Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi Pajak
Pajak.com, Jakarta – Selain pelayanan dan pengawasan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga berupaya menyempurnakan proses pemeriksaan pajak. Beberapa diantaranya DJP/Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melakukan penyusunan peta kepatuhan dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3). Lantas, apa itu DSP3 pajak? Pajak.com akan mengulasnya berdasarkan regulasi yang berlaku.
Berdasarkan Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pajak Nomor 15 Tahun 2018 dan SE Nomor 39 Tahun 2021, DSP3 adalah daftar Wajib Pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui kegiatan pengawasan maupun pemeriksaan.
Sesuai pada ketentuan dalam SE Nomor 15 Tahun 2018, DSP3 disusun agar setiap KPP dapat menentukan secara spesifik daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan penggalian potensi. Penyusunan DSP3 dilakukan berdasarkan analisis terhadap seluruh data dan informasi yang dimiliki KPP. Analisis data dan informasi tersebut dilakukan dengan mengombinasikan, baik data yang berasal dari sistem informasi yang dimiliki DJP maupun data berdasarkan fakta lapangan.
Sebelum dapat menyusun DSP3, DJP/KPP terlebih dahulu menyusun peta kepatuhan. Sesuai dengan hasil peta kepatuhan atau fakta lapangan, kepala KPP menentukan populasi wajib pajak yang akan menjadi DSP3 berdasarkan pada variabel yang telah ditetapkan. Variabel ini terdiri atas lima kelompok, yakni:
Pertama, indikasi ketidakpatuhan tinggi (tax gap). Indikasi ketidakpatuhan ini memerhatikan indikasi ketidakpatuhan material. Ketidakpatuhan material yang dimaksud adalah adanya kesenjangan antara profil perpajakan, profil berdasarkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan dengan profil ekonomi yang sebenarnya. Indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak ini dibedakan antara Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan oleh 35 Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) Penentu Penerimaan dengan Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Pratama.
Adapun yang dimaksud 35 UP2 penentu penerimaan adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, KPP Wajib Pajak Besar, KPP Khusus, dan KPP Madya.
Kedua, indikasi modus ketidakpatuhan Wajib Pajak. Kepala KPP mengidentifikasi Wajib Pajak yang terindikasi memiliki modus tertentu atas ketidakpatuhannya. Modus ketidakpatuhan itu, antara lain tidak melaporkan omzet yang sebenarnya, membebankan biaya yang tidak seharusnya, atau treaty abuse.
Ketiga, identifikasi nilai potensi pajak. Wajib Pajak yang menjadi prioritas dalam identifikasi ini adalah yang memiliki potensi pajak besar. Nilai potensi itu dihitung dalam rupiah sesuai dengan indikator ketidakpatuhan Wajib Pajak. Salah satunya dengan cara mengalikan tarif pajak dengan potensi tax gap.
Keempat, identifikasi kemampuan Wajib Pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability), yaitu mengidentifikasi keberlangsungan usaha dan harta yang dimiliki wajib pajak berdasarkan SPT dan/atau eksistensi usaha Wajib Pajak berdasarkan pada fakta lapangan.
Kelima, pertimbangan dirjen pajak. Berdasarkan pada DSP3 yang telah tersusun, kepala KPP dapat melakukan berbagai hal. Salah satunya, DSP3 dapat menjadi dasar untuk menentukan wajib pajak yang akan menjadi Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).
Adapun berdasarkan SE Nomor 39 Tahun 2021, DSP3 disusun berdasarkan pada peta risiko kepatuhan, Laporan Hasil Analisis (LHA) dalam rangka penggalian potensi perpajakan, aplikasi Ability to Pay (ATP), SmartWeb, dan peta risiko kepatuhan Compliance Risk Management (CRM) Transfer Pricing. DSP3 juga dapat disusun berdasarkan pada data dan keterangan lain dari Wajib Pajak badan dan orang pribadi berstatus pusat serta Wajib Pajak lainnya.
Comments