Logika Baru Ekstensifikasi Perpajakan di Indonesia
Per masa pajak Januari 2024, Wajib Pajak Pemberi Kerja (WPPK) di seluruh Indonesia diwajibkan menggunakan aplikasi e-Bupot PPh 21/26 untuk melakukan pemotongan dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) 21 atas karyawan. Penggunaan aplikasi e-Bupot PPh 21/26 ini merupakan praktik yang baru, karena sebelumnya menggunakan aplikasi e-SPT dan dilaporkan lewat menu e-Filing CSV pada kanal DJP Online atau Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Melalui tulisan ini, saya akan mengajak anda berpikir tentang logika baru ekstensifikasi di Indonesia.
Mulai 13 Januari 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Pengumuman Nomor PENG-6/PJ.09/2024 (PENG-6) tentang Penggunaan Nomor Pokok Wajib Pajak Pada Sistem Administrasi Perpajakan. Pengumuman ini menyampaikan beberapa hal mengenai Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan NPWP dengan format 16 digit baru yang dapat digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan tanggal 30 Juni 2024. Lebih lanjut, kita akan bersama-sama membahas tentang perihal PENG-6 ini.
Jadi, sebagai pengguna aplikasi e-Bupot PPh 21/26, WPPK sudah tidak dapat melakukan perekaman sang penerima penghasilan tanpa NPWP (yang akan diinput NPWP nol sebanyak 15 digit) dan akan menggunakan tarif PPh lebih tinggi 20 persen. Minimal sang penerima penghasilan harus memberikan NIK dan walaupun NIK-nya belum diaktivasi sebagai NPWP, NIK tersebut tetap bisa digunakan untuk membuat bukti potong, tanpa tarif PPh yang lebih tinggi 20 persen. Ini sudah tertuang di poin 1a dan poin 7 PENG-6 ini.
Kemudian saya berpikir, bukankah ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) pasal 21 ayat 5a yang secara ringkas mengatakan, “Besarnya tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 20 persen daripada yang diterapkan ke Wajib Pajak yang memiliki NPWP.” Jadi seharusnya bila penerima penghasilan belum punya NPWP atau NIK-nya belum diaktivasi sebagai NPWP, tarif PPh-nya tetap harus naik 20 persen. Namun ternyata, logikanya kini dibalik.
Jadi begini, kalau dulu kepatuhan pajak dimulai dari “belakang ke depan”. Jadi setiap orang (sebagai subjek pajak) akan mendaftar lalu mempunyai NPWP, memiliki pekerjaan, baru dipotong pajak penghasilan karyawan. Kalau tidak mempunyai NPWP, maka tarif PPh-nya akan naik 20 persen. Namun sekarang, kepatuhan pajak juga dimulai dari “depan ke belakang”. Orang bekerja, ternyata tidak punya NPWP, tapi punya NIK, maka orang tersebut akan tetap kena tarif yang normal (sama seperti orang yang punya NPWP). Tetapi, data NIK orang tersebut akan masuk ke DJP dan DJP selaku otoritas pajak di Indonesia bisa “meng-NPWP-kan” orang tersebut secara jabatan. Ini tertera dengan jelas pada poin ke-8 dari PENG-6 ini.
Sehingga kini logikanya adalah, orang yang bekerja itu harusnya punya NPWP. Jadi tidak perlu naik 20 persen tarif pajaknya. Sehingga kalau dia belum punya NPWP, NIK-nya dapat diaktivasi oleh DJP untuk menjadi NPWP. Jadi, dengan logika yang baru ini, apa yang tertulis di pasal 21 ayat 5a UU PPh seperti “dianulir”.
Sehingga ada tiga poin penting yang dapat kita simpulkan dari PENG-6 ini, yaitu:
- Penerimaan negara akan berkurang karena tarif PPh 21 lebih tinggi 20 persen tidak berlaku lagi. Ini dapat menjadi evaluasi penerimaan negara oleh kementerian yang terkait kedepannya. Tapi, negara akan mendapatkan data NIK orang-orang yang menerima penghasilan. Kalau NIK tersebut dicek belum aktif NPWP-nya, maka bisa diaktivasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jadi disini dapat disimpulkan bahwa bukankah data is king?
- WPPK (yang merupakan pemotong PPh 21/26) sekarang menjadi penyuplai data NIK kepada pemerintah dan akan membantu atau menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk melakukan proses ekstensifikasi. Ekstensifikasi ialah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pajak terhadap subjek pajak yang sudah memenuhi syarat objektif dan subjektif, tetapi belum mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Sejak terlahir di Indonesia dan masuk ke dalam akta keluarga, setiap orang Indonesia pasti punya NIK. Tapi belum tentu orang tersebut punya NPWP. Sekarang dengan adanya kebijakan ini, maka akan memaksa orang tersebut menjadi terekspos data dan penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu, celah penghindaran pajak akan semakin tertutup, serta kedepannya mungkin akan timbul banyak pengaktifan NPWP secara jabatan.
Kesimpulannya adalah, ternyata ada cara untuk menganulir undang-undang yang berlaku, yaitu dengan menciptakan logika yang baru atas penerapan undang-undang tersebut. Logika yang baru dimana semua orang yang bekerja seharusnya memiliki NPWP, menganulir ketiadaan NPWP bagi yang belum memilikinya dan menciptakan sebuah keharusan untuk memiliki NPWP bagi subjek pajak yang seharusnya sudah memilikinya, yaitu mereka yang sudah bekerja.
Saya harap dengan adanya kebijakan ini, otoritas pajak akan memberikan pemberitahuan bilamana sudah melakukan pengaktifan NPWP atas NIK yang belum menjadi NPWP. Hal ini penting agar orang tersebut dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya dengan baik. Lebih sempurna lagi, bila juga dilakukan sosialisasi dan edukasi yang masif mengenai hal ini, terutama bila praktik pengaktifan NPWP secara jabatan sudah dilakukan.
Selamat datang di era baru perpajakan di Indonesia!
Penulis: Daniel William Legawa adalah Pendiri Komunitas PajakMania.
Kamu memiliki pandangan menarik tentang pajak, ekonomi, dan keuangan? Pajak.com memiliki platform Dari Sobat Pak Jaka yang didedikasikan sepenuhnya untuk menggali dan menyajikan berbagai perspektif pembaca dalam dunia perpajakan, ekonomi, dan keuangan. Ayo, aspirasikan suaramu dalam bentuk tulisan di https://www.pajak.com/dari-sobat-pak-jaka/.
Comments