Aspek Perpajakan Perusahaan Konstruksi yang Kerap menjadi Sengketa
Perusahaan Jasa Konstruksi merupakan perusahaan yang meyediakan layanan berupa jasa di bidang konstruksi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, disebutkan bahwa jasa konstruksi meliputi layanan jasa konsultasi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
Penghasilan yang diperoleh Perusahaan Jasa Konstruksi dikenakan pajak berupa Pajak Penghasilan Final PPh Pasal 4 Ayat (2) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final tersebut juga tetap diakui kembali pada pos peredaran usaha pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang kemudian akan dikurangkan dengan jumlah penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final terkait.
Aspek perpajakan atas penghasilan Perusahaan Jasa Konstruksi tersebut kerap kali menjadi sengketa antara Perusahaan Jasa Konstruksi dengan Direktorat Jenderal Pajak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh dilakukannya persandingan secara langsung antara seluruh aspek perpajakan atas pernghasilan Perusahaan Jasa Kontruksi pada satu tahun pajak yang sama oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Perlakukan Direktorat Jenderal Pajak yang menyandingkan secara langsung aspek-aspek perpajakan atas penghasilan Perusahaan Jasa Kontruksi tidak tepat. Hal tersebut dikarenakan terdapat beda waktu saat terutang dan beda pihak yang berwenang dalam melakukan kewajiban perpajakan tersebut. Berikut penjelasan lebih lanjut atas aspek-aspek perpajakan terkait penghasilan Perusahaan Jasa Kontruksi:
- Pengakuan Penghasilan pada Pos Peredaran Usaha (SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan)
Pengakuan atas penghasilan perusahaan jasa kontruksi dapat terjadi lebih dari satu tahun pajak yang sama, mengingat pengerjaan suatu proyek dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Terlebih pengakuan penghasilan perusahaan jasa kontruksi dapat menggungakan percentage of completion method (metode persentase penyelesaian).
Percentage of completion method merupakan metode akuntansi dalam pengakuan penghasilan tahunan yang didasarkan pada penghitungan secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan. Atas persentase penyelesaian konstruksi ditetapkan berdasarkan biaya konstruksi yang telah dikeluarkan untuk tiap-tiap kontrak konstruksi, sehingga pengakuan penghasilan oleh Perusahaan Jasa Kontruksi disesuaikan dengan progres penyelesaian pekerjaan konstruksi customer. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) sebagai berikut
PSAK 34 tentang Kontrak Konstruksi (2014)
“Pendapatan Kontrak
11. Pendapatan Kontrak terdiri dari:
(a) nilai pendapatan semula yang disetujui dalam kontrak; dan
(b) penyimpangan dalam pekerjaan kontrak, klaim, dan pembayaran insentif:
(i) sepanjang hal ini memungkinkan untuk menghasilkan pendapatan; dan
(ii) dapat diukur secara andal.
Pengakuan Pendapatan dan Beban Kontrak
22. Jika hasil kontrak konstruksi dapat diestimasi secara andal, maka pendapatan kontrak dan biaya kontrak yang berhubungan dengan kontrak konstruksi diakui masing-masing sebagai pendapatan dan beban dengan memerhatikan tahap penyelesaian aktivitas kontrak pada tanggal akhir periode pelaporan. Taksiran rugi pada kontrak konstruksi tersebut segera diakui sebagai beban sesuai dengan paragraf 36.
25. Pengakuan pendapatan dan beban dengan memerhatikan tahap penyelesaian suatu kontrak sering disebut sebagai metode persentase penyelesaian. Menurut metode ini, pendapatan kontrak dihubungkan dengan biaya kontrak yang terjadi dalam mencapai tahap penyelesaian tersebut, sehingga pendapatan, beban, dan laba yang dilaporkan dapat diatribusikan menurut penyelesaian pekerjaan secara proporsional. Metode ini memberikan informasi yang berguna mengenai cakupan aktivitas kontrak dan kinerja selama suatu periode.
26. Dalam metode persentase penyelesaian, pendapatan kontrak diakui sebagai pendapatan dalam laba rugi pada periode akuntansi di mana pekerjaan dilakukan. Biaya kontrak biasanya diakui sebagai beban dalam laba rugi pada periode akuntansi di mana pekerjaan yang berhubungan dilakukan. Namun, setiap ekspektasi selisih lebih total biaya kontrak terhadap total pendapatan kontrak segera diakui sebagai beban sesuai dengan paragraf 36.
Berdasarkan PSAK 34 (2014), dinyatakan bahwa metode persentase penyelesaian merupakan pengakuan penghasilan dengan memperhatikan tahap penyelesaian kontrak. Menurut metode persentase penyelesaian, penghasilan yang dilaporkan dapat diatribusikan menurut penyelesaian pekerjaan secara proporsional. Dalam metode persentase penyelesaian, penghasilan kontrak diakui sebagai penghasilan dalam laba rugi pada periode akuntansi dimana pekerjaan dilakukan.
PSAK 72 tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan (2020)
Dalam PSAK 72 (2020) diatur tentang perlakuan akuntansi terhadap penghasilan dan biaya dalam sebuah kontrak dengan pelanggan, begitu pula dengan kontrak konstruksi. Dalam PSAK tersebut diatur bahwa pengakuan penghasilan dapat dilaksanakan secara bertahap sepanjang waktu kontrak (over the time) atau pada waktu tertentu (at the point of time) sebagaimana dianyatakan sebagai berikut:
Pengakuan Pendapatan Penyelesaian Kontrak
Pada PSAK 72 (2020:36) dinyatakan bahwa entitas mengakui pendapatan selama atau ketika telah menyelesaikan kewajiban pengalihan barang atau jasa (yakni aset) yang dijanjikan kepada pelanggan. Pengendalian atas aset merujuk pada kemampuan untuk mengarahkan penggunaan atas dan memperoleh seluruh sisa manfaat secara substansial dari aset. Ketika mengevaluasi apakah pelanggan memperoleh pengendalian atas aset, entitas mempertimbangkan setiap perjanjian untuk membeli kembali aset tersebut. Pada saat awal kontrak entitas harus menentukan apakah penyelesaian kewajiban akan dilaksanakan secara bertahap sepanjang waktu kontrak (over the time) atau pada waktu tertentu (at the point of time).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa percentage of completionmethod (metode persentase penyelesaian) merupakan metode yang sesuai dengan metode akuntansi yang berlaku. Mempertimbangkan pengakuan penghasilan dilakukan dengan metode persentase penyelesaian, maka atas suatu kontrak konstruksi, proses penyelesaiannya dapat berlangsung lebih dari satu periode tahun buku, sehingga atas pengakuan penghasilannya juga dapat berlangsung lebih dari satu periode tahun buku sesuai dengan persentase penyelesaian progresnya.
- Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Penyerahan jasa konstruksi termasuk ke dalam penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan merupakan penyerahan yang dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU No. 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU PPN”).
Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
…
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;”
Saat terutangnya PPN atas jasa konstruksi, terjadi pada saat penyerahan JKP sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c UU PPN sebagai berikut:
Pasal 11 ayat (1) huruf c UU PPN
“Terutangnya pajak terjadi pada saat:
…
penyerahan Jasa Kena Pajak;”
Lebih lanjut, ketentuan saat terjadinya Penyerahan JKP diatur dalam Pasal 17 ayat (5) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 (“PP 1/2012”) sebagai aturan pelaksana UU PPN yang dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 17 ayat (5) PP 1/2012
“Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;”
Mempertimbangkan jasa konstruski merupakan penyerahan yang harus dipungut PPN, maka Penyedia jasa konstruksi juga harus membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan sesuai ketentuan berikut:
Pasal 13 ayat (1) huruf b UU PPN
“Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
…
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;”
Pasal 13 ayat (1a) UU PPN
“Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Pasal 19 ayat (1) PP 1/2012
“Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).”
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) PP 1/2012
“Secara prinsip Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, …
…
Untuk kepastian hukum dan untuk memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak dalam memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai perlu penjelasan atau penegasan dalam bentuk ilustrasi kapan saat pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak.
Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
4. Penyerahan Sebagian tahap pekerjaan (pembayaran termin)
3. Penyerahan JKP, dst…………….
2. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak bergerak, dst……………..
1. Penyerahan Barang Kena Pajak bergerak, dst…………..
Atas penyerahan sebagian tahap pekerjaan, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan atau barang tidak bergerak lainnya, saat penerbitan Faktur Pajaknya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Umumnya pekerjaan jasa pemborongan bangunan dan barang tidak bergerak lainnya diselesaikan dalam suatu masa tertentu. Sebelum jasa pemborong itu selesai dan siap untuk diserahkan, telah diterima pembayaran di muka sebelum pekerjaan pemborongan dimulai atau pembayaran atas sebagian penyelesaian pekerjaan jasa sesuai dengan tahap atau kemajuan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat pembayaran tersebut diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Selanjutnya setelah bangunan atau barang tidak bergerak tersebut selesai dikerjakan, maka jasa pemborongan seluruhnya diserahkan kepada penerima jasa. Dalam hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak itu dilakukan, meskipun pembayaran lunas jasa pemborongan tersebut belum diterima oleh Pemborong atau Kontraktor.
Contoh:
7.Tanggal 1 Maret 2012, diterima pembayaran pelunasan seluruh jasa pemborongan.
6.Tanggal 1 September 2011, diterima pembayaran tahap akhir (ke-4) sebesar 95% dari harga borongan.
5.Tanggal 25 Agustus 2011, pekerjaan selesai 100%, bangunan atau barang tidak bergerak diserahkan.
4.Tanggal 20 Juni 2011, pekerjaan selesai 80%, diterima pembayaran tahap ke-3.
3.Tanggal 1 Juni 2011, pekerjaan selesai 50%, diterima pembayaran tahap ke-2.
2.Tanggal 1 Mei 2011, pekerjaan selesai 20%, diterima pembayaran tahap ke-1.
1.Tanggal 1 April 2011, perjanjian pemborongan ditandatangani dan terima uang muka sebesar 20%.
Pada angka 1 sampai dengan angka 4 Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal diterimanya pembayaran (tahap), sedang angka 5 sampai dengan angka 7 Pajak Pertambahan Nilai terutang pada tanggal 25 Agustus 2011 atau saat jasa pemborongan (bangunan atau barang tidak bergerak) selesai dilakukan dan diserahkan kepada pemiliknya. Tanggal pembayaran yang tersebut pada angka 6 dan angka 7 tidak perlu diperhatikan, karena tidak termasuk saat yang menentukan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan dasar akrual yang dianut dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
Cara penghitungan sebagaimana tersebut di atas juga berlaku dalam hal penjualan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan dengan pembayaran uang muka, sedangkan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dilakukan kemudian.”
- Saat Terutang Pajak Penghasilan Final PPh Pasal 4 Ayat (2)
Sehubungan pembayaran tagihan atas progres penyelesaian pekerjaan konstruksi,Customer berkewajiban melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana mengacu pada aturan berikut:
PMK 187 Tahun 2008 tentang Tatacara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan Dan Penatausahaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi s.t.d.t.d. PMK 153/PMK.03/2009 (“PMK 187/2008”)
Pasal 2
“Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.”
Pasal 4 ayat (1)
“(1) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
b. disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak.”
Pasal 5 ayat (1)
“(1) Pajak Penghasilan yang dipotong oleh Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a disetor ke kas negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah dilakukan pemotongan pajak.”
Berdasarkan aturan di atas, saat terutangnya PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi berdasarkan Pasal 4 PMK 187/2008 adalah saat pembayaran atau diterimanya pembayaran (cash basis) dan pihak yang berkewajiban melakukan pemotongan adalah pihak Pengguna Jasa atau Customer Perusahaan Jasa Konstruksi.
Berdasarkan penjelasan beserta peraturan sebagaimana dijelaskan di atas, diketahui bahwa terdapat beda waktu dan wewenang perlakuan perpajakan, sehingga tidak tepat apabila Direktorat Jenderal Pajak langsung menyandingkan pengakuan penghasilan berdasarkan Peredaran Usaha SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan pelaporan Faktur Pajak dengan Bukti Potong PPh Pasal 4 ayat (2) pada tahun yang sama. Perbedaan beda waktu wewenang antara pengakuan penghasilan berdasarkan Peredaran Usaha ataupun pelaporan Faktur Pajak dengan kewajiban pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagaimana tabel persandingan berikut:
Dengan demikian, berdasarkan dasar hukum dan penjelasan di atas, seharusnya Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menetapkan koreksi dengan melakukan persandingan langsung antara aspek-aspek perpajakan atas penghasilan Perusahaan Jasa Konstruksi. Apabila terjadi sengketa dengan latar belakang persandingan sebagaimana di atas, Perusahaan Jasa Konstruksi dapat memberikan tanggapan ataupun upaya hukum lanjutan untuk dapat mendapatkan keadilan.
Pandangan dan opini dalam artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan atau kebijakan PAJAK.COM.
Comments