Hari Pajak 2023, Edi Slamet: Kontemplasi 40 Tahun Reformasi Perpajakan, Belum Mampu Tingkatkan Ketaatan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Reformasi perpajakan merupakan keniscayaan. Tanpa reformasi, sulit bagi institusi mewujudkan tata kelola yang baik dan pelayanan yang optimal bagi masyarakat. Di momen Hari Pajak 14 Juli 2023, Guru Besar Hukum Politik Perpajakan Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Edi Slamet Irianto berpandangan, reformasi perpajakan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selama 40 tahun (1983-2023) masih belum mampu mempersembahkan ketaatan maupun penerimaan pajak yang didambakan.
“Harus jujur diakui, bahwa reformasi perpajakan yang telah berlangsung 40 tahun dan disetiap periode kepemimpanan dilakukan reformasi dengan anggaran yang tidak sedikit, belum mampu mempersembahkan tax ratio yang lebih baik, bahkan dalam tujuh tahun terakhir, ada kecenderungan menurun dan dalam dua tahun terakhir pada posisi stagnan. Padahal, dari perspektif pertumbuhan ekonomi, Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 5 persen. Ini merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua setelah Tiongkok, diantara negara G20. Selain itu, kita sudah menjalankan tax amnesty (2016-2017), sekarang sudah 6 tahun, janji tax ratio akan meningkat, kenyataannya janji sulit dipenuhi,” ungkap Edi kepada Pajak.com, di kediamannya, (14/7).
Untuk itu, Edi yang baru saja memasuki masa purnabakti setelah sekitar tiga dasawarsa mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menganalisis, aspek yang menjadi perhatian adalah perbaikan governance antara lain birokrasi; peningkatan kapasitas serta integritas sumber daya manusia (SDM) sebagai mesin organisasi; perbaikan inovasi antara lain berupa digitalisasi pelayanan administrasi perpajakan; termasuk pemberian layanan dan fasilitas perpajakan berdasarkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak (dynamic tax services based on tax compliance), serta kebijakan insentif yang tepat.
“Kedudukan birokrasi dalam negara sangatlah vital. Birokrasi itu diibaratkan sebagai mesin negara, sehingga harus dilakukan reformasi secara berkelanjutan. Keputusan politik tidak bisa dijalankan oleh birokrasi yang incompetent dan mengalami moral hazard. Sebenarnya, semangat reformasi birokrasi sudah dilaksanakan DJP. Namun, sejauh ini hasilnya masih jauh dari yang diharapkan, sehingga belum mampu menyatukan kepentingan negara dan rakyat,” ujar Edi.
Eks Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jakarta Selatan II dan Jakarta Utara ini berprinsip, reformasi birokrasi perpajakan seyogianya harus berorientasikan pada kepentingan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak tidak direpotkan lagi oleh beban birokrasi perpajakan yang kurang perlu. Optimalisasi pelayanan perpajakan bermakna membangun relasi perpajakan antara otoritas perpajakan dengan Wajib Pajak secara efektif dan produktif. Kendati demikian, menurut Edi, selama ini institusi pajak belum mampu keluar dari pemikiran yang berorientasi internal birokrasi organisasi, yang sampai hari ini belum tuntas. Akibatnya, otoritas perpajakan belum mampu memahami dan menemukan permasalahan mendasar yang perlu menjadi perhatiannya, terutama peningkatan ketaatan perpajakan nasional.
Bertepatan dengan 40 tahun reformasi perpajakan, Edi membagi empat fase reformasi perpajakan yang telah dan masih dilakukan oleh DJP. Pertama, tahun 1983 yang ditandai dengan memperkenalkan prinsip self assessment dalam menghitung kewajiban Pajak Penghasilan (PPh), lalu mengubah Pajak Penjualan (PPn) menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 1995. Sejurus kemudian, dilakukan reformasi kebijakan secara komprehensif melalui penyusunan baru undang-undang perpajakan.
“Sejatinya, menurut saya, tahun 1983 itu bukan reformasi melainkan transformasi. Sebab terjadi perubahan yang fundamental dan menyeluruh terhadap sistem perpajakan kita, dari undang-undang (UU) Pemerintah Kolonial Belanda menjadi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Tahap awal ini merupakan upaya negara memosisikan Wajib Pajak bukan hanya sebagai objek pembangunan, melainkan menjadi subjek dan obyek pembangunan bangsa dan negara. Artinya apa? Negara ingin menempatkan Wajib Pajak sebagai warga negara yang mendukung agenda pembangunan nasional, kemandirian negara, pembiayaan yang bersumber dari rakyat,” jelas Edi.
Kedua, Reformasi Perpajakan Jilid I (2002-2008) yang difokuskan pada perbaikan SDM, organisasi, dan proses bisnis. Kala itu, DJP melakukan modernisasi yang diejawantahkan melalui pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar, KPP Madya, dan Pratama.
“Ini artinya DJP mulai melakukan segmentasi Wajib Pajak dalam hal pelayanan dan pengawasan. Di sini juga mulai diperkenalkan soal kode etik dan perbaikan tata kelola SDM, kode etik untuk menjaga integritas SDM,” kata Edi.
Ketiga, Reformasi Perpajakan Jilid II (2009-2016) yang fokus untuk mewujudkan kemudahan berusaha sebagai respons atas perlambatan ekonomi Indonesia karena implikasi dari krisis finansial global. Keempat, Reformasi Perpajakan Jilid III yang dimanifestasikan ke dalam lima pilar, yakni penguatan organisasi, kualitas SDM, perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi serta basis data, dan penyempurnaan organisasi.
“Penguatan SDM selalu ada dalam setiap organisasi. Karena kapasitas dan integritas SDM perpajakan yang baik akan menjadi mesin organisasi paling efektif mencapai tujuan organisasi. Akan tetapi, hal itu bisa terwujud apabila pimpinan institusi pajak mampu melakukan evaluasi objektif, bukan atas dasar suka atau tidak suka, sehingga mutasi dan promosi menjadi media penghargaan organisasi kepada kontributor terbaik organisasi. Karena pada prinsipnya, organisasi adalah kepentingan dan tujuan tertinggi,” jelas Edi.
Edi juga menyoroti bahwa DJP belum sepenuhnya melakukan reformasi penguatan SDM untuk mentransformasi Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax sebagai bagian dari lima pilar tersebut.
“Kenapa transformasi SDM tidak digunakan untuk membahas PSIAP dan reformasi perpajakan? Kita harus sadar bahwa keadaan masyarakat Indonesia berbeda, infrastruktur politik berbeda, sistem hukum berbeda. Alih-alih memakai jasa konsultan dari luar negeri, kenapa bukan SDM DJP atau kementerian keuangan yang membangun core tax ini? Mereka tidak kalah hebat dan terpenting memahami betul karakteristik Wajib Pajak, proses bisnis perpajakan yang mereka jalankan, bagaimana perundang-undangan perpajakan. Nanti tinggal diuji saja,” kata Edi.
Menurutnya, institusi harus bisa memaksimalkan potensi SDM yang dimilikinya untuk kepentingan organisasi. Dengan demikian, core tax bukan hanya menciptakan kesadaran dan ketaatan bagi Wajib Pajak, tetapi juga menyentuh seluruh SDM instansi perpajakan.
“Bukan Wajib Pajak saja yang harus sadar pajak, DJP dan negara juga harus sadar pajak. Pemerintah harus punya kesadaran bahwa pajak yang diterima itu adalah untuk dikembalikan menjadi kesejahteraan masyarakat. Kalau pemerintah dan masyarakat sudah memahami dengan baik, maka ketaatan pajak akan otomatis tercapai. Sebagai contoh, ketika ke rumah sakit atau berurusan dengan fasilitas negara, pembayar pajak itu punya keistimewaan, pelayanan yang bagus. Jangan dipungut biaya lagi. Ketaatan sukarela itu hanya utopis. Tidak ada ketaatan sukarela, yang ada orang membayar pajak karena aturan,” ujar Edi.
Meski begitu, ia tetap menganggap bahwa transformasi digitalisasi pelayanan melalui core tax penting dilakukan oleh DJP untuk semakin memberikan kemudahan pada Wajib Pajak, dalam hal menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya.
“Selain itu, terkait SDM, saya memandang, nilai-nilai kementerian keuangan harus benar-benar diimplementasikan. Penempatan SDM harus sesuai dengan nilai profesionalitas, the right man on the right place, sehingga penempatan sesuai dengan kompetensi dan kapasitasnya” tambah Edi.
Secara simultan, otoritas juga perlu mengevaluasi dan memperbaki formula kebijakan insentif pajak kepada sektor tertentu, terutama sektor pertambangan sumber daya alam (SDA).
“Selama ini telah banyak mendapatkan fasilitas perpajakan, seharusnya yang mendapatkan insentif pajak bukan per sektor melainkan per Wajib Pajak. Ini harus menjadi perhatian untuk dievaluasi dan diperbaiki formula kebijakannya. Insentif pajak harus diberikan secara selektif, SDA bahkan tidak layak untuk mendapatkan tax holiday. Karena Indonesia mempunyai SDA yang merupakan keunggulan komparatif. Seperti nikel, memang ada (berlimpah) di negara lain? Belum tentu ada. Kenapa negara lain harus mengelola nikel di sini dan diberikan tax holiday?,” tambah Edi.
Pada momentum Hari Pajak tahun 2023 ini ia berharap, transformasi perpajakan yang meliputi kelembagaan, kebijakan, dan administrasi perpajakan segera dilakukan untuk memenuhi kebutuhan negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat tanpa harus berutang.
Comments