in ,

Bahlil Lahadalia, dari Supir Angkot ke Kursi Menteri

Bahlil memulai usahanya dari nol. Sejak kecil ia sudah belajar berjualan kue di lingkungan sekolahnya. Memasuki SMP, ia nyambi kerja sebagai kondektur, dan semasa SMEA ia menjadi sopir angkot paruh waktu. Hasil kerjanya ia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolahnya. Demikian halnya saat memasuki bangku kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay, Jayapura, Papua semua biaya ia cukupi sendiri. Orangtuanya awalnya bahkan tidak tahu Bahlil melanjutkan kuliah. Untuk mencukupi kuliah, ia menjadi pendorong gerobak di pasar sembari menjadi penjual koran.

Di kampus itulah, memalui berbagai organisasi mahasiswa yang ia ikuti, leadership dan mainset kewirausahaan Bahlil terbentuk. Selama kuliah ia sepat menjadi karyawan kontrak Sucofindo. Selama satu tahun bekerja, saat itu ia bisa memberikan profit kepada perusahaan waktu itu Rp 10 miliar lebih. Ide-ide Bahlil pun terbilang out of the box.

Selesai kuliah, ia membangun satu perusahaan konsultan dan teknologi informasi dengan teman-temannya di Jakarta. Ia menjadi direktur wilayah Papua hingga perusahaannya pun berkembang dan kini ia memiliki beberapa perusahaan.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Bahlil pun memandang, untuk menjadi pengusaha yang dibutuhkan ke adalah by desain, bukan by nasab atau by nasib. By desain itu adalah gabungan by nasab dan by nasib, dan harus berbasis akademi. Sebab, kompetisi di dunia enterpreuner saat ini tidak bisa masuk ke konsep, tapi harus betul-betul dirancang secara dini, desain secara dini, agar bisa dieksekusi dengan baik sesuai dengan gol yang direncanakan.

Ditulis oleh

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *