, faktur pajak TBTS adalah faktur pajak yang terbit tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau faktur pajak yang diterbitkan oleh pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP. Modus yang kerap terjadi, yaitu, PKP membeli faktur pajak fiktif masukan dan mengkreditkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN. Tujuannya adalah agar PKP tersebut memperoleh restitusi atau setidaknya mengurangi pajak keluaran yang harus disetorkan ke negara.

Baca Juga  Bayar PBB Tepat Waktu di Sukabumi, Berpeluang Umrah Gratis

“Kalau faktur pajak menjadi bukti pembayaran tidak ada hal-hal itu. Misalnya, terdapat faktur pajak yang tertera transaksinya sebesar Rp 1 miliar, kemudian PPN Rp 110 juta, maka dipastikan itu sudah dibayarkan dan bisa dikreditkan. Negara juga tidak akan berpotensi rugi, karena yang mengklaim lebih bayar (restitusi) itu apakah sudah benar membayar pajaknya? jangan-jangan baru setelah mendapat restitusi, baru pajaknya dibayarkan. Ini yang menyebabkan penerimaan pajak tidak optimal,” jelas Prof ESI.

Selain itu, efektivitas dari reformasi sistem PPN juga berimplikasi pada pemeriksaan pajak. Seperti diketahui, PKP berhak mengajukan restitusi PPN apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak terutang. Dalam prosesnya, DJP akan melakukan pemeriksaan atau penelitian terhadap pengajuan restitusi tersebut.

“Kalau misalkan itu sudah terjadi (faktur pajak sebagai bukti pembayaran), maka tidak ada pemeriksaan. Terlebih semua data transaksi ekonomi sudah terkoneksi nantinya oleh sistem DJP, melalui core tax (Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan/PSIAP),” kata Prof ESI.

Ia optimistis reformasi sistem PPN akan mengoptimalkan rasio perpajakan hingga titik ideal negara berkembang, yakni berkisar 15 persen terhadap PDB. Seperti diketahui, rasio pajak Indonesia saat ini masa bertengger di level 10,41 persen terhadap PDB atau paling rendah dibandingkan negara ASEAN dan G20. Di ASEAN, rasio pajak tertinggi dicapai Vietnam sebesar 22,7 persen terhadap PDB, lalu disusul Kamboja 20,2 persen terhadap PDB, Thailand 16,5 persen terhadap PDB, Singapura 12,8 persen terhadap PDB, Malaysia 11,4 persen terhadap PDB. Sementara di negara G20, seperti Amerika Serikat mencatatkan rasio pajak pada level 26,58 persen terhadap PDB; Denmark, Prancis, dan Finlandia mencapai di kisaran 40 persen hingga 47 persen terhadap PDB.

“Harus jujur diakui, bahwa reformasi perpajakan yang telah berlangsung 40 tahun dan disetiap periode kepemimpanan dilakukan reformasi dengan anggaran yang tidak sedikit, belum mampu mempersembahkan tax ratio yang lebih baik, bahkan dalam tujuh tahun terakhir, ada kecenderungan menurun dan dalam dua tahun terakhir pada posisi stagnan. Padahal, dari perspektif pertumbuhan ekonomi, Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 5 persen. Ini merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah Tiongkok, diantara negara G20. Selain itu, kita sudah menjalankan tax amnesty (2016-2017), sekarang sudah 6 tahun, janji tax ratio akan meningkat, kenyataannya janji sulit dipenuhi,” ungkap Prof ESI.

Hati-hati menaikkan PPN jadi 12 persen

Selain perubahan sistem, Prof ESI juga mengingatkan agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhati-hati dalam menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Meskipun UU HPP telah mengamanatkan tarif PPN 12 persen sebelum 1 Januari 2025, ia meyakini bahwa kenaikan tarif bukan jalan terbaik untuk mencapai target penerimaan dan rasio perpajakan.

Menurutnya, menaikkan tarif PPN berpotensi mendistorsi daya beli masyarakat yang bermuara pada lesunya pertumbuhan ekonomi dan penurunan penerimaan negara. Terlebih berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini terjadi penurunan tren Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang disebabkan juga oleh perlambatan Indeks Kepercayaan Industri (IKI). Pertumbuhan ekonomi nasional hingga Oktober 2023 pun tercatat di bawah 5 persen. Di samping itu, pertumbuhan penerimaan pajak hanya berkisar 6,4 persen—angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penerimaan pada periode yang sama di tahun 2022 yang sebesar 58,1 persen.

Baca Juga  Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak dalam Rangka Impor

“Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen justru kontraproduktif dengan penerimaan pajak. Kenaikan tarif bukan jalan menaikkan penerimaan. Kenaikan tarif PPN sebagai pajak langsung menyebabkan daya beli masyarakat menjadi berkurang dan pertumbuhan ekonomi nasional akan menurun. Apalagi saat ini posisi Indonesia pertumbuhan ekonomi tidak terlalu bagus, yakni berkisar 5 persen. Di sisi lain, dunia masih diselimuti ancaman ketidakpastian perekonomian global dan kenaikan suku bunga,” tandasnya.

Menurut Prof ESI, pemerintah justru perlu mengevaluasi kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen yang dimulai sejak 1 April 2022 lalu. Pemerintah harus mengkaji bagaimana dampak kenaikan tersebut terhadap rasio dan pertumbuhan penerimaan dari PPN.

“Kalau tarif PPN sudah naik dari 10 persen ke 11 persen, harusnya pertumbuhan PPN tumbuh 1 persen. Kemudian, tadinya rasio PPN 3 persen, lalu sekarang masih sama, maka perlu dievaluasi—setidaknya rasio pajak naik menjadi 4 persen dan seterusnya. Kalau tidak berubah mungkin saja pemerintah menurun tarif PPN-nya lagi menjadi 10 persen. Jadi, menurut saya sangat mungkin kita ingin memperluas basis pemajakan sekaligus menurunkan tarif PPN sekaligus memperbaiki sistem PPN. Jangan hanya memperluas basis pajak dan menaikan tarif pajak, terus kita yakin penerimaan akan lebih bagus,” ujarnya.

Ia menambahkan, optimalisasi penerimaan dan rasio perpajakan dapat diwujudkan dengan harmonisasi reformasi tax policy dan tax administration. Diperlukan adanya satu paket kebijakan komplet yang memayungi keduanya. Kebijakan perpajakan berkeadilan akan menciptakan kepastian hukum yang bermuara pada meningkatnya iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Maka, sekarang yang harus dibenahi UU perpajakan, dimana di dalamnya merombak sistem-sistem yang perlu diperbaiki. UU perpajakan harus secara tegas mengatur mana yang merupakan objek pajak dan bukan. Jangan sampai masyarakat masih bingung, hal ini menandakan UU perpajakan itu tidak familier dengan masyarakat. UU perpajakan harus sejelas-jelasnya,” pungkas Prof ESI yang juga merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Wadokai Karate-Do Indonesia.

Pembentukan badan otoritas penerimaan negara

Secara parsial, Prof ESI juga berpandangan bahwa diperlukan transformasi kelembagaan perpajakan untuk memenuhi kebutuhan negara maupun rakyat melalui penataan dan fungsi institusi.

Doktor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menyebutkan, ada tiga model kelembagaan perpajakan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia. Pertama, model pengelolaan pajak oleh satu direktorat jenderal yang melekat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kedua, model pengelolaan pajak oleh lembaga otoritas semi independen. Ketiga, model pengelolaan pajak oleh otoritas pajak independen atau lepas dari Kemenkeu. Prof ESI menyimpulkan, model tersebut sebagai badan otoritas penerimaan negara.

“Dalam Pasal 23A UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 mengenai pemungutan pajak, yang kita tahu kontribusinya 70-80 persen terhadap penerimaan negara, namun hanya dikelola oleh pejabat setingkat eselon I, DJP di bawah Kemenkeu. Akibatnya DJP tidak akan bisa merespons tuntutan lingkungan, masyarakat, dan negara di waktu yang sama. Pengelolaan yang bersifat mandiri dan independen, lebih tepat untuk Indonesia. Hal ini demi memenuhi kebutuhan pengelolaan pajak yang selama ini belum berhasil menjadikan APBN mandiri, sehingga nantinya utang tidak semakin banyak. Kebutuhan kesejahteraan rakyat harus terpenuhi oleh negara,” ujar salah satu pendiri klaster riset politic of taxation, welfare and national resilience (PolTax) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini.

Baca Juga  Syarat Mengajukan Surat Keterangan Sengketa Pajak

Di sisi lain, Prof ESI menganalisis, terjadi anomali pada struktur kelembagaan di tubuh DJP—tidak berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara. Dalam Pasal 16 Perpres Nomor 7 Tahun 2015 ditegaskan bahwa direktorat jenderal terdiri atas sekretariat direktorat jenderal dan paling banyak lima direktorat.

“Hanya DJP saja yang didampingi oleh tiga staf ahli menteri keuangan. Di kementerian lain ada enggak seperti itu? Direktur jenderal di kementerian lain paling banyak memiliki direktur sekitar lima, sementara DJP ada 14 direktur. Bandingkan lagi dari sisi jumlah pegawai, misalnya Kementerian Investasi/BKPM memiliki 2 ribu (pegawai), itu dikelola seorang menteri. DJP mempunyai pegawai sebanyak 46 ribu, namun hanya dipimpin unit eselon I?,” sebutnya.

Dengan melakukan transformasi yang fundamental sesuai amanah konstitusi, Prof ESI optimistis, badan otoritas penerimaan negara akan menempatkan institusi ini lebih strategis, sehingga pengawasan dapat lebih mudah dilakukan oleh presiden maupun rakyat. Alhasil, hal ini akan bermuara pada peningkatan penerimaan maupun rasio pajak Indonesia.

“Perubahan kelembagaan ini akan menjadi katalisator transformasi pada kebijakan dan administrasi perpajakan. Badan otoritas penerimaan perpajakan/negara merupakan kebutuhan negara untuk kesejahteraan rakyat. Sebab kolerasi tingkat ketaatan Wajib Pajak dengan kesejahteraan rakyat memiliki hubungan yang erat,” tegas Prof ESI.

Ia mengingatkan, UUD 1945 telah menegaskan bahwa kehadiran negara dalam rangka memberi perlindungan ekonomi kepada masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks ini kebijakan perpajakan dan ekonomi harus seirama dalam mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat.

“Kebijakan perpajakan harus merupakan kebijakan yang pro kemanusiaan dan keadilan, karena pajak akan membatasi kepemilikan mereka yang kuat, kaya, dan mapan. Artinya, kelompok-kelompok itu berkewajiban membayar pajak, membantu negara dalam mewujudkan visi kesejahteraan rakyat. Kebijakan pajak juga harus digunakan untuk memberikan perlindungan, dukungan, dan bantuan kepada mereka yang tidak mampu. Kebijakan pajak memiliki relasi yang  konstruktif antara negara dengan kelompok-kelompok tersebut,” pungkas Prof ESI.

Baca Juga:

Tahun 2023 Momentum Transformasi Perpajakan Indonesia https://www.pajak.com/pajak/edi-slamet-irianto-tahun-2023-momentum-transformasi-perpajakan-indonesia/

Kontemplasi 40 Tahun Reformasi Perpajakan Belum Mampu Tingkatkan Ketaatan Pajak https://www.pajak.com/pajak/hari-pajak-2023-edi-slamet-kontemplasi-40-tahun-reformasi-perpajakan-belum-mampu-tingkatkan-ketaatan-pajak/

Transformasi Sistem Perpajakan Dukung UMKM Hadapi Era Ekonomi Digital https://www.pajak.com/pajak/prof-esi-transformasi-sistem-perpajakan-dukung-umkm-hadapi-era-ekonomi-digital/

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *