in ,

Potensi Sengketa Pajak dari Penerapan Pajak Natura

Potensi Sengketa Pajak
FOTO: Tiga Dimensi 

Potensi Sengketa Pajak dari Penerapan Pajak Natura

Pajak.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan mulai berlaku sejak 1 Juli 2023. Tax Litigation and Dispute Senior Manager TaxPrime Henny memiliki hipotesis bahwa penerapan pajak natura dan/atau kenikmatan akan menimbulkan potensi sengketa pajak.

Ia menganalisis, ada beberapa klausul dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023 yang menimbulkan perbedaan interpretasi. Kompleksitas perhitungan pajak natura dan/atau kenikmatan pun perlu dimitigasi oleh Wajib Pajak.

Secara umum, Henny sepakat bahwa PMK Nomor 66 Tahun 2023 memiliki tujuan untuk menciptakan keadilan dan kejelasan bagi Wajib Pajak selaku penerima dan/atau pemberi penghasilan, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dalam hal penentuan objek pajak sehubungan dengan natura dan/atau kenikmatan.

Dalam PMK 66 tahun 2023, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan kini dapat dibiayakan oleh pemberi kerja. Namun, biaya penggantian atau imbalan tersebut berlaku sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Sebaliknya, bagi penerima natura dan/atau kenikmatan, hal tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

PMK Nomor 66 Tahun 2023 sudah secara jelas mengatur jenis dan batasan nilai natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek PPh, antara lain makanan/minuman yang disediakan untuk seluruh karyawan di tempat kerja tanpa batasan nilai, sedangkan kupon makan bagi karyawan dinas luar (termasuk dalam bentuk reimbursement biaya makan/minum) maksimal Rp 2 juta per bulan atau senilai yang disediakan di tempat kerja (mana yang lebih tinggi); fasilitas tempat tinggal komunal (asrama dan sebagainya) tanpa batasan nilai, sedangkan nonkomunal (sewa apartemen/rumah) maksimal Rp 2 juta per bulan; sarana, prasarana, dan fasilitas bagi pegawai beserta keluarga yang bekerja di daerah tertentu termasuk daerah terpencil, meliputi sarana, prasarana, dan fasilitas perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, pengangkutan dan olahraga tanpa batasan nilai; dan lain sebagainya.

“Dengan kejelasan yang ada di PMK Nomor 66 Tahun 2023 ini, dapat memberikan keuntungan bagi Wajib Pajak, contohnya untuk pegawai level menengah ke bawah yang menerima pemberian fasilitas mes karyawan yang merupakan pemberian fasilitas yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Sebenarnya konsep ini sejak PMK Nomor 167 tahun 2018 telah ada, karena pemberian natura dan atau kenikmatan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai yang menerimanya, dengan demikian tidak menjadi objek PPh Pasal 21. Namun disisi lain, dapat terjadi perbedaan interpretasi mengenai pembebanannya di sisi perusahaan. Di PMK Nomor 167 tahun 2018, pemberian mes karyawan di lokasi usaha yang tidak mendapatkan fasilitas daerah tertentu, merupakan pemberian kenikmatan, sehingga digolongkan sebagai biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja. Sedangkan di PMK Nomor 66 tahun 2023 tidak diatur secara jelas apakah termasuk biaya yang dapat dibebankan secara fiskal atau tidak. PMK Nomor 66 tahun 2023 hanya memberikan guideline bahwa natura dan/atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa dapat dikurangkan dari penghasilan bruto oleh pemberi kerja sepanjang, pertama, merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau dengan kata lain terkait dengan biaya 3M. Kedua, merupakan biaya yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan pegawai. Hal ini dapat menjadi sumber sengketa, karena guideline tersebut dapat menimbulkan multitafsir,” ungkap Henny kepada Pajak.comdi Kantor TaxPrime, Gedung TTH, Jakarta, (19/10).

Baca Juga  AKP2I Sampaikan Aspirasi Perumusan Perubahan Izin Konsultan Pajak

Contoh lain menurutnya, “Pemberian sewa apartemen atau sewa perumahan bagi pegawai di daerah yang tidak mendapat fasilitas sebagai daerah tertentu. Dalam PMK Nomor 66 tahun 2023, pemberian fasilitas ini dikecualikan dari objek PPh 21 dengan batasan maksimal Rp 2 juta sebulan. Kemudian akan menjadi pertanyaan, apakah apabila sewa apartemen dengan nilai lebih dari Rp 2 juta sebulan yang dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, lantas dapat dibebankan secara fiskal oleh perusahaan? Dilain pihak, dapat terjadi interpretasi bahwa pemberian fasilitas sewa apartemen bukan biaya terkait dengan 3M maka tidak bisa dibiayakan secara fiskal. Memang, dengan adanya PMK Nomor 66 tahun 2023 ini, terdapat prinsip keadilan dimana bagi pegawai golongan middle-up yang biasanya tidak dikenakan pajak PPh Pasal 21 atas fasilitas yang diterima, sekarang dikenakan. Dengan demikian terdapat penerimaan negara dari pos baru ini yang bisa digunakan lebih lanjut untuk kesejahteraan rakyat—inilah prinsip keadilan tersebut. Namun, dampak PMK Nomor 66 tahun 2023 ini bagi perusahaan sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, karena masalah deductibility secara fiskalnya yang masih menjadi grey area, dan juga banyak tambahan pekerjaan berupa pemungutan PPh Pasal 21 atas natura dan atau kenikmatan yang tata cara perhitungannya cukup kompleks.”

Menurutnya juga, tambahan objek pemungutan PPh Pasal 21 atas natura akan menimbulkan potensi sengketa pajak karena pelaksanaan PMK Nomor 66 Tahun 2023 menciptakan pola transaksi baru. Meskipun pada prinsipnya, setiap aturan baik itu undang-undang, peraturan pemerintah, PMK, dan lainnya terdapat celah-celah potensi sengketa pajak antara berbagai pihak yang terkait didalamnya.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

Henny pun turut menyoroti perihal potensi perbedaan interpretasi di beberapa klausul dari PMK Nomor 66 Tahun 2023.

“Jika interpretasi dalam membaca aturan berbeda-beda, maka dapat menjadi sengketa. Contoh tadi masalah pemberian apartemen, kenapa bisa menjadi sengketa? Karena perusahaan mungkin menganggap sekarang pemberian fasilitas sewa apartemen dapat dibiayakan secara fiskal, yang penting potong PPh 21-nya.  Kemudian di sisi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Pemeriksa Pajak juga bisa berinterpretasi ‘Pemberian fasilitas sewa apartemen tidak berhubungan kepada kegiatan 3M perusahaan, sehingga harusnya tidak boleh dibebankan’. Perbedaan penafsiran inilah yang akan menjadi sengketa,” ujarnya.

Henny menjelaskan bahwa perihal 3M memang kerap menimbulkan sengketa, “Apa sih definisi mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan itu? Kriterianya seperti apa? Setiap praktisi menafsirkannya beda-beda, akhirnya ini akan menjadi sengketa.”

Potensi sumber sengketa lain menurutnya, yaitu mengenai tata cara penilaian dan penghitungan pajak natura yang cukup kompleks. “Kalau kita lihat contoh-contoh perhitungan dari PMK Nomor 66 Tahun 2023 yang terdapat dilampirannya, saya jadi berfikir, ini orang awam faham enggak ya. Padahal yang dipotong penghasilannya kan pegawai yang mungkin tidak familiar dengan perpajakan. Kemudian juga, ini jadi tambahan pekerjaan bagi staf perusahaan yang bertugas melakukan perhitungan, pemungutan, dan pelaporan PPh 21. Salah hitung, akan menjadi sengketa yang dampaknya bisa besar.” ujarnya.

Masalah dokumentasi terkait pemberian fasilitas natura atau kenikmatan yang diberikan perusahaan, bisa menjadi sumber sengketa juga. “Ternyata dokumentasi dari perusahaan itu tidak bagus, kuitansi pembayaran hilang, akhirnya biaya perusahaan dikoreksi  oleh Pemeriksa Pajak karena dapat dianggap sebagai biaya fiktif. Berdasarkan pengalaman menangani sengketa, terkait pembuktian dokumentasi dalam penyelesaian sengketa adalah sangat penting. Dapat melemahkan posisi Wajib Pajak, apabila dokumentasi tersebut tidak memadai.  Jadi, ada beberapa hal yang perlu dimitigasi, antara lain mendefinisikan keterkaitan pemberian fasilitas berupa natura dan atau kenikmatan tersebut kepada biaya 3M dan merupakan biaya yang berkaitan dengan hubungan kerja antara pemberi kerja dan pegawai. Kemudian, mempelajari secara baik dan benar perhitungan pajak natura ini walaupun memang tergolong kompleks,” jelas Henny.

Dengan beragam potensi tersebut, ia merangkum beberapa mitigasi yang dapat dilakukan DJP dan Wajib Pajak.

Pertama, sosialisasi secara intensif kepada perusahaan (Wajib Pajak badan), Wajib Pajak orang pribadi/karyawan terutama golongan menengah ke atas yang berpotensi dikenakan pajak natura ini, maupun konsultan pajak yang merupakan penengah antara DJP dengan Wajib Pajak. Untuk membantu DJP, TaxPrime tengah intensif menggelar sosialisasi PMK Nomor 66 Tahun 2023 kepada perusahaan atau Wajib Pajak badan beserta karyawannya.

Baca Juga  Daftar Lengkap Penyesuaian Jenis dan Tarif Pajak di Kota Malang

“Selain perusahaan, yang harus lebih perhatian seharusnya Wajib Pajak atau karyawan yang akan dikenakan pajak natura. Kadang-kadang karyawan itu kurang perhatian tentang kewajiban perpajakannya, karena merasa sudah dipotong sama perusahaan. Tetapi kemudian ketika mereka diberikan bukti potong pajak dan ada tambahan-tambahan baru, dia bisa kaget atau shock, lalu protes karena tidak mengerti. Selain itu, SPT pegawai dapat menjadi Kurang Bayar karena adanya tambahan-tambahan penghasilan dari pemberian natura atau kenikmatan ini, akibatnya dilakukan pemeriksaan, dan bila terjadi ketidaksepakatan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, akan berujung pada sengketa ,” ujar Henny.

Ia juga menggarisbawahi bahwa Wajib Pajak yang berdampak atas pajak natura dan/atau kenikmatan ini merupakan karyawan level menengah ke atas yang mendapat berbagai fasilitas seperti level manager, CEO, dan direktur. Mereka pun kemungkinan menempati jabatan di beberapa perusahaan, sehingga kerumitan perhitungan pajak natura dan/atau kenikmatan akan semakin tinggi.

Henny menjelaskan,  “Biasanya,  karyawan middle-up penghasilannya bersumber dari berbagai tempat, dia bisa menjadi pemegang saham atau memegang berbagai jabatan di berbagai perusahaan. Belum lagi mungkin dia punya penghasilan lain atau bisnis, dan punya aset atau investasi di berbagai tempat bahkan sampai ke luar negeri. Maka, sangat disarankan agar  Wajib Pajak bersikap prudent atau berhati-hati terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Kalau pun tidak bisa menangani perihal pemenuhan perpajakannya karena hanya fokus pada pekerjaan dan bisnisnya, Wajib Pajak bisa menggunakan konsultan pajak yang profesional dan telah memiliki lisensi resmi,” kata Henny.

Kedua, untuk memitigasi sengketa pajak, pembukuan perusahaan harus follow the rule, baik Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) maupun peraturan perpajakan. Pembukuan juga harus mengakomodir pencatatan atas pemberian fasilitas natura dan/atau fasilitas kepada karyawan secara terperinci.

“Sekali lagi, jangan lupakan dokumentasi. Dokumentasi ini salah satu yang menjadi potensi sengketa. Di berbagai kasus, dokumentasi menjadi tidak memadai  dikarenakan belum sistematis, sehingga apabila terjadi pergantian pegawai, maka bisa terjadi hilangnya history transaksi beserta dokumen pendukungnya. Padahal pembuktian dokumentasi menjadi poin utama penyelesaian sengketa,” tutup Henny.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *