in ,

Pahami Risiko Sanksi Administrasi atas Pengajuan Restitusi Pajak

Risiko Sanksi Administrasi atas Pengajuan Restitusi Pajak
FOTO: TaxPrime

Pahami Risiko Sanksi Administrasi atas Pengajuan Restitusi Pajak

Pajak.com, Jakarta – Wajib Pajak dapat memperoleh fasilitas percepatan restitusi, dari yang semula 12 bulan menjadi 15 hari kerja. Fasilitas ini telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2023 tentang Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023). Namun, apabila di kemudian hari dilakukan pemeriksaan, lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak, maka Wajib Pajak dapat dikenakan sanksi administrasi. Bagaimana cara mengantisipasi risikonya? Kali ini, Pak Jaka dibantu oleh Partner at TaxPrime Aries Prasetyo untuk menjawab risiko sanksi administrasi atas pengajuan restitusi pajak.

Tanya:
Dari perspektif kami, Wajib Pajak, Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023 ini merupakan angin segar yang membuat proses restitusi lebih cepat dan mudah karena tidak dilakukan pemeriksaan, melainkan penelitian. Fasilitas ini akan membantu cash flow, menawarkan kepastian hukum, dan keadilan untuk Wajib Pajak. Namun, di sisi lain, kami masih khawatir apabila di kemudian hari dilakukan pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak,  bagaimana risikonya? Kemudian, cagaimana cara Wajib Pajak memitigasi risiko atas pengajuan fasilitas restitusi dipercepat itu?
Baca Juga  Syarat dan Dokumen Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Badan

Jawab: 

Terima kasih atas pertanyaannya. Benar, sebelum berlakunya Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023, Wajib Pajak orang pribadi yang mengajukan restitusi berdasarkan Pasal 17B Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), akan diproses melalui pemeriksaan dengan jangka waktu paling lama 12 bulan. Dengan adanya Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023, DJP mempersingkat waktunya, menjadi hanya 15 hari dan dengan proses penelitian pajak, bukan pemeriksaan.

Proses penelitian tersebut diatur dalam Perdirjen Nomor PER-5/PJ/2023 dan dilengkapi oleh Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 10/PJ/2023 tentang Penyempurnaan atas Petunjuk Pelaksanaan Percepatan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak. Penelitian yang dilakukan KPP, misalnya, memastikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak. KPP memastikan kebenaran matematis, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak.

Tujuan utama diberikannya restitusi pajak ini adalah untuk melindungi hak Wajib Pajak sekaligus memberikan kepastian hukum. Maka, menurut saya, fasilitas ini perlu dimanfaatkan oleh Wajib Pajak.

Lantas, bagaimana jika Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan, dan jika di kemudian hari dilakukan pemeriksaan lalu ditemukan kekurangan pembayaran pajak?

Sesuai Pasal 17D ayat (5) UU KUP, Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100 persen. Namun, sanksi administratif itu akan direlaksasi menjadi hanya sebesar sanksi pada Pasal 13 Ayat (2) UU KUP, yakni sanksi per bulannya didasarkan pada suku bunga acuan ditambah uplift factor 15 persen untuk paling lama 24 bulan.  Artinya, apabila dibandingkan, sanksi ini jauh lebih rendah dari pada sanksi kenaikan 100 persen.

Baca Juga  Pemkot Lhokseumawe dan PLN Optimalkan Pajak atas Tenaga Listrik

Bagaimana mengantisipasi sanksi atas risiko restitusi pajak? 

Wajib Pajak perlu memerhatikan kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, meliputi pertama, pencantuman penghasilan dengan didukung oleh dokumen tertentu. Pastikan semua sesuai dengan data yang disampaikan KPP. Contoh, penghasilan bruto harus didukung oleh bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Semua harus sesuai dengan penghasilan bruto yang tertera dalam bukti pemotongan atau pemungutan PPh yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon.

Kedua, pastikan pencantuman Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam SPT Tahunan sesuai dengan pemberitahuan penggunaan NPPN yang sudah disampaikan Wajib Pajak. Dalam hal pemberitahuan penggunaan NPPN tidak ditemukan, maka NPPN yang digunakan untuk menghitung penghasilan neto didasarkan pada Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang dicantumkan Wajib Pajak dalam SPT.

Baca Juga  Belum Ada Aktivitas dan Transaksi, Wajib Pajak Tetap Harus Lapor SPT Badan?

Ketiga, perhatikan pencantuman Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pastikan PTKP sesuai dengan yang dideklarasikan Wajib Pajak dalam induk SPT Tahunan. Keempat, pastikan pencantuman zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib dalam SPT Tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kelima, pencantuman tarif PPh dalam SPT Tahunan sesuai dengan lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Keenam, pastikan penulisan dan penghitungan pajak benar secara matematis, seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *