in ,

Pancaragam PPh Pasal 4 Ayat 2: Definisi, Objek, dan Tarif

Pancaragam PPh Pasal 4 Ayat 2
FOTO: IST

Pancaragam PPh Pasal 4 Ayat 2: Definisi, Objek, dan Tarif

Pajak.com, Jakarta – Pajak Penghasilan atau PPh mungkin tidak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat. Pajak pusat ini dikenakan kepada orang pribadi maupun perusahaan yang menerima penghasilan dalam kurun waktu satu tahun. Pancaragam PPh Pasal 4 Ayat 2: Definisi, Objek, dan Tarif

Namun, berdasarkan peraturannya, PPh dibagi lagi menjadi beberapa jenis—tergantung dari objek dan subjek yang dikenakan, pancaragam PPh Pasal 4 ayat (2). Pancaragam PPh Pasal 4 Ayat 2, bagaimana penjelasan, objek, dan tarif PPh Pasal 4 ayat (2), ya? Berikut Pajak.com uraikan untuk Anda.

Pengertian dan dasar hukum

Pajak Penghasilan sejatinya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Namun seiring perjalanannya, UU ini mengalami beberapa kali perubahan, seperti yang tercantum dalam undang-undang berikut:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan;
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; dan
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Meski telah mengalami perubahan beberapa pokok substansinya, PPh Pasal 4 ayat (2) secara definisi tetap dimaknai sebagai pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan jasa tertentu dan sumber tertentu seperti jasa konstruksi, sewa tanah atau bangunan, pengalihan hak atas tanah atau bangunan, hadiah undian, dan lainnya.

Sederhananya, PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak penghasilan atas jenis penghasilan tertentu yang bersifat final dan tidak bisa dikreditkan dengan pajak penghasilan terutang. Itulah mengapa, PPh Pasal 4 ayat (2) ini umumnya dikenal sebagai PPh Final.

Adapun menurut International Tax Glossary (2009) yang dikeluarkan oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), PPh Pasal 4 ayat (2) atau PPh Final digunakan untuk mengilustrasikan penghasilan yang dikenai withholding tax dan bukan termasuk penghasilan yang menggunakan perhitungan pajak dengan tarif progresif.

Objek PPh Pasal 4 ayat (2)
Baca Juga  DJP dan BPH Migas Integrasikan Data

Seperti disinggung sebelumnya, PPh Pasal 4 ayat (2) ini dikenakan terhadap penghasilan atau pendapatan tertentu yang disebut objek pajak. Secara rinci objek PPh Pasal 4 ayat (2) adalah sebagai berikut:
1. Sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, gedung pertemuan termasuk  bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang, bangunan industri
2. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi  penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan  hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati
3. Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya
4. Penghasilan dari pelaksanaan konstruksi (kontraktor)
5. Penghasilan dari perencanaan/pengawasan konstruksi (konsultan)
6. Hadiah undian
7. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
8. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
9. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Adapun perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sementara obligasi yang dimaksud di atas adalah termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan. Kemudian Surat Utang Negara (SUN) yang dimaksud di atas meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.

Mengutip dari laman Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghasilan-penghasilan tersebut merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain:

– perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;

– kesederhanaan dalam pemungutan pajak;

– berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;

Baca Juga  Ketahui Ketentuan Kedaluwarsa Penagihan Pajak

– pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan

– memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya.

Tarif PPh Pasal 4 ayat (2)

PPh Pasal 4 ayat (2) memiliki skema tarif khusus atas setiap jenis penghasilan, serta biaya yang terkait atas penghasilan tersebut tidak bisa menjadi pengurang penghasilan bruto. Untuk diketahui, pembayaran dan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2) bukan merupakan pembayaran di muka atas PPh terutang, melainkan menjadi pelunasan.

Dengan demikian, Wajib Pajak yang telah dipotong atau menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) terutangnya, maka sudah dianggap melunasi pajaknya. Untuk skema tarif bagi Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan akan merujuk pada sumber-sumber penghasilan yang diperolehnya.

Berikut ini tarif dari setiap objek pajak PPh Pasal 4 ayat (2):

1. Tarif sebesar 20 persen dikenakan atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), serta jasa giro. Ketentuan tarif ini diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 131 Tahun 2000 dan KMK Nomor 51/KMK.04/2001.
2. Tarif sebesar 10 persen dikenakan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada para anggotanya (kecuali bunga di bawah Rp 240 ribu tidak dikenakan pajak). Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 15 Tahun 2009.
3. Tarif sebesar 10 persen dikenakan atas dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak menginvestasikan dividennya di dalam negeri dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak dividen diperoleh. Apabila diinvestasikan, maka tidak dikenakan pajak. Ketentuan ini sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 (UU HPP).
4. Tarif sebesar 10 persen dikenakan terhadap persewaan atas tanah dan/atau bangunan. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh.
5. Tarif sebesar 0-20 persen dikenakan atas bunga obligasi dan SUN lebih dari 12 bulan. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan PP Nomor 16 Tahun 2009.
6. Tarif sebesar 25 persen dikenakan atas hadiah atau undian. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 132 Tahun 2000.
7. Tarif sebesar 0,5 persen dikenakan atas transaksi penjualan saham pendiri, dan tarif sebesar 0,1 persen dikenakan atas transaksi saham bukan pendiri.
8. Tarif sebesar 5 persen dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, termasuk usaha real estate. Sedangkan, tarif sebesar 1 persen dikenakan atas pengalihan rumah sederhana dan rumah susun sederhana.
9. Tarif sebesar 0,1 persen dikenakan atas transaksi penjualan saham atau pengalihan penyerahan modal pada perusahaan pasangannya yang diperoleh perusahaan modal ventura.
10. Tarif sebesar 2,5 persen dikenakan atas transaksi derivatif berjangka panjang yang sudah diperdagangkan di bursa. Ketentuan ini lebih lanjut diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2009.
11. Untuk tarif PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi sesuai PP Nomor 9 Tahun 2022 adalah sebagai berikut:
a. Tarif sebesar 1,75 persen dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi kecil dengan sertifikasi;
b. Tarif sebesar 4 persen dikenakan terhadap pelaksana jasa konstruksi tanpa sertifikasi;
c. Tarif sebesar 2,65 persen dikenakan terhadap pelaksana konstruksi menengah dan besar;
d. Tarif sebesar 2,65 persen dikenakan atas penyedia jasa yang mempunyai sertifikasi badan usaha;
e. Tarif sebesar 4 persen dikenakan atas penyedia jasa yang tidak mempunyai sertifikasi badan usaha;
f. Tarif sebesar 3,5 persen dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia jasa konstruksi yang mempunyai sertifikasi usaha;
g. Tarif sebesar 6 persen dikenakan terhadap perancang atau pengawas jasa konstruksi oleh penyedia jasa konstruksi yang tidak mempunyai sertifikasi usaha.

Baca Juga  DJP: Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Badan Bisa Secara “On-line”

 

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *