in ,

Prof ESI: Transformasi Sistem Perpajakan, Dukung UMKM Hadapi Era Ekonomi Digital

Prof ESI: Transformasi Sistem Perpajakan
FOTO: Aceng/Desain: Muhammad Iksan Jamaludin

Prof ESI: Transformasi Sistem Perpajakan, Dukung UMKM Hadapi Era Ekonomi Digital

Pajak.com, Purwakarta – Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia yang juga Guru Besar Politik Hukum Pajak Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Prof. Dr. Edi Slamet Irianto, S.H., M.Si. (Prof ESI) menegaskan, transformasi sistem perpajakan menjadi kunci untuk mendukung usaha mikro kecil menengah (UMKM) hadapi era ekonomi digital yang melaju kian pesat. Namun, transformasi sistem perpajakan harus dilakukan secara komprehensif pada dua pilar, yaitu tax policy dan tax administration. Kolaborasi keduanya akan memastikan hukum pajak yang menciptakan keadilan, kepastian, kebermanfaatan, dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Sebelum menyelisik lebih dalam mengenai transformasi sistem perpajakan, terlebih dahulu Prof ESI menjelaskan mengenai konsep ekonomi digital yang pertama kali diperkenalkan oleh Tapscott dalam bukunya yang berjudul The digital economy: Promise and peril in the age of networked intelligence. Ia bilang, Tapscott menyatakan bahwa ekonomi digital merupakan ekonomi baru, yang dicirikan dengan adanya penggunaan informasi digital secara eksklusif—tidak hanya mengacu pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK) semata, namun juga mengacu pada aktivitas ekonomi yang memanfaatkan TIK, termasuk juga artificial intelligence (AI).

“Indonesia menganut sistem ekonomi terbuka, konsekuensinya rentan terhadap perubahan dan perkembangan ekonomi global, regional maupun kawasan. Bagi ekonomi Indonesia, keadaan tersebut dapat menjadi peluang apabila Indonesia cerdas dalam mengikuti perkembangan ekonomi dan teknologi serta mempersiapkan generasi ecotech (economic based on technology). Maka, saya menekankan tentang pentingnya kebijakan pajak transformatif untuk menghadapi tren ekonomi digital tersebut,” jelas Prof ESI dalam Orasi Ilmiah Wisuda Sarjana ke-XIII Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Dr KH Ez Muttaqien (STIE MUTTAQIEN) Purwakarta, dikutip Pajak.com, (9/8).

Ia yakin, pertumbuhan penduduk dan ekonomi akan terus mendorong melesatnya perkembangan ekonomi digital di tanah air apabila peta jalan regulasi mendukung ekosistem tersebut. Pandemi COVID-19 yang terjadi pada tahun 2020-2022 semakin menegaskan peran penting ekonomi digital bagi perekonomian nasional. Prof ESI mencatat, berdasarkan hasil studi Google, Temasek, Bain and Company (2021) menunjukkan nilai investasi ekonomi digital Indonesia sepanjang kuartal I-2021 sebesar 4,7 miliar dollar AS. Capaian itu telah melampaui nilai tertinggi selama empat tahun terakhir dan membuktikan bahwa ekonomi digital Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dengan nilai ekonomi sepanjang tahun 2021 sekitar 70 miliar dollar AS. Berdasarkan data tersebut, Kementerian Bidang Perekonomian memperkirakan, Indonesia akan mampu mencapai 146 miliar dollar AS pada tahun 2025.

“Transformasi tax collection system hanya merupakan bagian dari transformasi sistem perpajakan, karena transformasi secara menyeluruh harus dilakukan dalam dua pilar, meliputi tax policy dan tax administration,” sebut Prof ESI.

Baca Juga  Kurs Pajak 24 –30 April 2024

Doktor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menjelaskan, tax policy ini berkaitan dengan pentingnya kebijakan pajak transformatif untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Prof ESI menegaskan, kebijakan pajak yang berlandaskan konstitusi transformatif adalah keniscayaan agar kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud melalui perubahan sosial, yaitu mengubah masyarakat dengan memberikan kesempatan rakyat golongan ekonomi lemah agar mampu mengalami mobilitas vertikal menjadi lebih kuat.

Dengan demikian Prof ESI berpandangan, kebijakan pajak yang transformatif juga sekaligus mendorong mobilitas vertikal bagi rakyat golongan ekonomi menengah menjadi ekonomi menengah atas, sehingga Indonesia bisa terbebas dari middle income trap.

“Politik hukum pajak transformatif adalah kebijakan pajak yang mampu mengarahkan terwujudnya perubahan sosial melalui fungsi distribusi dan redistribusi pajak sehingga mendorong mobilitas vertikal masyarakat. Bagi bangsa Indonesia, keadilan sosial adalah pengejawantahan sila ke-5 Pancasila dan oleh sebab itu, fungsi distribusi dan redistribusi pajak sejatinya perwujudan dari sila ke-5  ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’. Dengan demikian, ekonomi digital juga harus menjadikan Indonesia lebih sejahtera,” jelas Magister Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM Jakarta ini.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo atau Kominfo) terus berupaya agar menjadikan ekonomi digital untuk Indonesia yang lebih sejahtera, antara lain melalui penyusunan peta jalan e-commerce (e-dagang/perdagangan elektronik) dan mendorong UMKM agar go-digital.

Kemudian, menurut Prof ESI peta jalan itu seyogiyanya mampu seirama dengan penyusunan norma pengaturan hukum pajak dalam undang-undang perpajakan. Selain harus terpenuhinya unsur-unsur hukum positif, juga harus memenuhi prinsip pemungutan pajak yang baik, serta harus dijiwai oleh semangat tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

Eks Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Utara dan Kepala Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II ini pun merekonstruksi teori Adam Smith tentang four canon/principles of taxation, yaitu dalam pemungutan pajak harus memenuhi tiga asas/prinsip dalam membangun sistem pemungutan pajak.

Pertama, keadilan. Dalam Pajak Penghasilan (PPh), keadilan dilihat dari dua dimensi, yaitu keadilan vertikal dan keadilan horizontal, sehingga setiap Wajib Pajak yang mempunyai keadaan yang sama harus diperlakukan sama dan sebaliknya yang memiliki keadaan berbeda harus diperlakukan tidak sama. Dengan demikian pembebanan pajak akan sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak,” jelas Prof ESI.

Sejatinya, prinsip itu telah diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Lapisan pajak dalam UU HPP, yakni sampai dengan Rp 60 juta (tarif PPh 5 persen), di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta (tarif PPh 15 persen), di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta (tarif PPh 25 persen), di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar (tarif PPh 30 persen), serta di atas Rp 5 miliar (tarif PPh 35 persen).

Baca Juga  DJP: Terima Kasih 1,04 Juta Wajib Pajak Badan yang Telah Lapor SPT

“Sementara, dalam pajak yang berbasis konsumsi seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), keadilan ini disering disebut dengan asas/prinsip netralitas, baik netralitas internal maupun netralitas eksternal,” tambah Prof ESI.

Kedua, asas/prinsip kemudahan administrasi (ease of administration) menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan regulasi perpajakan bisa dilaksanakan. Prof ESI berpendapat, asas kemudahan administrasi dipenuhi melalui dimensi kepastian hukum (certainty), kesederhanaan (simplicity), efisiensi, convenience, adaptability and continuity.

“Secara agregat, efisiensi ditunjukkan dengan hasil penerimaan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan biaya perpajakan. Dalam konsep yang lebih luas, biaya perpajakan dapat dilihat dari perspektif Wajib Pajak, otoritas perpajakan dan negara (secara keseluruhan), dengan mengukur compliance costs, administration and enforcement costs dan policy costs,” jelasnya.

Prof ESI pun menekankan, kebijakan perpajakan juga harus adaptif terhadap perubahan lingkungan strategis perpajakan, sehingga dapat diantisipasi kontinuitas suatu kebijakan/peraturan. Hal ini dimaksudkan agar perubahan kebijakan tidak terlalu sering atau bahkan mendadak, sehingga tidak memberikan kepastian dan akan berimplikasi terhadap biaya perpajakan, baik biaya kepatuhan maupun biaya administrasi serta penegakan hukum.

Ketiga, asas produktivitas penerimaan (revenue productivity) karena pajak merupakan satu-satunya sumber penerimaan yang paling aman, murah dan berkelanjutan. Prof ESI menegaskan, penerimaan pajak bukan sekadar cukup (adequate) untuk memenuhi target penerimaan yang dicanangkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), tetapi mampu mengoptimalkan potensi penerimaan sesuai dengan tingkat pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat, tanpa mendistorsi produktivitas ekonomi dan usaha masyarakat. Seperti diketahui, saat ini UMKM di Indonesia berkontribusi sekitar 60 persen dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

“Untuk itu, kebijakan pajak yang dieksplisitkan atau dinormatifkan melalui undang-undang perpajakan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku e-commerce adalah UMKM, dan lebih banyak UMKM yang memanfaatkan e-commerce untuk meningkatkan pemasaran. Data Statistik e-commerce 2022 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada umumnya nilai pendapatan total maupun e-commerce di bawah Rp 300 juta,” ungkapnya.

Di sisi lain, pelaku UMKM pada e-commerce memiliki tantangan yang perlu dimitigasi. Prof ESI mengutip, mayoritas umur penanggung jawab/pemilik usaha e-commerce berada dalam rentang 35-44 tahun (34,47 persen). Fenomena ini menunjukkan penanggung jawab/pemilik usaha e-commerce merupakan generasi milenial yang banyak berinteraksi dengan pesatnya perkembangan teknologi. Namun, pendidikan penanggung jawab/pemilik usaha e-commerce sebagian besar adalah SMA/SMK sederajat ke bawah (76,20 persen), diikuti 17,14 persen yang berpendidikan Diploma IV/S1. Hal ini seirama dengan data yang menunjukkan bahwa hanya 22,06 persen usaha e-commerce yang memiliki laporan keuangan, sedangkan sisanya (77,94 persen) tidak mempunyai laporan tersebut.

Baca Juga  Kurs Pajak 1 – 7 Mei 2024

Dengan demikian, Prof ESI mendorong pemerintah berpihak kepada UMKM di sektor digital melalui regulasi perpajakan yang komprehensif, sehingga sektor ini akan memiliki multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi digital maupun ekonomi nasional.

“Saya merekomendasi kembali perlakuan PPh final untuk Wajib Pajak dengan nilai peredaran bruto tertentu, agar tidak mendistorsi usaha kecil dan mikro dengan adanya kewajiban membayar PPh final, meskipun tarifnya rendah,  namun basis pemajakannya berdasarkan nilai bruto. Untuk memaksimalkan sektor ini dan menghadapi tren ekonomi digital, pemerintah perlu menyusun arah politik perpajakan yang jelas untuk UMKM, antara lain dengan menegaskan pengertian UMKM dalam UU Perpajakan, serta aspek perpajakannya,” ujar Prof ESI.

Secara simultan, pemerintah juga sepatutnya memberikan fasilitas tax holiday kepada UMKM. Pasalnya, saat ini insentif tax holiday semula dikhususkan bagi pengusaha besar, digeser untuk UMKM agar mempunyai daya saing dan kesempatan untuk berkembang.

Dengan terpenuhinya dua pilar pada transfomasi kebijakan perpajakan, Prof ESI optimistis pajak akan menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong ekonomi secara produktif, efisien, dan berdaya saing. Hingga akhirnya, perkembangan ekonomi digital mampu menjadi akselerator untuk mewujudkan Indonesia Maju 2045 dan kesejahteraan sosial sebagai tujuan berdirinya Republik Indonesia.

Dalam orasi ilmiah ini, Prof ESI turut menyampaikan harapannya kepada para sarjana agar mampu memberikan warna baru bagi perkembangan dan perjalanan perekonomian menuju ekonomi baru, sehingga dapat mengakselerasi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

“Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, maka kesadaran perpajakan harus terbangun pada dua pihak, yaitu kesadaran masyarakat untuk membayar pajak dan kesadaran otoritas pajak dalam hal ini pemerintah untuk mengembalikan pajak kepada masyarakat dalam bentuk infrastruktur guna kelancaran kegiatan ekonomi, fasilitas umum/sosial, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan masyarakat,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *