Perlakuan Perpajakan pada Perusahaan Joint Venture
Perlakuan Perpajakan pada Perusahaan Joint Venture. Penghasilan dapat didefinisikan sebagai tambahan setiap kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Adanya pendirian dan pelaksanaan proyek pada perusahaan Joint Venture, mengharuskan objek penghasilan yang diterima dari perusahaan ini harus dikenakan. Objek pajak penghasilan yang dikenakan pada bentuk kerjasama ini antara lain:
A. Pajak Penghasilan Pasal 21
Pajak ini dikenakan pada saat Joint Venture melakukan pembayaran atau pengakuan biaya sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dalam negeri. Orang pribadi yang dimaksudkan disini adalah tenaga ahli (notaris, konsultan) sebagai Wajib Pajak yang menerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.
B. Pajak Penghasilan Pasal 23
Pajak ini muncul pada saat perusahaan Joint Venture ini melakukan pembayaran atas sewa kendaraan dan peralatan yang digunakan dalam proses pelaksanaan kegiatan proyek.
C. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 (Final)
Dikenakan atas sewa gedung kantor yang dilakukan atas nama perusahaan Joint Venture kepada pemilik/yang menyewakan, maka kewajiban PPh Pasal 4 Ayat 2 final sebesar 10% berada ditangan perusahaan Joint Venture harus dikenakan.
Dalam hal segala bentuk perpajakan yang ditanggung oleh perusahaan Joint Venture adalah menjadi tanggung jawab perusahaan ini. Bukan menjadi tanggung jawab pemberi kerja. Perusahaan pemberi kerja tidak terlibat dalam pemotongan pajak yang dipotong oleh perusahaan Joint Venture kepada Wajib Pajak.
Semua pengenaan pajak yang dilakukan Joint Venture adalah menjadi tanggung jawab perusahaan Joint Venture. Sedangkan tanggung jawab perpajakan yang dipikul oleh para venturer adalah tanggung jawab mereka kepada Joint Venture, bukan tanggung jawab mereka kepada project owner (pemberi kerja).
Pengenaan pajak yang dikenakan oleh masing-masing venturer langsung dilaporkan kepada perusahaan Joint Venture. Sehingga perusahaan Joint Venture akan melakukan pembukuan dari pelaporan masing-masing venturer. Pembukuan yang telah dilakukan oleh Joint Venture akan dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan ini terdaftar.
Insentif pajak atau yang dalam peraturan perpajakan Indonesia disebut dengan fasilitas pajak, secara umum dapat diartikan sebagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal perpajakan. Kebijakan pemberian intensif perpajakan dinilai hanya akan berdampak kurang baik bagi penerimaan Negara.
Adanya intensif pajak akan menimbulkan ketidakefisienan. Dikatakan tidak efisien karena berkurangnya penerimaan pajak bagi Negara karena memberikan intensif pajak, sehingga pengamat perpajakan internasional dari Tax Center UI Danny Septriadi mengatakan, berdasarkan conventional wisdom yang telah diterima umum akademisi dan organisasi internasional yang aktif memberikan saran mengenai perpajakan internasional, pemberian insentif pajak mempunyai dampak yang buruk baik secara teori maupun praktik.
Oleh karena itu, World Bank dan International Monetary Fund (IMF) pada umumnya tidak menyarankan Negara berkembang untuk memberikan intensif pajak untuk investor asing. Sementara OECD dan G20 mencegah kompetisi tidak sehat (harmful tax competition) bagi negara-negara yang memberikan intensif pajak.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia belum memberikan fasilitas pajak (Tax Incentive) terhadap penerapan pajak pada perusahaan Joint Venture ini, walaupun terhadap penyertaan modal Joint Venture yang berasal dari perusahaan dalam negeri.
Comments