in ,

Pengaturan Kriteria Hubungan Istimewa dan Hak Wajib Pajak

Kriteria Hubungan Istimewa
FOTO: Tiga Dimensi

Pengaturan Kriteria Hubungan Istimewa dan Hak Wajib Pajak

Pajak.com, Jakarta – Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pajak Penghasilan, semakin mempertegas pengaturan terkait penentuan harga transfer (transfer pricing) serta kriteria hubungan istimewa sebagai salah satu mekanisme pencegahan penghindaran pajak berupa penyalahgunaan transfer pricing (transfer mispricing). Lantas, apa saja kriteria yang menyebabkan hubungan istimewa dalam aturan terbaru itu? Dan, bagaimana kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun hak Wajib Pajak terhadap mekanisme tersebut? Transfer Pricing and International Tax Manager TaxPrime Bobby Savero menjelaskannya berdasarkan regulasi yang berlaku.

Definisi dan kriteria

Sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) PP Nomor 55 Tahun 2022, hubungan istimewa merupakan keadaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya yang disebabkan oleh kepemilikan atau penyertaan modal; penguasaan; atau hubungan keluarga sedarah atau semenda.

Bobby mengungkapkan, sejatinya, pengaturan terkait dengan hubungan istimewa dalam PP Nomor 55 Tahun 2022 secara substansi tidak berbeda dengan ketentuan yang telah berlaku sebelumnya, yaitu PMK 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer. Hanya saja, dengan ditingkatkannya ketentuan ini sehingga dimasukkan ke dalam PP Nomor 55 Tahun 2022, semakin jelas dan tegas interpretasi resmi pemerintah terkait definisi hubungan istimewa.

Secara lebih rinci, kriteria hubungan istimewa dalam PP Nomor 55 tahun 2022, yaitu pertama, hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal dianggap ada bila Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25 persen pada Wajib Pajak lain. Hubungan istimewa karena kepemilikan atau penyertaan modal itu juga dianggap ada jika hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25 persen pada 2 Wajib Pajak atau lebih atau hubungan di antara 2 Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

Baca Juga  Ketua RT/RW Jadi Agen Pajak, Bantu Warga Lapor SPT dan Pemadanan NIK - NPWP

Kedua, hubungan istimewa karena penguasaan. Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada, jika 1 pihak menguasai pihak lain atau 1 pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung; 2 pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung; 1 pihak menguasai pihak lain atau 1 pihak dikuasai oleh pihak lain melalui manajemen atau penggunaan teknologi; terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada 2 pihak atau lebih; para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau 1 pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.

“Di PMK 22 yang sekarang disempurnakan di PP 55 itu dibuat lebih lanjut, bahwa orang yang menyatakan diri memiliki hubungan istimewa itu bisa dikatakan mempunyai hubungan istimewa atau orang yang secara komersial dan finansial mengaku memiliki hubungan istimewa dengan satu perusahaan. Misalnya, ada dua perusahaan A dan B. Di laman resmi perusahaan A dinyatakan, ‘kami bagian dari grup PT B. Maka, itu sudah cukup untuk digunakan dalam menunjukkan keberadaan hubungan istimewa,” jelas Bobby kepada Pajak.com, (16/3).

Baca Juga  Hak Wajib Pajak saat Terima Surat Tagihan Pajak

Ketiga, hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda. Artinya, hubungan istimewa karena hubungan keluarga sedarah atau semenda dianggap ada dalam hal terdapat hubungan keluarga, baik sedarah maupun semenda, dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping 1 derajat.

Selain itu, dalam Pasal 35 Ayat (2) PP Nomor 55 Tahun 2022 juga tidak hanya memperjelas mengenai transaksi hubungan istimewa, tetapi juga transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.

Hak Wajib Pajak dan Kewenangan DJP 

Bobby menjelaskan, transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa meliputi, pertama, transaksi afiliasi. Kedua, transaksi independen di mana salah satu pihak afiliasi dari pihak dalam transaksi mengatur pihak dan harga transaksi. Dalam situasi demikian, maka Wajib Pajak wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) atau arm’s length principle. 

“Selama ini selalu ada pertanyaan DJP berwenang untuk melakukan koreksi atas penentuan harga transfer oleh Wajib Pajak. Lalu, kewajiban Wajib Pajak-nya bagaimana? Nah, pada PP Nomor 55 ini dibuat tegas hak Wajib Pajak, yaitu jika punya transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, wajib melaksanakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Kalau Wajib Pajak tidak melakukan atau melakukan tapi tidak sesuai dengan prinsip kewajaran, maka DJP berwenang melakukan koreksi. Jadi seimbang posisi kewajiban Wajib Pajak dan hak DJP.” Jelas Bobby.

Baca Juga  Kriteria dan Prosedur Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Tahunan Badan 

Secara lebih rinci, mengutip Pasal 36 PP Nomor 55 Tahun 2022, direktur jenderal pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak jika Wajib Pajak:

  • Tidak menerapkan PKKU;
  • Menerapkan PKKU, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; atau
  • Menentukan harga transfer tidak memenuhi PKKU.

“Selanjutnya, yang lebih menarik tentunya adalah delegasi yang diberikan PP 55 untuk mengatur penerapan transfer pricing secara lebih lanjut dan diharapkan komprehensif pada Peraturan Menteri Keuangan. Bagaimana Menteri Keuangan menyempurnakan ketentuan terkait penerapan transfer pricing sehingga dapat mengurangi sengketa dan mendorong kepastian hukum sangat layak untuk ditunggu,” jelas Bobby.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *