in ,

Konsolidasi Fiskal Indonesia Lebih Cepat dari Perkiraan

Konsolidasi Fiskal
FOTO : IST

Konsolidasi Fiskal Indonesia Lebih Cepat dari Perkiraan

Pajak.com, Jakarta – DBS Group Research melaporkan, konsolidasi fiskal mengalami kemajuan yang lebih cepat dari perkiraan. Merujuk data Kementerian Keuangan, defisit fiskal Indonesia pada 2022 turun tajam menjadi -2,38 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), Angka ini jauh di bawah yang ditargetkan, yakni sebesar -4,9 persen. Artinya, hal itu telah mengembalikan defisit di bawah 3 persen dari PDB seperti yang dimandatkan, atau setahun lebih cepat dari rencana. Secara khusus, defisit 2020-2021 juga lebih rendah dari target, meskipun dalam skala lebih kecil.

Ekonom Senior DBS Group Research Radhika Rao juga melaporkan, realisasi penerimaan negara mencapai 116 persen dari target, atau naik 31 persen secara tahunan dan sekitar 16 persen di atas target.

“Penerimaan pajak tumbuh 31 persen secara tahunan, sementara penerimaan bukan pajak melonjak 28 persen, lebih tinggi dari target,” kata Rao dalam keterangan tertulis Jumat (27/1/23).

Menurut Rao, peningkatan pendapatan di atas rata-rata merupakan hasil dari berbagai sumber. Pertama, reformasi pajak, termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai, pengampunan pajak yang berlaku untuk satu kali, pajak atas fintech P2P lending, dan pemain e-commerce, dan lain-lain. Kedua, perbaikan kegiatan ekonomi dan industri berbasis sumber daya menikmati peningkatan pendapatan perusahaan. Ketiga, kinerja perdagangan kuat menyumbang ke pendapatan pajak impor/cukai lebih tinggi. Keempat,  keuntungan tak terduga dari penerimaan pajak dan bukan pajak terkait komoditas.

Baca Juga  Jokowi Lantik Hadi Tjahjanto dan AHY Jadi Menteri Baru

Rao menambahkan, pertumbuhan pengeluaran naik lebih lambat sebesar 11 persen secara tahunan, atau lebih rendah dari target. Kebutuhan pengeluaran didorong oleh alokasi subsidi lebih tinggi dan langkah untuk mengimbangi kenaikan harga BBM. Kendati demikian, subsidi dan kompensasi untuk perusahaan negara mencapai Rp 551 triliun, jauh lebih tinggi daripada yang dianggarkan, sebesar Rp 153,5 triliun, namun juga lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, yaitu di atas Rp 600 triliun. Pengeluaran terkait pandemi bertambah menjadi Rp 396,7 triliun pada akhir tahun dan kemungkinan akan dikurangi secara bertahap. Berdasarkan atas penilaian lembaga peringkat Fitch, defisit Indonesia pada 2022 di bawah median kategori investment grade BBB sebesar 3,6 persen. Peringkat ini akan menjadikan Indonesia salah satu negara pertama di Asia-Pasifik yang kembali ke tingkat defisit fiskal sebelum pandemi. Hal ini membantu memangkas kebutuhan pembiayaan menjadi Rp 580 triliun pada 2022, dibandingkan dengan yang dianggarkan, sebesar Rp 840,2 triliun.

Baca Juga  Bahaya Fenomena Otak Popcorn: Gejala, Dampak, dan Cara Mengobatinya

Berdasarkan atas asumsi yang dianggarkan, DBS memprediksi, pendapatan negara akan naik 1 persen pada 2023, dengan penurunan pengeluaran 3 persen, mematok defisit di angka -2,8 persen. Ketahanan pertumbuhan domestik, pajak tidak langsung lebih tinggi, dan harga komoditas yang tidak banyak berubah menjadi unsur pendukung. Selain itu, pengurangan subsidi dan pelemahan harga minyak global juga akan membantu meringankan pengeluaran.

Dengan reorientasi dalam prioritas pengeluaran, investasi publik lebih tinggi diharapkan akan muncul sebagai pendorong pertumbuhan tahun ini. DBS Group Research memperkirakan kondisi itu akan meredam kecenderungan membuat kebijakan populis menjelang pemilu 2024.

“Tergantung pada keadaan ekonomi, ada kemungkinan target defisit fiskal 2023 turun menjadi 2,0-2,5 persen dari PDB, yaitu kisaran prapandemi dibandingkan dengan target yang dianggarkan, sebesar -2,84 persen. Jika itu terjadi, ini akan berdampak positif bagi stabilitas makro secara keseluruhan. DBS Group Research memperkirakan target fiskal sebesar -2,7 persen dari PDB,” jelas Rao. Konsolidasi Fiskal

Baca Juga  Ingin Produksi Kosmetik? Ini Syarat dan Cara Memperoleh Izinnya

Menurut Rao, pencapaian yang lebih baik di 2022 memberi pijakan lebih kuat untuk tahun ini. Sebab, kelebihan saldo (Sisa Anggaran Lebih atau SAL) diteruskan ke tahun ini, Selain itu, rencana pembiayaan yang lebih kecil juga akan mendukung pasar obligasi, mengingat bank sentral akan menghentikan pembelian obligasi di pasar perdana sejak 2023. Selain permintaan rutin dari bank komersial dan pemain jangka panjang, investor asing secara bertahap kembali ke obligasi rupiah. Obligasi dolar AS multi-tranche pertama untuk tahun ini akan menarik minat kuat.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *