in ,

“Cooperative Compliance”: Konsep, Penerapan, dan Tantangan

Konsep Cooperative Compliance
FOTO: IST

“Cooperative Compliance”: Konsep, Penerapan, dan Tantangan

Pajak.comJakarta — Kepatuhan kooperatif atau cooperative compliance adalah konsep hubungan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak yang didasarkan pada kerja sama, kolaborasi, dan rasa saling percaya. Lalu, bagaimana ihwal inisiatif cooperative compliance, hingga dipahami dan diterapkan di beberapa negara, serta apa saja manfaat dan tantangan yang dihadapi oleh otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan konsep ini? Pajak.com akan mengulasnya untuk Anda, yang telah dirangkum dari beberapa sumber.

Memahami “cooperative compliance”

Sejatinya, konsep cooperative compliance bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, kepastian, dan efisiensi perpajakan, serta mengurangi risiko sengketa dan reputasi. Inisiatif mengenai kepatuhan yang berbasis kerja sama ini muncul pada tahun 2000-an sebagai alternatif dari kerangka peraturan perpajakan yang didasarkan pada pendekatan deterrence, yaitu memaksa Wajib Pajak untuk patuh melalui pemeriksaan dan penalti.

Cooperative compliance menawarkan hubungan yang lebih berbasis pada transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara otoritas pajak dan Wajib Pajak. Konsep ini pertama kali dikenal dengan istilah enhanced relationship, untuk membedakannya dengan obligation-based basic relationship. Namun, istilah ini kemudian diganti menjadi cooperative compliance oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2013 untuk menghindari kesan ketidaksetaraan perlakuan.

OECD juga mendefinisikan cooperative compliance sebagai pertukaran antara transparansi dengan kepastian. Menurut OECD, cooperative compliance adalah sebuah hubungan yang mendukung kolaborasi dan bukan konfrontasi serta lebih berdasarkan pada rasa saling percaya daripada kewajiban yang dipaksakan. OECD juga memberikan definisi tambahan, yaitu bentuk pendekatan kepatuhan yang mempertukarkan transparansi untuk memperoleh kepastian.

OECD juga memaparkan bahwa cooperative compliance telah menetapkan harapan untuk transparansi dan tata kelola pajak yang baik oleh Wajib Pajak agar memberikan tingkat jaminan yang tinggi, mengenai pengendalian risiko pajak dan ketiadaan perencanaan pajak agresif. Sementara bagi Wajib Pajak, kepatuhan kooperatif diyakini dapat memberikan kepastian pajak yang lebih besar sebagai hasil dari hubungan dengan administrasi pajak yang didasarkan pada kepercayaan dan kerja sama yang berkelanjutan.

Penerapan di beberapa negara

Beberapa negara telah menerapkan cooperative compliance dengan berbagai cara dan hasil. Misalnya, Australia memiliki program Tax Assurance and Compliance Program (TACP) yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar dan menengah. Program ini memberikan kepastian pajak kepada Wajib Pajak yang memiliki tax risk management yang baik dan transparan.

Baca Juga  Airlangga Tawarkan Peluang KEK ke Investor Singapura

Belanda memiliki program Horizontal Monitoring (HM) yang ditujukan untuk semua jenis Wajib Pajak. Program ini mengandalkan pada perjanjian kerja sama antara otoritas pajak dan Wajib Pajak atau asosiasi Wajib Pajak.

Lain halnya dengan Inggris yang memiliki program Business Risk Review (BRR), ditujukan untuk Wajib Pajak besar. Program ini memberikan penilaian risiko kepada Wajib Pajak berdasarkan kriteria tertentu.

Sementara AS memiliki program Compliance Assurance Process (CAP) yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar. Program ini memberikan kepastian pajak sebelum tahun pajak berakhir melalui proses audit secara real time.

Di Prancis, program cooperative compliance mulai diperkenalkan pada 14 Maret 2019 yang juga disambut baik oleh OECD. Pengenalan rezim kepatuhan kooperatif oleh Prancis ini juga mencerminkan tren yang lebih luas secara internasional di mana banyak anggota OECD baik yang telah memiliki atau sedang mengeksplorasi program kepatuhan kooperatif.

OECD pun menekankan bahwa program cooperative compliance adalah bagian penting dari agenda kepastian pajak OECD, sekaligus sebagai pencegahan sengketa.

Manfaat dan tantangan

Cooperative compliance dipastikan memberikan manfaat bagi otoritas pajak maupun Wajib Pajak. Bagi otoritas pajak, manfaatnya antara lain adalah dapat lebih memahami proses bisnis Wajib Pajak secara lebih baik, adanya kepastian hukum yang ditetapkan, menghemat sumber daya dengan mengurangi ruang lingkup audit, mendorong otoritas pajak untuk fokus pada kasus-kasus dan Wajib Pajak berisiko tinggi, mengurangi sengketa di tingkat banding, menjamin basis pemajakan, dan tercapainya compliance risk management.

Bagi Wajib Pajak, manfaatnya antara lain adalah kepastian hukum perpajakan, pengurangan biaya kepatuhan, manajemen risiko perpajakan yang lebih baik, pelaksanaan proses audit yang lebih mudah, peningkatan substansial dalam hubungan dengan otoritas pajak, serta peningkatan reputasi karena telah menjadi Wajib Pajak yang patuh.

Namun, cooperative compliance juga menghadapi tantangan dalam penerapannya. Beberapa tantangan tersebut antara lain adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang konsep cooperative compliance, kurangnya keterampilan dan kapasitas otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance, serta kurangnya kerangka hukum dan peraturan yang mendukung cooperative compliance.

Di sisi lain, kurangnya koordinasi dan komunikasi antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, kurangnya kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, kurangnya standar dan kriteria yang jelas dan objektif dalam menentukan Wajib Pajak yang layak untuk cooperative compliance, serta kurangnya mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas dan dampak cooperative compliance juga merupakan tantangan yang harus ditanggulangi dalam pengaplikasian cooperative compliance.

Penerapan di Indonesia

Baca Juga  Komwasjak: “Core Tax” Bikin Potensi Sengketa Pajak Menurun

Di Indonesia, cooperative compliance masih merupakan konsep yang baru dan belum banyak dikenal oleh otoritas pajak maupun Wajib Pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berorientasi pada cooperative compliance, salah satunya adalah program Integrasi Data Perpajakan yang ditujukan untuk Wajib Pajak besar, terutama BUMN.

Program ini dimulai sejak 26 Desember 2016 melalui kesepakatan yang dicapai dalam rapat koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan DJP. Namun, peluncuran program integrasi data perpajakan itu baru terlaksana pada Februari 2018 dengan PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN pertama atau pionir program itu.

Hingga Desember 2018, DJP berhasil menggandeng Telkom, PLN, dan Pelindo III sebagai role out tahap awal program integrasi data perpajakan, dari total 114 BUMN yang diharapkan dapat bergabung. Wajib Pajak BUMN yang telah bergabung ini bersepakat untuk terlibat dalam program integrasi dan pertukaran data perpajakan dengan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar (Large Tax Office/LTO).

Terobosan lain yang diupayakan DJP sebagai bagian dari cooperative compliance yakni peluncuran e-Filing, e-Billing, e-SPT, e-Faktur, e-Formulir, dan e-Registration yang ditujukan untuk semua Wajib Pajak.

Namun, kebijakan-kebijakan ini masih bersifat parsial dan belum terintegrasi secara menyeluruh. Padahal, peluang penerapan cooperative compliance di Indonesia cukup besar, mengingat potensi penerimaan pajak yang masih belum optimal, tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang masih rendah, serta kompleksitas peraturan perpajakan yang masih tinggi.

Penerapan cooperative compliance di Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, antara lain rendahnya kesadaran dan pemahaman tentang konsep cooperative compliance, rendahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance, juga rendahnya ketersediaan dan kualitas data dan informasi perpajakan.

Baca Juga  Bea Cukai: Pengajuan Keberatan Bisa Diajukan secara “On-line”

Sejumlah tantangan yang mesti dihadapi tersebut termasuk rendahnya koordinasi dan komunikasi antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, rendahnya kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak, rendahnya standar dan kriteria yang jelas dan objektif dalam menentukan Wajib Pajak yang layak untuk cooperative compliance, dan rendahnya mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas dan dampak cooperative compliance.

Untuk mendorong penerapan cooperative compliance di Indonesia, diperlukan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

– Meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang konsep dan manfaat cooperative compliance kepada otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui berbagai media dan kanal komunikasi.

– Meningkatkan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia otoritas pajak dan Wajib Pajak dalam menerapkan cooperative compliance melalui pelatihan, bimbingan, dan supervisi.

– Meningkatkan ketersediaan dan kualitas data dan informasi perpajakan melalui pengembangan sistem informasi perpajakan yang terintegrasi, akurat, relevan, dan mudah diakses.

– Meningkatkan koordinasi dan komunikasi antara otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui pembentukan forum atau mekanisme dialog yang rutin, terstruktur, dan konstruktif.

– Meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak melalui penerapan prinsip-prinsip good governance, good faith, mutual respect, mutual understanding, mutual benefit, serta penghindaran konflik kepentingan.

– Meningkatkan standar dan kriteria yang jelas dan objektif dalam menentukan Wajib Pajak yang layak untuk cooperative compliance melalui pengembangan indikator-indikator risiko perpajakan yang sesuai dengan karakteristik usaha, sektor industri, ukuran perusahaan, serta tingkat kompleksitas transaksi.

– Meningkatkan mekanisme monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas dan dampak cooperative compliance melalui pengembangan indikator-indikator kinerja perpajakan yang mencerminkan aspek-aspek kepatuhan, kepastian, efisiensi, serta dampak sosial ekonomi.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *