in ,

Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak
FOTO: Nathanael Mellionardo

Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Pajak.com, Jakarta – Apakah transaksi perdagangan internasional yang terus bertumbuh, mempunyai implikasi pada peningkatan sengketa bea dan cukai (kepabeanan)? Berdasarkan data Pengadilan Pajak tahun 2023, Pajak.com mencatat jumlah sengketa kepabeanan sebanyak 2.615 atau meningkat dari 2.142 di tahun 2019. Founder dan Tax Partner GNV Consulting Ahdianto akan menyibak sengketa kepabeanan yang jamak terjadi di Pengadilan Pajak. Berdasarkan pengalaman menjadi kuasa hukum bidang pajak dan kepabeanan selama 25 tahun, ia juga membeberkan strategi penyelesaian ragam kasus sengketa kepabeanan di pengadilan pajak.

“Bicara sengketa kepabeanan itu agak berbeda dengan pajak. Dimulai dari kuantitas jumlah konsultan pajak yang lebih banyak dibandingkan konsultan kepabeanan. Hal ini karena ujian sertifikasi (konsultan ahli kepabeanan) setiap tahun yang lulus itu enggak banyak. Padahal, sertifikasi itu legalitas utama agar kita bisa mendampingi audit kepabeanan, beracara sengketa kepabeanan di Pengadilan Pajak. Makanya, saya mempunyai dua izin (sertifikasi) kuasa hukum, pajak dan kepabeanan, sehingga bisa mendampingi perusahaan dalam menyelesaikan sengketa kepabeanan,” ujar Ahdianto kepada Pajak.com, di Kantor GNV Consulting, Menara AIA Central, Kawasan Sudirman, Jakarta, (23/4).

Kasus sengketa kepabeanan

Bersandarkan jam terbangnya mendampingi perusahaan di berbagai sektor, sengketa kepabeanan yang jamak terjadi di Pengadilan Pajak adalah perbedaan nilai pabean. Ahdianto menjelaskan, nilai pabean merupakan nilai yang digunakan sebagai dasar untuk penghitungan bea masuk dan pungutan dalam rangka impor lainnya. Nilai pabean digunakan untuk menghitung bea masuk jika tarif yang digunakan berdasarkan tarif advalorum (persentase). Besar kecilnya pungutan pabean impor sangat tergantung dari besar kecilnya nilai pabean dan tarif yang dikenakan atas suatu barang impor.

Ia pun mencatat dari sengketa yang pernah ditanganinya, 50 persen sengketa kepabeanan di Pengadilan Pajak terkait dengan nilai pabean, bukan dari tarif atau jumlah jenis. Sengketa nilai pabean dapat berhubungan juga dengan masalah transfer pricing. Artinya, sengketa praktik transfer pricing bukan hanya di (sengketa) pajak saja melainkan sebenarnya ada di bidang kepabeanan juga,” ujar Ahdianto.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

“Misalkan, importir mendeklarasikan nilai pabean 1.000, tapi menurut customs (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC) sebesar 2.000. Jadi, 1.000-nya dikalikan dengan tarifnya berapa dan ditambahkan dengan sanksi. Nah, di bidang kepabeanan sanksinya juga tinggi—maksimal sampai 1.000 persen. Beda kalau kita bicara (sanksi) pajak, kurang bayar dikenakan sanksi, katakanlah 1 persen per bulan untuk maksimal 24 bulan. Artinya sanksi kepabeanan 10 kali lipat bisa terjadi, bahkan sering terjadi. Semakin besar kurang bayarnya, semakin tinggi juga sanksinya,” ungkap Ahdianto.

Untuk itu, menurutnya strategi penyelesaian sengketa nilai pabean yang efektif adalah menekankan pada lampiran seluruh bukti yang berkaitan dengan barang impor. Di sisi lain, terdapat tantangan dalam membuktikan nilai pabean, yakni menyangkut dengan yuridis atau peraturan domestik maupun lintas-negara.

Oleh sebab itu, Ahdianto menekankan bahwa seorang kuasa hukum kepabeanan wajib membaca secara detail peraturan kepabeanan, memahaminya secara efektif, dan menyusun argumentasi yang mudah dipahami oleh Majelis Hakim di Pengadilan Pajak.

“Karena nilai pabean itu bersangkutan dengan barang. Ketika barang keluar kawasan pabean, itu seolah urusan udah beres. Ingat, kepabeanan itu beda dengan pajak. Kalau pajak itu ada audit dan SKP (Surat Ketetapan Pajak) dalam waktu 5 tahun. Kalau di kepabeanan, ada dua kondisi yang bisa dilakukan oleh otoritas dalam mengoreksi deklarasi dari barang. Pertama, sejak 30 hari pemberitahuan disampaikan oleh Kantor Pelayanan Bea Cukai. Kedua, dalam jangka waktu 2 tahun berjalan, bisa dilihat untuk dilakukan penetapan kembali melalui penelitian ulang atau pelaksanaan audit oleh Direktur Jenderal Bea Cukai. Misalkan, ditetapkan dalam jangka waktu 30 hari nilai pabeannya, kalau tidak setuju dapat mengajukan keberatan dulu. Keberatan ditolak dapat diajukan banding ke Pengadilan Pajak. Sedangkan untuk penetapan kembali atas tarif atau nilai pabean dapat langsung diajukan banding ke Pengadilan Pajak,” urai Ahdianto.

Dalam menghadapi proses keberatan atau banding dalam penyelesaian sengketa kepabeanan tersebut, ia memiliki strategi yang biasa diterapkan. Ahdianto menganalisis celah nilai kepabeanan yang ditetapkan oleh DJBC, baik dari sisi formal maupun materinya. Di sisi lain, regulasi kepabeanan tidak begitu masif dipublikasikan dibandingkan dengan aturan pajak.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

“Saat sidang, enggak langsung mencari koreksi materinya. Kita harus brief terlebih dahulu, apakah otoritas melakukan ketidaksesuaian dalam penetapan nilai itu. Kalau ada kesalahan secara formal, kita harus sampaikan terlebih dahulu karena ada banyak kesalahan yang mungkin timbul dari koreksi otoritas. Hal ini juga berkaitan dengan banyak aturan kepabeanan yang berkaitan (dengan regulasi lain), seperti (aturan) kementerian perdagangan, kementerian perindustrian, atau kementerian energi dan sumber daya mineral. Semua harus dilihat satu persatu. Kita harus benar-benar cari banyak bahan, sehingga argumentasi kita menjadi kuat di Pengadilan Pajak,” ungkap Ahdianto.

Kemudian, sengketa kepabeanan juga jamak terjadi adalah masalah tarif yang berimplikasi pada penentuan kode Harmonized System (HS). Adapun HS adalah nomenklatur klasifikasi barang yang digunakan secara seragam di seluruh dunia berdasarkan konvensi HS International Convention on The Harmonized Commodity Description and Coding System. Seperti diketahui, HS digunakan untuk keperluan tarif, statistik, rules of origin, dan/atau pengawasan komoditi impor/ekspor.

“Ketika kita menentukan kode HS, kita tinggal lihat tarif di buku untuk menentukan kode HS. Misalnya, untuk barang-barang yang susah atau spesifik banget itu bisa muncul sengketa. Perbedaan tarif tidak dikenakan sanksi, tapi kurang bayarnya saja. Hal lain, jumlah jenis, meski enggak terlalu besar,” ujar Ahdianto.

Menurut pandangannya, dalam dokumen pemberitahuan pabean, nilai pabean harus dianalisis dengan hati-hati terutama apabila ada isu transfer pricing. Sebab apabila salah, maka kurang bayar tersebut dapat dikenakan sanksi yang besar.

“Makanya, dalam penentuan nilai pabean itu metode yang dipakai banyak sekali. Masing-masing metode itu complicated, bagaimana penentuan harga untuk related parties atau third parties, misalnya. Jadi, memang disitu lebih detail sengketa kepabeanannya,” jelas Ahdianto.

Mengacu World Trade Organization (WTO) Valuation Agreement, terdapat enam metode penetapan nilai pabean yang harus diterapkan secara hierarki, yaitu nilai transaksi, nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, deduksi, komputasi, dan fallback.

Ahdianto juga mengungkapkan bahwa tingkat kemenangan perusahaan/importir dalam sengketa kepabaenan di Pengadilan Pajak cukup tinggi. Untuk kasus nilai kepabeanan, banyak sengketa yang dimenangkan oleh importir, sementara kemenangan seimbang terjadi pada sengketa untuk tarif/jenis.

“Alasan importir lebih banyak memenangkan (sengketa nilai pabean) karena pada umumnya didukung dengan pembuktian yang memadai seperti bukti pembayaran, perjanjian formal, bukti pemesanan barang, pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pencatatan dalam pembukuan dan lain-lain. Bisa juga importir melakukan pengujian 6 metode dengan nilai transaksi. Nilai transaksi adalah nilai yang dibayarkan kepada supplier, tapi bahaya atau berisiko adalah apabila ada nilai-nilai lain yang harus ditambahkan ke nilai transaksi, seperti masalah royalti,” ungkap Ahdianto.

Seperti diketahui, perusahaan di Indonesia itu mayoritas berada pada sektor manufaktur, sehingga royalti menjadi isu yang biasa terjadi. Sebagai gambaran, importir mendeklarasikan nilai pabean 1.000 dan royaltinya 200, maka total nilai impornya menjadi 1.200.

“Sengketa royalti yang sangat sering terjadi di Indonesia adalah menentukan royalti masuk ke dalam nilai impor atau tidak? itu ada berapa kriterianya, apakah royaltinya melekat pada barang impornya atau tidak. Kita pernah mendampingi sebuah perusahaan di Indonesia dan menang, kita bisa meyakinkan bahwa nilai royalti itu dibayarnya tidak berkaitan dengan barang yang diimpor. Dilihatnya dari mana? Perjanjian formalnya, ketika kita beli barang di-state atau tidak, lalu dari pencatatan royalti dihitung dari apa. Banyak cara membuktikan royalti itu nggak terkait dengan barang impor,” imbuh Ahdianto.

Mitigasi sengketa kepabeanan

Untuk memitigasi sengketa kepabeanan, ia berbagi kiat untuk perusahaan importir/eksportir. Pertama, meningkatkan level compliance dengan menelaah seluk-beluk perusahaan secara komprehensif. Kedua, pahami celah setiap transaksi yang berpotensi menimbulkan sengketa kepabeanan maupun kasus pajak.

“Perusahaan perlu secara teratur melakukan custom review, jadi tahu celahnya di mana atau apa yang masih kurang. Karena sekali lagi, sengketa kepabeanan itu berbeda dengan pajak. Pada bidang pajak, kita melakukan kesalahan tapi bisa melakukan pembetulan SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan/masa. Sementara kalau kita ada kesalahan di bidang kepabeanan, misalnya di dokumen PIB/PEB (Pemberitahuan Impor Barang/Pemberitahuan Ekspor Barang), terbatas jangka waktu pembetulannya—jangka waktu 30 hari dalam penetapan nilai pabean. Kalau ternyata melewati batas waktu pembetulan, maka berpotensi menimbulkan denda yang bisa sampai 1.000 persen,” pungkas Ahdianto.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *