in ,

Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pajak

peradilan pajak
FOTO : IST

Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pajak

Dalam rangka penegakan hukum kaitannya dengan bidang perpajakan tidak terlepas dari masalah, terlebih semakin meningkatnya wajib pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan, maka tidaklah dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak. Oleh karena itu, diperlukan suatu Peradilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Keberadaan Pengadilan Pajak yang secara resmi dilegalkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menentukan bahwa :

a.Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.

b. Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Kompetensi Absolut Pengadilan Pajak diantaranya adalah memeriksa, memutus banding dan gugatan pajak. disamping itu, kewenangan lainnya adalah melakukan pengawasan terhadap pengacara yang memberikan bantuan terhadap para pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak.

Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, kompetensi Pengadilan Pajak adalah memeriksa dan memutus sengketa pajak. Sengketa pajak adalah suatu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding maupun gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Baca Juga  Cegah Penipuan Bermodus Implementasi “Core Tax”, DJP Imbau Wajib Pajak Perhatikan Ini 

Dengan demikian, sengketa pajak meliputi sengketa banding terhadap keputusan keberatan dan sengketa gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak dengan surat paksa. Adapun yang dimaksud dengan pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk bea masuk dan cukai, serta pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari banyak kasus sengketa perpajakan, ada beberapa upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak, diantaranya:

1. Keberatan

Upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak apabila merasa mendapatkan putusan yang tidak adil oleh Pemungut Pajak (fiscus) yaitu “Keberatan”. Upaya huku keberatan ini biasanya diajukan oleh Wajib Pajak jika fiscus memberikan ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemungutan oleh pihak ketiga yang mengakibatkan Wajib Pajak merasa kurang/tidak puas dengan ketetapan tersebut.

Pada dasarnya keberatan merupakan upaya hukum biasa yang berada di luar Pengadilan Pajak yang diperuntukkan untuk memohonkan keadilan terhadap kerugian bagi Wajib Pajak. Pejabat Pajak atau fiscus yang dimaksud adalah Direktur Jenderal Pajak, Direktur Bea Cukai, Gubernur, dan Bupati/Walikota.

Jadi Wajib Pajak bisa mengajukan gugatan kepada pejabat pajak terebut. Dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya: Keberatan harus diajukan secara tertulis dan berbahasa Indonesia, memuat jumlah yang terutang, dengan jangka waktu maksimal 3 bulan, ditujukan kepada pejabat pajak dengan alasan yang jelas.

Baca Juga  TaxPrime Tawarkan 7 Strategi Optimalkan Potensi Penerimaan PPN

2. Banding

Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak ini merupakan upaya hukum yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Banding diajukan terhadap keputusan atas upaya hukum keberatan. Banding dalam konteks Pengadilan Pajak adalah upaya hukum lanjutan yang diajukan Wajib Pajak terhadap keputusan pejabat pajak setelah Wajib Pajak mengajukan upaya hukum keberatan tetapi tidak puas terhadap keputusan fiscus atau keberatan yang diajukannya. Untuk pengajuan Banding, ada beberapa ketentuan yang dipersyaratkan, antara lain:

a. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia ke Pengadilan Pajak.

b. Pengajuan banding mempunyai batas waktu 3 (tiga) bulan.

c. Untuk sebuah surat banding, harus disertai dengan alasan-alasan yang jelas.

3. Gugatan 

Dalam sengketa perpajakan, terdapat upaya hukum gugatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002, Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan. Upaya hukum gugatan ini diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (7) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2002 diberikan batasan sebagai upaya hukum yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak atau terhadap keputusan keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengajuan gugatan ditujukan kepada Pengadilan Pajak dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Gugatan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.

2. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan hanya dalam batas waktu 14 hari, kecuali ada alasan force majeur.

4. Peninjauan Kembali (PK) 

Upaya hukum permohonan peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa, untuk mengajukan upaya hukum PK telah dibatasi apa yang menjadi alasannya. Pasal 91 Undang-Undang Pengadilan Pajak mangatur ketentuan alasan alasan sebagai berikut:

Baca Juga  Kanwil Bea Cukai Jakarta Beri Izin Pusat Logistik Berikat ke Epson

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang yang berlaku.

Dari uraian diatas, menggambarkan upaya-upaya hukum yang dapat diajukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak antara lain, Keberatan, Banding, Gugatan, dan Peninjuan Kembali (PK). Hal tersebut sama sekali berbeda dengan putusan Peradilan ataupun Peradilan Tata Usaha Negara, yang mana upaya hukumnya ada gugatan, banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) yang berpuncak ke Mahkamah Agung. Upaya hukum Peninjauan kembali, ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 77 ayat (1) yang berbunyi “Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap” . melihat ketentuan tersebut, Pengadilan Pajak tidak memberikan peluang bagi wajib pajak untuk melakukan upaya hukum biasa baik banding maupun kasasi, disini tampak jelas kalau Pengadilan Pajak telah mereduksi kewenangan Mahkamah Agung. Untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) para pembanding atau penggugat harus mempunyai alasan-alasan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 91 Undang-Undang Pengadilan Pajak.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *