Kondisi Ekonomi Dunia Berisiko Bagi Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Situasi perekonomian dunia saat ini masih dipenuhi ketidakpastian bahkan dihadapkan pada kenaikan inflasi global, peningkatan suku bunga dan pengetatan likuiditas, krisis energi dan pangan, fragmentasi geopolitik, hingga ancaman resesi global. Situasi tersebut juga memberikan risiko dan tantangan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Perekonomian, Sekretaris Kabinet (Setkab) Satya Bhakti Parikesit dalam keterangan tertulis dikutip Pajak.com, Kamis (10/11/2022).
“Belum pulih kita dari pandemi COVID-19, kemudian kita juga dihadapi oleh satu krisis global, perang antara Rusia dan Ukraina yang dampaknya terhadap harga pangan dunia yang memberikan suatu dampak juga di tanah air,” ucapnya.
Dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) Economic Outlook 2023 bertajuk “Menavigasi Ekonomi di tengah Ancaman Resesi” di Jawa Tengah, Rabu lalu, Bhakti menyampaikan, surplus neraca perdagangan pada September 4,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS) atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 5,76 miliar dollar AS. Indeks Penjualan Riil pada Agustus (year on year/yoy) juga mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya. Sementara Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September berada di angka 117,7 atau turun dibanding Agustus yang mencapai 124,7. Namun demikian, kata Bhakti, perekonomian Indonesia saat ini masih terjaga dengan pertumbuhan di kuartal III-2022 sebesar 5,72 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan di kuartal II-2022 yang sebesar 5,45 persen (yoy).
“Perekonomian domestik secara umum masih menunjukkan ketahanan dengan ditopang peningkatan permintaan domestik, investasi yang terjaga, dan berlanjutnya kinerja positif ekspor meskipun mulai menunjukkan indikasi pelemahan temporer di September 2022,” ujarnya.
Untuk kuartal IV-2022, Bhakti melaporkan bahwa masih terdapat sejumlah risiko ekonomi yang harus dihadapi dan dimitigasi secara optimal. Risiko tersebut, antara lain inflasi yang melampaui sasaran dan mempengaruhi daya beli rumah tangga, pengetatan likuiditas, tren pelemahan nilai tukar Rupiah, hingga penurunan harga komoditas dan kinerja ekspor serta transaksi berjalan.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan BI ini juga mengakibatkan kenaikan suku bunga pinjaman yang selanjutnya pasti akan memberikan dampak terhadap peningkatan NPL (non performing loan) jika relaksasi restrukturisasi kredit yang diberikan OJK selesai. Kemudian, peningkatan risiko gagal bayar bagi BUMN yang memiliki utang tinggi dan pada akhirnya akan menjadi beban pemerintah.
“Inilah beberapa risiko-risiko yang perlu kita mitigasi dalam upaya kita menjaga pertumbuhan yang baik di kuartal IV tahun 2022,” kata Bhakti.
Bakhti pun berharap, DKT ini dapat memberikan gambaran outlook economy 2023 dan langkah mitigasi ekonomi di tengah ancaman resesi global. “Kita melihat outlook economy 2023 dan bagaimana kita memitigasi ekonomi di tengah ancaman resesi tersebut. Saya harapkan di dalam DKT ini kita bisa fokus untuk melihat bagaimana assessment kinerja perekonomian nasional tahun 2022,” ujarnya.
Secara rinci Bhakti memaparkan, DKT memiliki tiga sasaran. Pertama, assessment kinerja perekonomian nasional tahun 2022 berupa moneter, jasa keuangan dan stabilitas sistem keuangan, fiskal pusat dan daerah, reformasi kinerja struktural, serta pengembangan iklim usaha.
Kedua, identifikasi atas berbagai risiko global dan nasional, serta pendalaman atas dampak berbagai risiko tersebut kinerja perekonomian nasional pada akhir tahun 2022 dan 2023.
Ketiga, formulasi strategi dan rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk memitigasi risiko resesi, menavigasi perekonomian, dan sekaligus mengakselerasi transformasi ekonomi yang menjadi tema sentral kebijakan ekonomi tahun 2023.
Sebagai informasi, DKT mengenai outlook economy merupakan salah satu DKT yang rutin diselenggarakan setiap tahun untuk bisa memberikan satu analisis kebijakan atau rekomendasi kepada pimpinan kita untuk bagaimana menghadapi situasi kondisi ekonomi Indonesia pada setiap tahunnya.
Comments