in ,

Penerimaan Pajak Hingga Akhir Maret 2024 Capai Rp 393,91 T

Penerimaan Pajak Hingga Akhir Maret 2024
FOTO: Dok. Kemenkeu 

Penerimaan Pajak Hingga Akhir Maret 2024 Capai Rp 393,91 T

Pajak.comJakarta – Pemerintah mengumumkan bahwa penerimaan pajak hingga akhir Maret 2024 telah mencapai Rp 393,91 triliun, mendekati 20 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pada bulan pertama tahun ini, penerimaan pajak berada pada level 7,5 persen atau Rp 149,25 triliun, meningkat menjadi 13,53 persen atau Rp 269,02 triliun di bulan Februari, dan akumulasi hingga bulan Maret mencapai 19,81 persen atau Rp 393,91 triliun.

Ia pun menyebut komposisi penerimaan pajak didominasi oleh PPh nonmigas yang secara bruto mencapai Rp 220,42 triliun, naik tipis 0,1 persen menjadi 20,73 persen. Sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang berbasis aktivitas ekonomi mencatatkan Rp 155,79 triliun secara bruto, naik 2,57 persen, atau 19,20 persen dari target tahun ini.

Namun, PPh Migas mengalami koreksi sebesar 14,53 persen, dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dan nilai tukar. Meskipun demikian, total penerimaan pajak berada pada 19,20 persen.

“PPh Migas ini kita lihat berdasarkan harga minyak dan nilai tukar. Untuk kuartal pertama masih mengalami koreksi cukup dalam yaitu 18 persen, tapi totalnya sudah di atas 19 persen,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa edisi April 2024, di Aula Mezzanine, Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (26/04).

Baca Juga  Kanwil DJP Jakut Catatkan Penerimaan Pajak Rp 12,4 T per 31 Maret 2024

Selanjutnya, Sri Mulyani menyebut bahwa PBB dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp 3,17 triliun atau 8,39 persen, dengan kenaikan bruto sebesar 11 persen. Sementara PPh Pasal 21, yang merupakan kontributor besar pada total penerimaan pajak dengan 16 persen, menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan dan konsisten, naik dari 21,6 persen tahun lalu menjadi 25,9 persen tahun ini.

“Artinya, pekerja, karyawan mendapatkan penerimaan gaji/upah yang levelnya cukup baik atau ada karyawan baru yang masuk sebagai pembayar PPh 21. Ini hal yang positif. Artinya ini mengonfirmasi PMI kita terutama untuk manufaktur yang masih ekspansif di atas 54 persen,” jelasnya.

PPh final juga mengalami pertumbuhan yang kuat, dengan kenaikan 9,3 persen secara bruto dan 13,1 persen secara neto, terutama dari pajak atas bunga deposito dan jasa konstruksi. Sementara itu, PPh badan mengalami koreksi yang signifikan, dengan kontraksi 21,5 persen secara bruto dan 29,8 persen secara neto, yang didominasi oleh perusahaan manufaktur dan pertambangan.

Baca Juga  Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk dan Serahkan Alat Belajar Tunanetra

“Kenapa ini? Terutama didominasi oleh perusahaan manufaktur dan pertambangan yang mengalami koreksi harga dan ekspor. sehingga mereka meminta restitusi. Harga turun tajam di 2024 ini yang mulai muncul di dalam pembayaran pajak mereka yang dikoreksi dengan penurunan sejak tahun lalu sebetulnya,” tutur Sri Mulyani.

Selanjutnya untuk penerimaan PPN dalam negeri tercatat masih tumbuh 5,8 persen secara bruto, meskipun mengalami kontraksi pada pertumbuhan neto. PPh orang pribadi juga menunjukkan pertumbuhan yang positif, dari 12,6 persen tahun lalu menjadi 9,2 persen tahun ini.

“Meskipun PPh orang pribadi kontribusinya masih sangat kecil, di 2,2 persen dari total penerimaan, tetapi growth yang konsisten memberikan harapan untuk terus kita tingkatkan,” sambungnya.

Ia pun mengingatkan bahwa meskipun mayoritas pajak masih tumbuh positif, pertumbuhannya relatif tipis dan perlu diwaspadai. Sri Mulyani bilang, penerimaan pajak merupakan refleksi dari situasi ekonomi. Meski dari sisi penerimaan PPh Pasal 21 tumbuh positif, di sisi lain penerimaan PPh 21 badan mengalami koreksi yang cukup dalam terutama karena adanya koreksi harga komoditas atau aktivitas ekonomi yang menurun. Serta dari PPN juga mengalami restitusi meskipun secara bruto masih positif. Ini gambaran yang cukup mix dari perekonomian kita yang harus terus kita waspadai,” urainya.

Baca Juga  DJP: e-SPT Tidak Bisa Digunakan untuk Lapor SPT Badan

Selain itu, koreksi pada penerimaan negara dari kegiatan ekonomi, baik dari sisi harga komoditas maupun volume, harus diperhatikan secara hati-hati.

“Artinya ada koreksi yang memengaruhi penerimaan negara. Koreksi dari kegiatan ekonomi, apakah dari sisi harga komoditas maupun kegiatan ekonomi yang terefleksi dari penerimaan negara,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *