DJP Tingkatkan Kapasitas Penanganan “Transfer Pricing”
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggandeng Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengadakan kegiatan tingkatkan kapasitas (capacity building) pegawai pajak mengenai penanganan transfer pricing, di Lantai 27 Gedung Mar’ie Muhammad Kantor Pusat DJP, Jakarta.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menyatakan, kapasitas pegawai pajak di bidang penanganan transfer pricing perlu ditingkatkan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Apalagi, transfer pricing masuk dalam Rencana Strategis DJP 2020-2024, yang diimplementasikan dengan terbentuknya Gugus Tugas Transfer Pricing di Kantor Pusat dan seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP.
“Salah satu pilar peningkatan kapasitas pegawai melalui pelatihan pelatihan rutin, baik yang dilakukan bersama organisasi internasional, seperti OECD, atau dilakukan sendiri dengan melibatkan AR (Account Representative) dan para senior untuk berbagi pengalaman dalam penanganan isu-isu transfer pricing,” ungkap Mekar, kepada Pajak.com, (7/10).
Secara spesifik, DJP dan OECD melakukan pelatihan bertajuk ‘OECD Transfer Pricing Guidelines 2022’, diantaranya membahas terkait dengan transaksi jasa intragrup, harta tidak berwujud, dan aspek transfer pricing dalam transaksi finansial. Secara simultan, dibahas pula aspek manajemen, mulai dari penyusunan rencana dan target, alokasi sumber daya agar optimal, pelaksanaan, hingga evaluasinya.
“Capacity building di bidang transfer pricing ini memiliki peran yang signifikan dalam upaya kita dalam mengoptimalkan penerimaan pajak Indonesia melalui kepatuhan Wajib Pajak. Tahun ini DJP fokus pada penguatan bisnis proses berdasarkan strategic management modern di tingkat wilayah, sambil terus meningkat kan kapasitas pegawai, dan penyempurnaan serta penyerdehanaan aturan,” jelas Mekar.
Dalam kegiatan ini Senior Transfer Pricing Advisor OECD Melinda Brown membahas mengenai transaksi jasa intragroup. Salah satu topik yang dibahas, yaitu cara mendelineasi transaksi secara akurat serta aspek-aspek transfer pricing dalam jasa intragrup.
Sementara itu, Simon Hofstatter selaku pejabat dari otoritas pajak Austria, menyampaikan materi mengenai aspek-aspek harta tidak berwujud yang diperbarui pada OECD Transfer Pricing Guideline 2022.
Kemudian, pejabat dari otoritas pajak Inggris, Anthony Clark menyampaikan materi tentang aspek transfer pricing dalam transaksi finansial, khususnya terkait dengan pinjaman, guarantee, hingga cash pooling. Aspek transfer pricing dalam transaksi finansial penting dibahas dalam capacity building mengingat materi tersebut juga diulas dalam bab tersendiri pada OECD Transfer Pricing Guideline 2022.
Kegiatan kolaborasi antara DJP dan OECD ini diikuti 170 orang yang merupakan perwakilan dari Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan beberapa direktorat pada Kantor Pusat DJP. Hadir pula perwakilan dari Pengadilan Pajak serta Pusat Pendidikan dan Pajak (Pusdiklat) Pajak.
Sekilas mengulas, berdasarkan OECD Transfer Pricing Guideline 2022 yang dirilis 20 Januari 2022, OECD juga menekankan pentingnya penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) dalam transaksi keuangan intragrup perusahaan. Kemudian, OECD merekomendasikan langkah-langkah strategis bagi perusahaan untuk menghindari atau meminimalkan risiko bunga utang jatuh tempo.
Pada bab I pedoman transfer pricing 2022, OECD juga menjelaskan kapan dan dalam kondisi seperti apa sebaiknya perusahaan menggunakan transactional profit split method (PSM). Sebagai informasi, PSM atau metode pembagian laba adalah metode penentuan harga transfer yang membagi laba gabungan kepada pihak yang terlibat dalam transaksi afiliasi berdasarkan kontribusi yang diberikan.
Dalam hal ini OECD memperbarui pendekatan PSM yang menjadi rekomendasi sebelumnya, serta memberikan contoh dan ilustrasi penggunaan metode pembagian laba dalam penetapan harga transaksi afiliasi.
Secara khusus OECD menjelaskan, transaksi afiliasi perusahaan multinasional menjadi perhatian karena peranannya semakin penting dalam aktivitas perekonomian. Di sisi lain, korporasi dihadapkan ketentuan pajak yang tidak selalu sama antar-yurisdiksi sehingga perlu adanya pedoman yang seragam. OECD menekankan perlunya kerja sama lintas yurisdiksi guna mencegah terjadinya pemajakan berganda atas objek yang sama.
Melalui pedoman transfer pricing yang baru ini, OECD mengingatkan otoritas pajak untuk memastikan tidak terjadi pengalihan laba secara artifisial dan basis pajak yang dilaporkan perusahaan multinasional di yurisdiksinya mencerminkan kegiatan ekonomi yang wajar dan sebenarnya. Karenanya, penerapan prinsip kewajaran usaha secara konsisten diharapkan bisa memitigasi potensi konflik antara otoritas dengan Wajib Pajak.
Comments