in ,

Kenaikan Harga BBM Berdampak Positif Jangka Menengah

Kenaikan Harga BBM Berdampak
FOTO: IST

Kenaikan Harga BBM Berdampak Positif Jangka Menengah

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia akhirnya menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada akhir pekan lalu. Ekonom DBS menilai, kebijakan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM itu akan berdampak positif untuk jangka menengah.

Pemerintah juga berencana membatasi penjualan BBM bersubsidi berdasarkan atas ukuran mesin kendaraan, yang rinciannya akan diumumkan dalam beberapa pekan mendatang. Tujuannya ialah untuk membantu rumah tangga berpenghasilan rendah dengan cara mengalihkan anggaran subsidi BBM menjadi bantuan langsung tunai.

Seperti diketahui, harga bensin varian Pertalite naik hingga Rp10.000 per liter atau 30,7 persen dari harga sebelumnya. Sementara itu, harga disel naik 32 persen menjadi Rp 6.800 per liter. Secara bersamaan, harga bahan bakar RON92 atau Pertamax juga naik menjadi Rp 14.500 per liter, atau naik 16 persen dari bulan sebelumnya. Angak ini naik tajam hingga 60 persen dari tingkat akhir 2021, dengan memasukkan kenaikan harga sebelumnya sebagai pertimbangan.

Menurut ekonom senior DBS Radhika Rao, pengurangan subsidi itu memang dibutuhkan dan penting jika dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, alokasi subsidi dan kompensasi ke BUMN terkait (Pertamina dan PLN) mencapai 16 persen dari total belanja tahun ini. Keterlambatan penyesuaian harga mungkin memerlukan tambahan Rp 100-200 triliun atau kenaikan 25 persen.

Baca Juga  Jokowi Apresiasi BRI dalam Pengembangan UMKM

Apalagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, asumsi harga minyak mentah Indonesia dalam APBN 2022 telah dinaikkan dari 63 dollar AS per barel menjadi di atas 100 dollar AS dan kemungkinan akan bertengger di sekitar 105 dollar AS.

“Hal itu mengharuskan subsidi 2022 dinaikkan tiga kali sejak perkiraan awal yang dianggarkan, memperkecil selisih antara dana yang dibutuhkan dan sumber dana yang tersedia,” kata Radhika dalam keterangan tertulis Selasa (6/9/22).

Radhika mengatakan, berdasarkan catatan DBS Group Research, matematika fiskal 2022 dalam kondisi baik, dengan neraca fiskal Januari hingga Juli 2022 surplus 0,57 persen dari PDB jika dibandingkan dengan target yang dianggarkan setahun penuh, yaitu -4,85 persen.

Pendapatan total, yakni 21 persen secara tahunan diuntungkan oleh penguatan kembali ekonomi; pajak perusahaan yang didorong oleh industri pengolahan; pemungutan non-pajak, yang terdiri atas pendapatan berbasis sumber daya; dan penerapan Undang-Undang Pajak Harmonisasi (HPP), yaitu kenaikan PPN, pajak kripto, dan lain-lain.

Di sisi lain, pengeluaran belanja menjadi lebih lambat karena keterlambatan belanja kementerian, sementara alokasi untuk subsidi dan program bantuan sosial meningkat untuk melindungi daya beli riil masyarakat.

Baca Juga  Amartha dan CELIOS Luncurkan Fintech Media Toolkit

“Kondisi ini mendukung keyakinan pemerintah bahwa defisit fiskal 2022 dapat membaik menjadi -3,9 persen dari PDB sebesar Rp 732,2 triliun jika dibandingkan dengan indikasi sebelumnya, -4,5 persen, dan yang dianggarkan, -4,85 persen. Perkiraan DBS Group Research, untuk 2022 direvisi menjadi -3,5 persen dari PDB,” jelas Radhika.

Menurut Radhika, kenaikan harga BBM lebih mendukung keuangan 2023 ketimbang 2022. Kemenkeu memperkirakan subsidi dan pengeluaran kompensasi pada 2023 sebesar Rp 337 triliun, turun dari Rp 502 triliun pada tahun ini. Pada saat yang sama, faktor positif yang membuat pendapatan industri pengolahan meningkat dan sumber daya alam mungkin menurun pada tahun depan.

Itu sebabnya ada mandat untuk menurunkan defisit fiskal 2023 kembali ke -3 persen dari PDB dan subsidi energi dipotong sepertiga. Ini menunjukkan penyesuaian harga bahan bakar dimasukkan ke dalam perhitungan tahun depan. Dengan pemilihan umum akan berlangsung pada awal 2024, kesempatan mengambil keputusan yang peka secara politik juga menyempit dengan cepat.

Kedua, perbedaan yang signifikan antara harga BBM nonsubsidi dan BBM bersubsidi memengaruhi pola konsumsi.

Kenaikan harga bahan bakar sekitar 30 persen sudah pernah terjadi sebelumnya. Menjelang kenaikan harga BBM terakhir pada 2014, inflasi utama melonjak dari rata-rata 5,3 persen year on year (yoy) dalam enam bulan sebelumnya menjadi 6,8 persen. Menjelang penyesuaian harga itu, DBS Group Research telah membuat serangkaian skenario.

Baca Juga  Menparekraf Ungkap 5 Strategi Pemerintah Gaet Musisi Kelas Dunia

Perhitungan DBS menunjukkan bahwa skala penyesuaian harga akan memberikan dampak tidak langsung besar terhadap inflasi setahun penuh, sekitar 94-100 basis points (bps), dengan dampak bersih tambahan sebesar 50-60 bps karena kenaikan harga bahan bakar merembes ke subsegmen lain, termasuk makanan, biaya transportasi dan segmen terkait lain, selama 3-6 bulan ke depan.

“Pemotongan subsidi bahan bakar adalah solusi jangka menengah positif bagi pemerintah. Dampak buruk apa pun di pasar uang dan sentimen kemungkinan hanya bersifat sementara karena pengurangan subsidi, liberalisasi harga BBM, dan konsolidasi fiskal, yang sedang berlangsung, dilihat sebagai kebijakan baik,” kata Radhika.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *