in ,

Definisi, Ketentuan Terbaru, Hingga Contoh Penghitungan PPh dan PPN atas Komisi Reasuransi 

PPh dan PPN atas Komisi Reasuransi 
FOTO: IST

Definisi, Ketentuan Terbaru, Hingga Contoh Penghitungan PPh dan PPN atas Komisi Reasuransi 

Pajak.comJakarta – Komisi reasuransi adalah bagian penting dari industri asuransi, tetapi belum banyak yang memahami bagaimana transaksi ini bekerja serta bagaimana hal tersebut berdampak pada kewajiban perpajakan. Padahal, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memperbarui aturan terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas komisi reasuransi dan komisi pialang reasuransi untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak. Lalu, apa itu pajak atas komisi reasuransi dan bagaimana ketentuan terbaru yang mengatur tentang pelakuan PPh dan PPN atas komisi ini? Pajak.com akan mengulasnya secara lengkap untuk Anda, disertai dengan contoh penghitungannya.

Apa Itu Pajak atas Komisi Reasuransi?

Pajak atas komisi reasuransi mungkin masih terdengar awam bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sederhananya, pajak ini dikenakan atas pembayaran komisi yang diterima oleh perusahaan reasuransi sebagai kompensasi atas jasa yang diberikan dalam sebuah perjanjian reasuransi.

Sejatinya, perusahaan asuransi dalam industri asuransi yang mengambil banyak risiko terkadang butuh “berbagi” sebagian dari risiko tersebut kepada perusahaan lain, yaitu perusahaan reasuransi. Nah, perusahaan reasuransi ini akan menerima komisi dari perusahaan asuransi (cedent) sebagai imbalan karena telah mengambil sebagian risiko tersebut. Itulah yang disebut komisi reasuransi.

Proses pengalihan risiko ini bisa dilakukan langsung antara perusahaan asuransi dan reasuransi, atau menggunakan perantara yang disebut perusahaan pialang reasuransi. Jadi, perusahaan reasuransi akan mendapatkan komisi, dan jika ada perantara, mereka juga akan mendapat imbalan jasa atas perannya dalam membantu perjanjian reasuransi tersebut.

Melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE Dirjen Pajak) Nomor SE-01/PJ/2025, Direktorat Jenderal Pajak memberikan penjelasan yang lebih jelas tentang pajak apa saja yang berlaku untuk komisi reasuransi. Namun, pada dasarnya komisi reasuransi ini adalah bagian dari kompensasi yang diterima perusahaan dalam proses pengelolaan risiko yang lebih besar.

Bagaimana Perlakuan PPh dan PPN atas Komisi Reasuransi?

Setelah memahami dasar dari komisi reasuransi, mari kita masuk lebih dalam ke soal aturan pajak yang berlaku, khususnya terkait PPh dan PPN berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-01/PJ/2025 yang ditetapkan sejak 25 Januari lalu.

Baca Juga  Ekonom INDEF Sebut Badan Penerimaan Negara Bukan Jaminan Rasio Pajak Akan Meningkat

Dalam edaran tersebut, dijelaskan bahwa penghasilan berupa komisi reasuransi tetap dianggap sebagai objek PPh sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Namun, ada beberapa ketentuan khusus yang harus diperhatikan.

1. Ketentuan PPh

Bagi perusahaan asuransi atau reasuransi dalam negeri, penghasilan berupa komisi reasuransi tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Ini artinya, jika perusahaan reasuransi yang menerima komisi tersebut merupakan Wajib Pajak dalam negeri, maka tidak perlu khawatir tentang pemotongan PPh ini. Namun, Wajib Pajak tetap harus memperhitungkan dan melaporkan penghasilan tersebut dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Aturan ini berbeda bagi perusahaan reasuransi luar negeri. Komisi reasuransi yang diterima oleh perusahaan luar negeri dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto.

Namun, tarif ini bisa berbeda tergantung pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan negara asal perusahaan tersebut. P3B ini memungkinkan tarif pajak yang lebih rendah jika ada perjanjian khusus antara kedua negara (tax treaty).

2. Ketentuan PPN

Selain PPh, surat edaran itu juga menyebutkan bahwa jasa asuransi, termasuk reasuransi, dibebaskan dari pengenaan PPN. Artinya, meskipun jasa asuransi dan reasuransi tergolong sebagai layanan penting dalam proses bisnis asuransi, perusahaan tidak perlu memungut atau membayar PPN atas jasa ini.

Jadi, meskipun penghasilan komisi reasuransi tetap dikenakan PPh, ada beberapa keringanan, seperti tidak adanya pemotongan PPh Pasal 23 untuk perusahaan asuransi dalam negeri dan pembebasan PPN untuk jasa yang diberikan. Hal ini tentu memberikan keuntungan dalam menjaga efisiensi pajak perusahaan-perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia.

Selanjutnya, aturan juga mencakup ketentuan lebih lanjut tentang jasa keperantaraan yang disediakan oleh perusahaan pialang reasuransi, namun hal tersebut akan kita bahas lebih rinci di bagian berikutnya.

Bagaimana Perlakuan PPh dan PPN atas Pialang Reasuransi?

Selain perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, ada juga perusahaan pialang reasuransi yang memainkan peran penting dalam proses pertanggungan ulang. Perusahaan pialang reasuransi ini bertindak sebagai perantara antara perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, membantu dalam mengelola transaksi pengalihan risiko. Imbalan yang diterima oleh perusahaan pialang atas jasa keperantaraan ini juga dikenakan ketentuan perpajakan.

Baca Juga  Lewat Batas Waktu Pemeriksaan Pajak Dinilai Picu Biaya Tinggi dan Korupsi

Menurut SE Dirjen Pajak No. SE-01/PJ/2025, penghasilan berupa imbalan jasa keperantaraan yang diterima perusahaan pialang reasuransi dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2 persen dari jumlah bruto, jika perusahaan pialang tersebut merupakan Wajib Pajak dalam negeri. Namun, jika perusahaan pialang memenuhi kriteria Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu, penghasilan tersebut dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 0,5 persen dari jumlah bruto. Sedangkan bagi perusahaan pialang reasuransi yang berstatus sebagai Wajib Pajak luar negeri, imbalan jasa keperantaraan ini dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20 persen, atau sesuai dengan ketentuan P3B.

Selain itu, tata cara pemotongan dan penyetoran PPh atas penghasilan jasa keperantaraan ini juga dijelaskan secara rinci. Pajak terutang pada saat penghasilan dibayarkan atau saat jatuh temponya pembayaran, tergantung pada peristiwa mana yang terjadi terlebih dahulu.

Pemotongan PPh wajib dilakukan paling lambat pada akhir bulan ketika pajak terutang, dan perusahaan pialang yang melakukan pemotongan diwajibkan membuat bukti pemotongan, menyetorkan pajak yang telah dipotong ke kas negara, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPh Unifikasi.

Terkait dengan PPN, SE tersebut menyebutkan bahwa jasa keperantaraan yang disediakan oleh perusahaan pialang reasuransi dikenakan PPN, yang tata cara pemungutannya juga mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku.

Contoh Penghitungan PPh dan PPN Terutang atas Komisi Reasuransi

Merujuk SE Dirjen Pajak, berikut contoh penghitungan PPh dan PPN yang terutang atas komisi reasuransi.

Pada tanggal 1 Februari 2025, PT A (perusahaan asuransi) dan Tuan X (tertanggung) menandatangani polis asuransi kendaraan berupa pesawat terbang dengan nilai premi sebesar Rp500 juta yang akan dibayarkan selama lima tahun. Pada hari yang sama, PT A juga menandatangani perjanjian reasuransi dengan PT B (perusahaan reasuransi) untuk mengalihkan sebagian risiko atas polis tersebut dengan nilai premi sebesar Rp200 juta. PT B kemudian memberikan komisi reasuransi kepada PT A sebesar 20 persen dari nilai premi tersebut, yaitu Rp40 juta.

Baca Juga  Bayar PBB-P2 Lebih Hemat dengan Diskon 7,5 Persen, Ini Daftar Kanal Pembayarannya!

Penghitungan pajak atas komisi reasuransi ini adalah sebagai berikut:

a. Komisi reasuransi yang diterima PT A dari PT B sebesar 20 persen dari Rp200 juta, yang setara dengan Rp40 juta.

b. Sesuai dengan ketentuan dalam SE Dirjen Pajak, komisi reasuransi yang diterima PT A bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23. Oleh karena itu, PT B tidak perlu melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran komisi tersebut.

c. PT A wajib memperhitungkan komisi yang diterimanya sebagai penghasilan dan melaporkannya dalam SPT Tahunan untuk Tahun Pajak 2025.

d. Adapun atas penyerahan jasa asuransi oleh PT A kepada PT B, penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Contoh Penghitungan PPh dan PPN Terutang atas Komisi Pialang Reasuransi

Berikut contoh sederhana penghitungan PPh dan PPN yang terutang atas imbalan jasa keperantaraan yang diterima oleh perusahaan pialang reasuransi:

PT A (perusahaan asuransi) menggunakan jasa keperantaraan dari PT D (perusahaan pialang reasuransi) dalam mengatur perjanjian reasuransi dengan PT B atas polis asuransi Tuan X. Untuk jasa tersebut, PT A membayar imbalan sebesar Rp30 juta kepada PT D.

Maka penghitungan PPh dan PPN untuk imbalan jasa keperantaraan yang diterima PT D:

a. PPh Pasal 23

Karena imbalan jasa keperantaraan termasuk objek pemotongan PPh Pasal 23, maka PT A wajib memotong PPh sebesar 2 persen dari Rp30 juta, yaitu sebesar Rp600 ribu.

b. Kewajiban PT A sebagai pemotong PPh

Setelah memotong PPh Pasal 23 sebesar Rp600 ribu, PT A wajib:

– Membuat bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan memberikannya kepada PT D.

– Menyetorkan PPh yang dipotong ke kas negara.

– Melaporkan pemotongan tersebut dalam SPT Masa PPh untuk periode Februari 2025.

c. PPN

Atas penyerahan jasa keperantaraan yang diberikan oleh PT D (Pengusaha Kena Pajak) kepada PT A, dikenakan PPN sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Dengan contoh ini, PT A menjalankan kewajiban memotong PPh dan memastikan bahwa jasa keperantaraan dikenakan PPN, mengikuti peraturan yang berlaku di sektor perasuransian.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  1. Ada pernyataan yang salah dalam editorial ini. Perusahaan reasuransi tidak menerima komisi apapun untuk bagian premi yang mereka terima. Mengapa? Karena mereka memiliki liability atas bagian yang diterima. Beda dengan pialang reasuransi dimana mereka mendapatkan komisi karena mereka membantu mencarikan kapasitas reasuransi. Tolong jangan di bolak balik ya karena akan membingungkan pembaca dan masyarakat awam. Thx.