in ,

Sejarah Pajak di Indonesia, Sejak Zaman Kerajaan

Sejarah Pajak di Indonesia
FOTO: IST

Sejarah Pajak di Indonesia, Sejak Zaman Kerajaan

Sejarah pajak di Indonesia, sejak zaman kerajaan. Sejarah pajak di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya ‘huistaks’ yaitu pada tahun 1816. Huistaks adalah pajak yang dikenakan bagi suatu warga negara yang mendiami suatu wilayah atau tempat tertentu di atas bumi. Seperti sewa tanah,bangunan atau yang sekarang dikenal dengan Pajak Bumi dan Bangunan. Tetapi saat itu, rakyat Indonesia harus menyetornya ke pemerintah Belanda. Berikutnya menunjukkan bahwa jenis – jenis pajak bertambah lagi, yaitu :

a. Tahun 1920 ada Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting alias Pajak Penghasilan.

b. Tahun 1925 ada Ordonantie op de Vennootschapbelasting alias Pajak Perseroan atau sekarang dikenal dengan nama Pajak Penghasilan Badan.

Zaman Belanda dan saat penjajahan Jepang, mereka memungut pajak dari berbagai hasil bumi yang ada di Indonesia. Jauh sebelum itu, kerajaan – kerajaan yang ada di Nusantara ini juga sudah menerapkan pajak pada masyarakatnya untuk keberlangsungan kerajaan. Hingga saat ini, pajak sudah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Hal ini dapat kita liat dari banyaknya jenis pajak yang ada.

Diawali dengan Pajak Bumi dan Bangunan

Sejarah pajak di Indonesia, dalam sejarah lain menerangkan bahwa Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih kita kenal dengan PBB. Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat. Pajak atas tanah ini dimulai sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) masuk dan menduduki Hindia Belanda.

Pada waktu dulu, Inspektur Liefrinch dari VOC mengadakan survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan yang disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda ini.

Rakyat harus membayar uang sebesar 80 (delapan puluh) % dari harga besaran tanah atau hasil lahan yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral yang terkenal akan kekejamannya menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik dari Belanda. Kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles kebijakan landrente berubah.

Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5 (dua koma lima) % untuk golongan pribumi dan tarif 5 (lima) % untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah sebagai Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan nama girik dalam bahasa Jawa.

Baca Juga  Kurs Pajak 25 September – 1 Oktober 2024

Pajak Penghasilan oleh Hindia Belanda

Ketika, pemerintahan Hindia Belanda kembali, timbul gagasan untuk mengenakan pajak penghasilan. Pada tahun 1920-1921 sudah ada pajak penghasilan terhadap hasil bumi atau hasil lahan penduduk. Isitlahnya dikenal dengan nama Versponding Warde yang berupa pajak untuk kebun-kebun teh, kelapa, jati, dan tembakau.

Pengenaan tarifnya sebesar 7,5 (tujuh koma lima) % dari hasil. Pada tahun 1934 sudah ada Pajak Kendaraan Bermotor. Setelah itu, lahirlah jenis pajak-pajak yang lain yang berkembang hingga zaman kemerdekaan hingga sekarang. Oleh karena itulah, kita dapat menyebut bahwa Pajak Bumi dan Bangunan merupakan cikal bakal dari pajak di Indonesia.

Pergeseran Paradigma Upeti menjadi Pajak

Pajak secara teratur dan permanen sudah dilakukan sejak zaman kolonial. Akan tetapi perlu juga diingat bahwa ketika wilayah nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan pun sudah ada pungutan semacam pajak. Persembahan itu disampaikan kepada raja dengan maksud sebagai wujud rasa hormat dan upeti, yang disampaikan oleh rakyat di wilayah kekuasaan kerajaan maupun wilayah jajahan.

Perlu diingat bahwa pada masa kerajaan-kerajaan di tanah air, figure raja dalam hal tertentu dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (Negara). Pemberian sukarela (upeti) dari rakyat kepada raja / penguasa, upeti berupa barang (natura): padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.

Pergeseran paradigma upeti dalam perkembangannya, upeti tidak hanya untuk kepentingan raja tetapi juga untuk rakyat. Upeti mulai digunakan untuk kepentingan umum seperti: keamanan, pembangunan jalan, saluran air, fasilitas sosial, dan lain-lain setelah ada perubahan sifat upeti, kemudian dibuatlah peraturan agar tetap ada sifat memaksa yang melibatkan rakyat untuk memenuhi rasa keadilan. Pembuatan aturan – aturan ini dimulai sejak kedatangan Belanda ke Indonesia, dan sejak saat itulah dikenal istilah pajak.

Pajak Hasil Bumi Atas Nilai Tanah saat pemerintah Jepang di Indonesia

Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak jaman kolonial. Seperti Contingenten dan Verplichte Laverantieen yang lebih dikenal dengan nama Tanam Paksa, yang menimbulkan perang Jawa pada tahun 1825-1830. Oleh Gubernur Jenderal Raffles, pajak atas tanah tersebut disebut Landrent yang arti sebenarnya adalah “sewa tanah”.

Setelah penjajahan Inggris berakhir maka kemudian Indonesia dijajah kembali oleh Belanda. Pajak tersebut kemudian diganti menjadi Landrente dengan system atau cara pengenaan yang sama. Untuk penertiban pemungutannya, menurut Munawir, pemerintah Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan klasiran dan pengukuran tanah milik perorangan yang disebut rincikan. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente tahun 1939.

Baca Juga  Pajak Limbah Plastik Uni Eropa Bermasalah, Auditor Peringatkan Peningkatan Kejahatan 

Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan Pajak Tanah, dan setelah Indonesia merdeka namanya diubah menjadi Pajak Bumi. Istilah Pajak Bumi inipun diubah menjadi “Pajak Hasil Bumi”.Yang dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil yang keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil yang keluar dari tanah merupakan objek dari Pajak Penghasilan, yang pada saat itu namanya Pajak Peralihan.

Oleh karena itu Pajak Hasil Bumi ini kemudian dihapuskan pada tahun 1952 sampai tahun 1959. Rupanya pemerintah sadar akan kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959 dipungut lagi pajak hasil bumi atas nilai tanah, bukan atas hasil yang keluar dari tanah dan bangunan, dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Prp 1959, yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 telah ditetapkan menjadi undang-undang.

Disamping pengenaan pajak terhadap tanah, pada masa penjajahan Belanda juga dikeluarkan berbagai peraturan dibidang pajak. Pada tahun 1908 dikeluarkan Inkomsten Belasting, yang digunakan sebagi dasar untuk mengenakan pajak pendapatan. Setelah keluarnya Ordonasi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925 maka terhadap pendapatan yang berupa laba bersih perusahaan dikenakan Pajak Perseroan (PPs).

Ordonasi tersebut mengalami perubahan beberapa kali dan terakhir diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1968. Sementara itu pada tahun 1944 keluar Ordonasi Pajak Pendapatan (PPd) yang digunakan sebagai dasar untuk mengenakan pajak terhadap pendapatan yang diperoleh oleh orang pribadi.

Tahun 1959, dengan Lembaran Negara 1959 No 109 disisipkan pasal baru, yaitu Pasal 2a sehingga membuka kesempatan bagi pengenaan pajak pendapatan terhadap wajib pajak badan. Namun, pengenaan pajak pendapatan terhadap badan ini sejak tahun 1966 telah dihapuskan.

Pada masa penjajahan, tepatnya pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonasi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1964.Yang menjadi subyek pajak dari pajak kekayaan ini pada prinsipnya adalah orang pribadi, bukan badan.

Akan tetapi menurut Pasal 3 Ordonasi Pajak Kekayaan itu ada kemungkinan perseroan, persekutuan, atau pengkongsian dikenai PKk untuk menggantikan kedudukan perseronya yang tidak dikenal atau diragukan. Obyek pajaknya adalah seluruh kekayaan wajib pajak dikurangi hutang-hutang dan kewajiban pada awal tahun pajak.

Baca Juga  Pembentukan BPN Diklaim Bisa Tingkatkan “Tax Ratio”? Ini Kata Ahli!

Peraturan Perpajakan Awal Kemerdekaan

Pada masa-masa awal kemerdekaan dikeluarkan peraturan dibidang pajak. Pada tahun 1950 dikeluarkan Undang- Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi Pajak Peredaran (Barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan (PPn) 1951.

Pajak ini dikenakan terhadap pemakaian umum yang dapat menjadi Pajak Penjualan Dalam Negari dan Pajak Penjualan Impor. Sebagai subyek pajaknya adalah pihak pabrikan dan pengusaha jasa. Dalam hal pemungutan pajak, oleh UUD RI 1945 pada awalnya menetapkan Pasal 23 ayat 2: “Segala pajak untuk Negara berdasarkan undang-undang”.

Selanjutnya Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945 diamandemen dengan Pasal 23A Undang Undang Dasar RI 1945 yang ,menyebutkan bahwa: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”,. Adapun ketentuan – ketentuan undang-undang dibidang perpajakan yang “dilahirkan” sesuai apa yang dikehendaki oleh Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, diantaranya beberapa undang-undang :

1). Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

2). Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

3). Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Peubahan Ketiga Atas Undang Undang RI No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

4). Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Perubahan ketiga Atas Undang Undang RI No. 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

5). Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.

6). Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (sudah tidak belaku lagi karena sudah dicabut berlakunya)

7). Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang RI Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

8). Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2000 Tentang PenagihanPajak Dengan Surat Paksa.

9). Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *