Bhima lantas mengutip Pasal 6 Ayat 6 dalam RUU HPP, “Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.”
Ia mengakui, tarif dalam program Pengampunan Sukarela Wajib Pajak lebih tinggi daripada tax amnesty jilid I di tahun 2016. Namun, ia meyakini tarif itu tidak akan berdampak siginifikan terhadap penerimaan maupun rasio pajak secara berkelanjutan.
“Pada tahun 2017, rasio pajak tercatat 9,9 persen kemudian setelah tax amnesty hingga 2020 tax ratio turun ke 8,3 persen. Tax amnesty hanya membantu dalam satu tahun fiskal saja, sangat temporer. Faktor ini disebabkan karena follow up terhadap data tax amnesty tidak dilakukan secara serius. Justru tax amnesty menjadi insentif bagi pelaku usaha untuk terus lakukan penghindaran pajak,” ungkap Bhima.
Selain itu, alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menganalisis, program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak berpihak pada sektor pengolahan SDA dan lembaga keuangan yang menerbitkan SBN.
“Misalnya mau masuk ke smelter nikel itu diuntungkan sekali dengan tax amnesty jilid II. Karena ada klausul detail dalam Pasal 5 Ayat 7 bahwa investasi di sektor pengolahan SDA akan mendapat pajak lebih rendah daripada non-SDA. Akan ada banjir investasi di pengolahan barang tambang. Kemudian, yang berkaitan dengan lembaga keuangan yang mendapat fee dari penerbitan SBN. Karena investasinya didorong beli SBN pemerintah maka pasar surat utang jadi menarik,” kata Bhima.
Comments