in ,

Moeldoko: Penerapan Perdagangan Karbon Harus Berjalan Optimal Sebelum Oktober 2024

Moeldoko: Penerapan Perdagangan Karbon Harus Berjalan Optimal Sebelum Oktober 2024
FOTO: IST

Moeldoko: Penerapan Perdagangan Karbon Harus Berjalan Optimal Sebelum Oktober 2024

Pajak.com, Jakarta – Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengungkapkan bahwa penerapan perdagangan karbon di Indonesia harus berjalan optimal sebelum masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berakhir pada Oktober 2024. Menurutnya, percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi terkait perdagangan karbon dibutuhkan agar Indonesia bisa menangkap potensi ekonomi pasar yang besar, baik melalui perdagangan karbon secara bilateral maupun mekanisme di bursa karbon.

Seperti diketahui, perdagangan karbon di Indonesia diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 21 Tahun 2022. Adapun Bursa Karbon Indonesia diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 26 September 2023.

Carbon trading ini program presiden. Untuk itu, akselerasi penting dilakukan sambil tetap memperhatikan arahan presiden, yaitu membentuk ekosistem ekonomi karbon yang berintegritas, inklusif, transparan dan berkeadilan,” jelas Moeldoko saat bertemu dengan Dirjen Pengendalian dan Perubahan Iklim (PPI) Kementerian LHK (KLHK) Laksmi Dhewanti, di Gedung Bina Graha, Jakarta, dikutip Pajak.com (22/4).

Secara spesifik, ia menekankan pentingnya percepatan penyusunan dan harmonisasi regulasi, khususnya pada sektor-sektor yang ada di dalam Nationally Determine Contribution (NDC), diantaranya terkait energi; limbah; proses industri; serta penggunaan produk pertanian; kehutanan; dan sektor lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti blue carbon.

“Potensi perdagangan karbon di Indonesia sangat besar karena memiliki kekayaan alam khususnya dengan banyaknya hutan tropis, padang rumput beriklim sedang, serta keanekaragaman hayati laut dan pesisir (blue carbon) berupa mangrove, padang lamun, serta rumput laut yang dapat menjadi sumber penyerapan karbon dan sangat penting dalam mengatasi krisis iklim,” ungkap Moeldoko.

Baca Juga  KSP dan ACEXI Akselerasi Perdagangan Karbon Indonesia

Sementara itu, Dirjen PPI KLHK Laksmi Dewanti memastikan, KLHK telah menggunakan indikator yang sesuai dengan perdagangan karbon global dalam membuat regulasi. Ia juga menegaskan, setiap regulasi dititikberatkan untuk berkontribusi pada pengurangan emisi sesuai target NDC dalam Paris Agreement.

Mengutip dokumen NDC, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20 persen dukungan internasional pada tahun 2030.

“Ada dua bentuk perdagangan karbon yang bisa dilakukan di Indonesia. Pertama, perdagangan emisi, di mana yang dijual adalah batas emisi atau persetujuan batas atas emisi. Kedua, offset emission, yakni perdagangan karbon yang mengacu pada transaksi jual – beli sertifikat pengurangan emisi,” jelas Laksmi.

Rencananya, peraturan menteri LHK terkait perdagangan karbon luar negeri hasil dari pilot project dua perdagangan karbon tersebut akan terbit pada Juni tahun 2024.

Di sisi lain, Laksmi pun mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia telah menggunakan skema Result Based Payment (RBP) dengan baik.

Baca Juga  Moeldoko: ACEXI Mitra Strategis Pemerintah dalam Edukasi Dekarbonisasi

“Jadi, Indonesia mendapatkan pembayaran atas kinerja dalam menjaga emisi karbon, seperti pembayaran dari Green Climate Fund (GCF) dan Norwegia,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *