in ,

Menangkap Peluang dan Tantangan Bursa Karbon bagi Industri

Bursa Karbon bagi Industri
FOTO: BATS Consulting

Menangkap Peluang dan Tantangan Bursa Karbon bagi Industri

Pajak.com, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, live trading bursa karbon dilakukan pada September 2023 mendatang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga akan melakukan launching pilot 100 juta ton CO2 b ertepatan dengan perdagangan perdana bursa karbon tersebut. Sementara, pre-launching bursa karbon akan digelar pada Juli 2023 yang diikuti oleh penerbitan Peraturan OJK (POJK). CEO BATS Consulting Brian Pramudita berpandangan, peluncuran bursa karbon akan menjadi peluang yang harus ditangkap oleh dunia industri. Sebab berdasarkan data luasnya hutan dengan skenario harga jual kredit karbon senilai 5 dollar AS per ton, potensi pendapatan akan mencapai sekitar Rp 8.000 triliun. Namun, di sisi lain, ia juga memproyeksi beberapa tantangan dalam mengimplementasi bursa karbon bagi industri.

Brian, yang telah memiliki Certified Carbon Audit (CCA) pertama di Indonesia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), bursa karbon adalah mekanisme yang mengatur perdagangan serta mencatat kepemilikan unit karbon sesuai dengan mekanisme pasar. Kemudian, dalam Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Brian meyakini, perdagangan karbon ke depannya sangat bermanfaat bagi Indonesia yang memiliki salah satu hutan tropis terluas di dunia.

Mengutip peluangnya, berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektare yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton. Sementara, luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektare atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Senada dengan itu, Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektare yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.

Dengan demikian, maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Apabila Pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga 5 dollar AS di pasar karbon, maka potensi ekonomi karbon di Tanah Air mencapai Rp 8.000 triliun, terdiri dari hutan tropis sebesar Rp 1.780 triliun, hutan mangrove Rp 2.333 triliun, dan lahan gambut Rp 3.888 triliun.

Baca Juga  Panduan Mudah Tukar Uang Baru dengan Aplikasi PINTAR

Menurut Brian, bursa karbon didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) secara terstruktur serta teregulasi dengan baik sesuai kesiapan setiap sektor usaha. Secara umum, beberapa alasan utama urgensi pertukaran karbon untuk dilakukan dengan segera adalah mengejar target penurunan emisi nationally determined contribution (NDC) sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 dan net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060. Bursa karbon juga diproyeksi memitigasi perubahan iklim, mendorong inovasi dan investasi, mempromosikan kerja sama internasional, menciptakan ekonomi yang berkelanjutan, serta mendorong segala aktivitas yang ramah lingkungan.

“Pembukaan bursa karbon diharapkan dapat membuka ajang untuk promosi energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, usaha keberlanjutan yang dapat menciptakan ekosistem industri energi baru dan terbarukan untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang dan memerangi perubahan iklim secara efektif. Pembentukan bursa karbon ini opportunity oleh industri atau investor. Karena kita bisa menjual sertifikat karbon menjadi semacam istrumen investasi. Kalau di Indonesia, kalau trading-nya lewat bursa, nanti masuknya istrumen keuangan,” ungkap Brian kepada Pajak.com, di Jakarta, (17/7).

Kendati demikian, menurutnya, ada beberapa tantangan yang perlu dimitigasi oleh pemerintah agar sertifikat yang diperdangangkan di bursa karbon dapat optimal diimplementasikan. Pertama, pastikan sertifikat hijau Indonesia berstandar Sistem Registri Nasional (SRN) yang dikeluarkan KLHK diakui oleh dunia.

“Jangan sampai nanti produk (sertifikat hijau) yang keluarkan Indonesia jauh lebih murah dibandingkan asing. Kualitas kita jangan sampai low. Jangan sampai sertifikat karbon kita murah, jadi diborong asing. Maka, menurut saya, adopsinya bisa menggunakan Verra Standard (Verified Carbon Standard/VCS) dan Gold standard. Itu kuncinya. Sehingga industri pada tertarik karena nilai ekonomi basar, bayangkan Rp 8.000 triliun potensinya. Jadi, benar-benar ada effect ekonomi,” ungkap Brian.

Adapun Gold Standard adalah skema pasar karbon yang memposisikan diri sebagai suplemen atau tambahan dari mekanisme kredit karbon lainnya dan memberikan sertifikasi atas manfaat dampingan (co-benefit) dari suatu proyek penurunan emisi GRK. Pemberian Gold Standard pada suatu proyek penurunan emisi GRK dipandang memberikan kepastian bahwa proyek tersebut berdampak positif secara ekonomi, lingkungan maupun sosial. Sementara VCS merupakan standar karbon terverifikasi dan dikelola oleh Verra, organisasi nirlaba yang mengoperasikan standar di pasar lingkungan dan sosial, termasuk program kredit karbon terkemuka dunia.

Baca Juga  Jaga Ekonomi Nasional, Wamenkeu Beberkan Strategi Hadapi Konflik Timur Tengah 

“Jadi, diperdagangkan sertifikatnya berdasarkan project hijaunya, diaudit dulu sama lembaganya yang kredibel, misalnya tadi Gold Standard atau Verra. Ada tiga project energi hijau, pertama, development hutan (forest) izin lahan untuk ditanamkan p0hon-pohon untuk reduce karbon, namun ini tempat terbatas. Kedua, skema Carbon Capture, Utilizaton and Storage (CCUS), yakni teknologi untuk menangkap karbon, ada yang disimpan dan tanam. Namun, cost-nya mahal, teknologinya sampai sekarang ini dari Jepang dan Amerika Serikat. Ketiga, renewable energy, ini agak menantang, untuk industri pertambangan, artinya harus menggunakan industri ramah lingkungan atau transisi energi. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberi subsidi dan tax holiday untuk mendukung subsidi teknologi,” jelas Brian.

Kedua, bursa karbon akan mempertemukan supply dan demand. Untuk itu, perlu ada regulasi yang mengatur batas kenaikan harga.

“Menurut saya, kalau naiknya sudah 25 persen ditutup pasarnya. Jangan ada spekulan. Makanya bursa karbon enggak cuma ada market, tapi nonbursa juga. Makanya, kalau di luar negeri ada intangible asset dan instrumen jangka pendek,” ungkap Brian.

Ketiga, terkait penerapan rencana pajak karbon yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Brian berharap, tarif pajak bursa karbon lebih tinggi daripada sertifikat hijau yang dikeluarkan. Hal ini untuk memitigasi keputusan industri yang  cenderung memilih membayar pajak ketimbang melakukan proyek hijau dan membeli sertifikat karbon. Sebab perlu dipahami, pajak karbon dirancang untuk menciptakan stimulus finansial bagi bisnis dan individu untuk mengurangi jejak karbon industri dengan mengenakan pajak atas emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.

“Terkait harga minimal yang ditetapkan pemerintah senilai Rp 30,00 per kg CO2e adalah upaya kepastian hukum harga karbon yang akan dipungut. Pemerintah menetapkan patokan minimum pendapatan negara atas per unit kg CO2e yang dihasilkan pemancar karbon. Sebenarnya tidak masalah mengenai harga minimum karbon ini. kalau dilihat dari negara-negara yang telah berhasil menerapkan pajak karbon, nilai pajaknya harus lebih tinggi dibandingkan sertifikat karbon, enggak boleh lebih rendah dari sertifikat karbonnya, nanti orang lebih suka bayar pajaknya,” ujar Brian.

Menurutnya, sangat memungkinkan apabila Pemerintah Indonesia meluncurkan terlebih dahulu bursa karbon dibandingkan pemberlakuan pajak karbon. Faktanya, perdagangan karbon seringkali berdiri sendiri dari pajak karbon dan dapat berfungsi berdasarkan mekanisme pengaturan lain atau partisipasi volunteer.

“Dalam praktiknya, banyak pertukaran perdagangan karbon telah didirikan di seluruh dunia, seperti sistem perdagangan emisi Uni Eropa (EU ETS) dan program Cap-and-Trade California. Pertukaran ini beroperasi tanpa pajak karbon dan telah berhasil memfasilitasi perdagangan tunjangan karbon, mendorong pengurangan emisi dan mempromosikan pendekatan berbasis pasar untuk memerangi perubahan iklim. Pertukaran perdagangan karbon beroperasi dengan memfasilitasi pembelian dan penjualan kredit atau carbon allowance (hak emisi) yang mewakili hak untuk mengeluarkan gas rumah kaca dalam jumlah tertentu,” ungkap Brian.

Baca Juga  Wamenkeu Tegaskan Indonesia Dukung Reformasi Kebijakan Ekonomi Hijau di CFMCA Laos

Pengguna, seperti perusahaan atau negara, dapat mengurangi emisi mereka di bawah tingkat tertentu untuk memperoleh kredit atau membeli kredit dari pihak lain yang telah mencapai pengurangan emisi. Sementara, pajak karbon menetapkan harga langsung atas emisi karbon dengan mengenakan pajak jika emisi tidak dilakukan offset, di mana harga karbon ditentukan melalui perdagangan.

“Pengenalan pajak karbon dapat melengkapi pertukaran perdagangan karbon dengan memberikan sinyal harga yang jelas untuk emisi karbon. Namun, ini bukanlah prasyarat untuk berfungsinya pertukaran perdagangan karbon,” tambah Brian.

Sebelum diluncurkannya bursa karbon, BATS Consulting telah mendampingi beberapa perusahaan untuk terjun mengotimalkan potensi perdagangan karbon sekaligus menakar implementasi pajak karbon di Indonesia. 

BATS Consulting juga gencar menggelar seminar mengenai pasar karbon. Belum lama ini BATS Consulting berkolaborasi dengan Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA) menggelar seminar audit karbon, bertajuk Integrated Strategy of Tax, Accounting and Carbon Audit in Improving Environmental and Financial Performance, di Bali.

“Saya memaparkan banyak materi di sana, lengkap, ada konsep net zero emission, ESG Disclosure, green taxonomy, carbon tax, carbon accounting hingga langkah-langkah implementasi carbon audit. Kita menekankan betapa pentingnya proses verifikasi karbon untuk memastikan nilai realisasi emisi yang dihasilkan entitas ataupun besaran pengurangan emisi yang dihasilkan suatu proyek hijau,” tambah Brian.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *