in ,

Perlu Kehati-hatian dalam Transaksi “Transfer Pricing” di Industri Logistik

“Transfer Pricing” di Industri Logistik
FOTO: Taxprime

Perlu Kehati-hatian dalam Transaksi “Transfer Pricing” di Industri Logistik

Pajak.com, Jakarta – Praktik transfer pricing, terutama di industri logistik, terbilang cukup unik. Transfer Pricing Compliance and International Tax Supervisor TaxPrime, Yunianto Kurniawan, menjelaskan, perusahaan logistik perlu membangun konektivitas dengan banyak perusahaan lain pada setiap negara sehingga sangat memungkinkan munculnya hubungan istimewa. Dengan begitu, menilai praktik transfer pricing di industri logistik perlu kehati-hatian dengan memperhatikan karakteristik dan keunikan industri tersebut.

Persaingan dalam logistik, diurai Yunianto, secara umum sangat kompetitif karena perusahaan logistik harus mampu mengantarkan barang yang tepat, dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan harga yang kompetitif dibandingkan dengan penyedia jasa yang sejenis.

“Bagaimana cara perusahaan logistik bersaing? Untuk target jangka menengah-panjang, perusahaan-perusahaan di industri logistik ini mencoba membangun kepercayaan dan loyalty dari pelanggan-pelanggannya. Hal ini bertujuan agar pelanggan tersebut tidak ke perusahaan pesaing, jika bisa melakukan repeat order, atau bahkan merekomendasikan service mereka ke calon pelanggan. Hal itu tercapai jika perusahaan dapat memenuhi atau bahkan melewati ekspektasi terkait harga, jangkauan, dan lainnya,” jelas Yunianto kepada Pajak.com dalam sebuah wawancara di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (30/4).

Baca Juga  DJP Berwenang Lakukan Pemeriksaan Pajak Tujuan Lain, Apa Itu?

Ia pun mengilustrasikan sebuah kasus perihal transfer pricing di industri logistik, yaitu bagaimana menerapkan salah satu metode yang dapat digunakan dalam pengujian arm’s length principle pada industri ini. Metode yang dimaksud adalah Comparable Uncontrolled Transaction (CUT), lebih spesifik lagi, yakni internal CUT.

“Dalam penerapannya, ternyata tidak bisa disamaratakan dengan industri lain karena ada keunikan di industri ini yang membentuk dan merupakan kelaziman di industri logistik. Karakter dan keunikan ini bisa teridentifikasi saat melakukan analisis industri dengan sudut pandang yang menyeluruh (holistic point of view). Atas dasar itu, Wajib Pajak dan konsultan harus bisa bekerja sama agar mampu menghasilkan analisis yang solid dan disertai dengan bukti dan/atau informasi pendukung yang relevan,” kata Yunianto menguraikan.

Baca Juga  Kepatuhan Pelaporan SPT Tahunan Kanwil DJP Aceh Tumbuh 11,95 Persen

Di sisi lain, menurutnya, dibutuhkan pula komunikasi yang baik antara otoritas dan Wajib Pajak dalam pelaksanaan praktik transfer pricing di industri logistik.

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memenuhi kelengkapan dokumentasi yang diminta otoritas pajak. Selain itu, Wajib Pajak juga perlu membagikan penafsiran mereka tentang industri mereka dan pihak otoritas perlu mendengarkan dengan baik.

“Dari dulu saya percaya antara Wajib Pajak dengan tax authority pasti berbeda. Jelas. Namun, sebenarnya itu bukan masalah selama bisa berkomunikasi. Value saya menjadi business advisor adalah mengedukasi klien karena konsultan itu penengah sehingga saya harus terus mengedukasi, menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak,” pungkasnya.

Baca Juga  3 Aplikasi dan Cara Bayar Pajak Motor secara “On-Line”

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *