Namun, dengan catatan semua itu sesuai kondisi dan keadaan harta pada tahun pajak terakhir. Bila tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman, maka harta ditentukan berdasarkan hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara memandang, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak merupakan kebijakan yang sama dengan tax amnesty jilid I pada tahun 2016—2017. Maka tak heran jika publik menyebut program baru ini dengan sebutan tax amnesty jilid II.
Dengan demikian, menurutnya, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak merupakan sebuah kesalahan fatal yang diakomodir ke dalam RUU HPP.
“Bukannya kepatuhan pajak yang didorong tapi justru memberikan ruang bagi Wajib Pajak yang tidak ikut tax amnesty 2016 lalu. Akibatnya, bisa menimbulkan ketidakadilan kepada Wajib Pajak yang ikut, sehingga justru ada penurunan kepercayaan terhadap pemerintah karena tax amnesty ternyata berulang. Kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya, tax amnesty dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” kata Bhima kepada Pajak.com melalui telepon, pada (1/10).
Selain itu, di dalam RUU HPP juga tidak menjelaskan mekanisme screening harta WP yang ikut tax amnesty, misalnya melalui penugasan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Menurut Bhima, selama tidak ada screening dan pengawasan, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil money laundry (pencucian uang), kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.
“Justru tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antarnegara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya,” tambah alumnus Universitas Bradford Inggris ini.
Comments