in ,

Tantangan “Secondary Adjustment” dari Perspektif “Transfer Pricing”

Tantangan “Secondary Adjustment”
FOTO: TaxPrime

Tantangan “Secondary Adjustment” dari Perspektif “Transfer Pricing”

Pajak.com, Jakarta – Implementasi ketentuan secondary adjustment (koreksi sekunder) di Indonesia masih memiliki beberapa tantangan. Transfer Pricing Compliance and International Tax Supervisor TaxPrime Riscadelia Leonora Wenno menilai ada beberapa tantangan yang dihadapi, khususnya dari perspektif transfer pricing seperti risiko sengketa pajak hingga ketidakpastian hukum. Tantangan ini perlu disikapi dengan serius oleh berbagai pihak terkait agar tujuan mulia dari ketentuan secondary adjustment bisa terwujud dengan baik.

Riscadelia merinci, salah satu sumber tantangan secondary adjustment di Indonesia ialah belum ada petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci terkait mekanisme teknis pengenaan pajak atas selisih nilai transaksi afiliasi dan transaksi independen yang diperlakukan sebagai dividen (constructive dividend). Ketiadaan penjelasan tersebut menciptakan kesalahan atau multitafsir pada Wajib Pajak ataupun konsultan pajak atas pemahaman costructive dividend. Di sisi lain, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk melakukan edukasi terkait costructive dividend.

“Tantangan yang dihadapi dalam penggunaan dividen sebagai corresponding adjustment cukup besar, karena memang Wajib Pajak ataupun kita sebagai konsultan pajak belum bisa memahami terlalu dalam, karena belum ada penjelasan rinci tentang hal tersebut,” katanya kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (19/1).

Baca Juga  Batas Waktu Telah Lewat, Wajib Pajak Orang Pribadi Masih Bisa Lapor SPT?

Di Indonesia ketentuan secondary adjustment tertuang dalam Pasal 22 ayat (8) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.03/2020, Pasal 36 ayat (6) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, dan di dalam Pasal 37 ayat (1) PMK 172 Tahun 2023.

“Isi ketiga Pasal 22 sebenarnya sama, kurang lebih seperti ini: kalau ada selisih harga yang tidak sesuai antara transaksi afiliasi dibandingkan dengan transaksi independen, maka selisih itu akan dianggap atau diberlakukan sebagai dividen. Kenapa? Karena fiskus menganggap selisih tersebut adalah pembagian laba tidak langsung kepada pihak afiliasi. Nah, selisih yang diberlakukan sebagai dividen ini kalau dalam ilmu transfer pricing biasanya kita sebut sebagai dividen terselubung atau constructive dividend,” paparnya.

Ia mengakui, bahwa memang terdapat memo internal DJP yang membahas detail mengenai secondary adjustment dan constructive dividend. Hanya saja memo tersebut bersifat internal dan belum bisa dijadikan sebagai dasar hukum dalam sengketa pajak.

Baca Juga  Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Rp 23,04 T per Maret 2024

“Sebenarnya isi memo internal itu bagus dan sangat menunjang ketiga UU tadi. Cuma karena berbentuk nota maka tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga perlu diterbitkan teknis-teknis baru, misalkan dituangkan dalam PMK sehingga bisa menjadi dasar hukum ketika ada sengketa,” harapnya.

Tantangan lain dari ketentuan secondary adjustment ialah wajib pajak dihadapkan pada risiko terkena double taxation (pajak berganda) apabila koreksi harga transfer dianggap sebagai dividen dan harus dikenai Pajak Penghasilan (PPh), sementara withholding tax atas dividen tersebut tidak dapat dikreditkan di negara lawan transaksi.

“Kenapa bisa double taxation? Misalkan koreksi kita ini adalah koreksi mengenai transaksi yang masuk ke dalam PPh badan, tapi karena transaksi afiliasi dia menganggap sebagai dividen sehingga timbul objek pajak baru. Jadinya, Wajib Pajak itu bisa dikenakan pajak dua kali. Dalam koreksi dia harus bayar kekurangan dari PPh badan, tapi timbul lagi dari PPh 23. Padahal, belum tentu PPh yang dia bayarkan itu bisa dikreditkan atau tidak,” paparnya.

Baca Juga  Sertifikat Elektronik Wajib Pajak Badan Bisa Diajukan oleh Kuasa?

Riscadelia memahami ketentuan secondary adjustment memiliki tujuan mulia untuk mencegah penggerusan basis pajak atau base erosion and profit shifting (BEPS) dari suatu negara ke negara lain. Oleh karena itu, ia berharap ada penjelasan dan definisi terkait constructive dividend dalam UU Perpajakan di Indonesia.

“Contohnya, apa yang sudah tertuang di memo internal DJP bisa ditambahkan lagi di dalam UU Perpajakan Indonesia sehingga ada keseragaman pemahaman antara fiskus dan Wajib Pajak. Kemudian perlu dibuat peraturan pelaksanaan dan teknis secara spesifik tentang penerapan secondary adjustment,” pungkasnya.

Perlu diketahui, selama ini constructive dividend menjadi salah satu modus yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghindari pengenaan pajak. Cara yang dilakukan biasanya dengan membuat transaksi yang sebenarnya merupakan distribusi keuntungan kepada pemegang saham menjadi pengeluaran biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak terutang (deductible expenses).

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *