Ini Solusi Menanggapi “Surat Cinta” dari DJP
Pajak.com, Bogor – Sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem pajak self-assessment, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau “surat cinta” kepada Wajib Pajak. Namun tak bisa dipungkiri, SP2DK ini masih menjadi momok yang menakutkan bagi Wajib Pajak. Untuk itu, Hijrah Hafiduddin and Partners (HHH) Consultant bergerilya ke beberapa daerah untuk mengedukasi serta memberikan solusi kepada Wajib Pajak dalam menanggapi SP2DK sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Kami berkeliling membuat acara edukasi peraturan perpajakan di Indonesia, seperti di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kali ini kita membuat acara mengenai “surat cinta” atau SP2DK di Kota Bogor. Karena banyak sekali Wajib Pajak yang mendapat “surat cinta” dari DJP. Mantan hakim Pengadilan Pajak mengatakan, sekitar 3 juta SP2DK dikirimkan (DJP) setiap tahunnya. Ini merupakan hal yang luar biasa. Maka dari itu, Wajib Pajak perlu diedukasi bagaimana cara untuk menanggapi SP2DK,” ungkap Managing Partner HHH Consultant Hijrah Hafiduddin kepada Pajak.com, di sela-sela acara seminar bertajuk Tantangan dan Solusi Menanggapi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak, di Hotel Salak The Heritage Bogor, dikutip Pajak.com, (13/7).
Ia menyebutkan, dasar hukum SP2DK termaktub dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2021, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 39/PJ/2015 tentang Pengawasan Wajib Pajak Dalam Bentuk Permintaan Penjelasan Atas Data Dan/Atau Keterangan, Dan Kunjungan (Visit) Kepada Wajib Pajak.
Hijrah yang juga merupakan pengurus Humas Bidang Sosialisasi Peraturan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pusat menjelaskan, dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa SP2DK merupakan surat yang diterbitkan oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kemudian, sesuai SE Direktur Jenderap Pajak Nomor 39 Tahun 2019, SP2DK harus ditanggapi maksimal 14 hari kerja.
“Untuk Wajib Pajak yang awam atau yang baru mendapatkan SP2DK itu menjadi momok, bahwa akan dikenakan pajak yang mungkin nilainya besar, materil, dan cukup menakutkan. Namun, sebenarnya Wajib Pajak tidak perlu panik, karena itu sebagai konfirmasi. Kantor pajak dalam hal ini me-matching-kan data dari Wajib Pajak dengan data yang telah dimiliki DJP. Ini sebagai bentuk pengawasan dan meningkatkan kepatuhan, apakah ada kewajiban yang belum dilaksanakan oleh Wajib Pajak,” ungkap Hijrah.
Ia mengungkapkan, kasus SP2DK yang jamak terjadi adalah permintaan data penghasilan belum dilaporkan atau belum adanya bukti potong; data penambahan harta; pengurangan harta; harta belum dilaporkan; konfirmasi data dari AEoI; objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Dengan begitu, solusi penyelesaian, meliputi verifikasi data jenis penghasilan sesuai bukti potong, bisa juga Wajib Pajak menganalisa terhadap rekening koran terkait realisasi pembayaran atau menganalisa beda waktu antara bukti potong dengan pengakuan penghasilan. Untuk menanggapi SP2DK bisa juga menganalisa pnghasilan terkait objek PPN dan ketentuan PKP (penghasilan kena pajak), serta bisa analisa pelaporan penghasilan dalam SPT (Surat Pemberitahuan). Pastikan sebelum membalas (SP2DK) itu, Wajib Pajak menganalisa terlebih dahulu apa yang ada di dalam surat, maunya AR (account representative) seperti apa, dan pastikan komunikasi yang terjalin dengan AR berjalan dengan baik,” jelas Hijrah.
Ia menambahkan, apabila Wajib Pajak tidak menanggapi SP2DK, maka KPP akan melakukan kunjungan (visit) ke tempat Wajib Pajak yang nantinya tertuang dalam Laporan Hasil Kunjungan (LHK). Selain itu, KPP berwenang melakukan kegiatan pengamatan dan/atau operasi intelijen dan/atau mengusulkan Wajib Pajak untuk diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
Seminar yang diikuti oleh puluhan peserta dari beragam perusahaan ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan diskusi pengalaman. Selain Hijrah, turut hadir Partner HHH Consultant Nurozi dan Indra Yuli.
Comments