in ,

Praktik Transfer Pricing di Tengah Kompleksitas Industri Logistik

Praktik Transfer Pricing di Industri Logistik
FOTO: TAXPRIME

Praktik Transfer Pricing di Tengah Kompleksitas Industri Logistik

Pajak.com, Jakarta – Perkembangan bisnis di industri logistik diproyeksi akan semakin melesat seiring dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan permintaan pelanggan. Hal tersebut semakin menggarisbawahi pentingnya memahami penerapan praktik transfer pricing di industri logistik. Transfer Pricing Compliance and International Tax Supervisor TaxPrime Yunianto Kurniawan menyebut, praktik transfer pricing dalam industri logistik sangat unik karena kebijakan perusahaan di sektor tersebut sangat bergantung pada kebutuhan pelanggan di antaranya karena profitabilitas dan performa perusahaan di sektor logistik sangat bergantung pada tingkat kebutuhan masing-masing profil pelanggan akhir dari pelanggan perusahaan logistik itu sendiri. Hal ini dikarenakan nature dari industri logistik, yaitu sebagai intermediary atau perantara dengan proposisi nilai secara umum yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas aktivitas distribusi perusahaan.

“Bicara transfer pricing, bukan hanya bicara formal, tetapi bicara substansi atas transaksi afiliasi tersebut (the rationale). Bisnis logistik sangat bergantung pada kondisi industri dari masing-masing pelanggan di mana pelanggan akan mencari perusahaan logistik yang mampu mengantarkan barang yang tepat, dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dan dengan harga dan kondisi yang masuk akal menurut mereka. Inilah uniknya bisnis logistik,” terang Yunianto kepada Pajak.com di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (12/2).

Baca Juga  SPT Tahunan Badan: Ketentuan, Jenis Pajak, dan Tahapan Pengisian

Dia menjelaskan, industri logistik secara garis besar dibagi berdasarkan tiga jenis, yakni pergudangan (warehousing), jasa pengiriman barang (freight forwarding), dan transportasi (transportation). Demi terciptanya kepuasan pelanggan, ketiga kategori bisnis tersebut akan saling berhubungan bahkan tumpang tindih. Kemudian dari ketiga kategori tersebut, jasa pengiriman barang merupakan jenis layanan yang melibatkan volume cross-border affiliated transactions paling tinggi.

“Salah satu kunci dalam bisnis ini adalah konektivitas, semakin banyak memiliki jaringan pada setiap negara maka semakin baik. Misalnya, untuk membangun jaringan dengan negara (asal dan tujuan) yang tidak ada pihak berelasi maka cara efisien bukan lagi membangun konektivitas per entitas, bukan per perusahaan, tetapi per grup usaha,” jelas Yunianto.

Baca Juga  Akuntan Pajak: Arsitek Keuangan dan Penguat “Self-Assessment”

Metode Penentuan Transfer Pricing

Setidaknya ada lima metode penentuan transfer pricing dalam peraturan domestik yang berlaku saat ini. Salah satu pilihan metode yang paling sesuai untuk pengujian jasa pengiriman adalah metode perbandingan harga (comparable uncontrolled price/CUP). Metode ini bertujuan untuk membandingkan harga antara transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang diuji dan transaksi independen.

Metode CUP dapat didasarkan pada dua set jenis data pembanding, yakni internal dan eksternal dengan data internal lebih diutamakan dibanding data eksternal, berdasarkan transfer pricing guidelines yang dikeluarkan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) maupun peraturan domestik yang berlaku saat ini.

Meski begitu, Yunianto menegaskan perlunya kehati-hatian dalam penggunaan metode dalam pengujian transfer pricing di industri logistik. Pasalnya, industri ini memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri. Dia lantas memberikan ilustrasi. Misal, atas permintaan pelanggan, PT A bertransaksi dengan PT B yang berafiliasi untuk pengiriman ke negara AB, lalu PT A bertransaksi dengan PT C yang tidak berafiliasi untuk pengiriman ke negara AC. Jika dibandingkan antara kedua transaksi tersebut, dalam pandangan umum, biasa atas transaksi independen tersebut dikategorikan tidak sebanding dan tidak bisa dijadikan pembanding.

Baca Juga  Langgar Pajak, Rekanan Smelter Nikel Dikirim ke Kejati Sultra

“Namun, hal ini dapat dikategorikan sebagai internal CUP (dengan asumsi faktor kesebandingan lainnya terpenuhi) dalam konteks industri logistik karena hal tersebut merupakan praktik yang lazim dalam industri tersebut sehingga kita mesti tahu lebih dulu bagaimana cara main industrinya, baru kita bisa menentukan metode untuk menguji kewajaran dan kelaziman usahanya. Tidak bisa kita langsung tentukan metodenya tanpa melihat lazim usaha di industri yang akan diuji,” katanya.

Lebih lanjut, jelas Yunianto, keterbatasan data pembanding juga menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk industri logistik selain karakteristik dan keunikan yang disebutkan sebelumnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *