in ,

Syarat, Prosedur, dan Strategi Pengajuan Banding Perkara Pajak

Banding Perkara Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

Syarat, Prosedur, dan Strategi Pengajuan Banding Perkara Pajak

Pajak.com, Jakarta – Sesuai ketentuan perundang-undangan, Wajib Pajak berhak mengajukan banding sengketa pajak apabila tidak setuju dengan Putusan Keberatan. Bagaimana syarat dan prosedurnya? Dan, adakah strateginya yang perlu dilakukan Wajib Pajak? Litigation and Disputes Manager TaxPrime Muh Fahri Maulana akan menguraikan syarat, prosedur, dan strategi menempuh upaya hukum banding perkara pajak sesuai regulasi yang berlaku.

“Proses banding itu berawal dari pemeriksaan yang dirasa Wajib Pajak enggak sesuai, lalu Wajib Pajak mengajukan Surat Keberatan dan DJP (Direktorat Jenderal Pajak) harus menerbitkan Surat Keputusan Keberatan 12 bulan (maksimal) sejak Surat Keberatan disampaikan Wajib Pajak. Kalau keberatan Wajib Pajak ditolak atau mungkin diterima sebagian oleh Direktur Jenderal Pajak, maka upaya hukum banding bisa ditempuh. Namun, menurut saya setiap upaya hukum yang dilakukan, Wajib Pajak harus memerhatikan cost and benefit-nya. Misalnya, dirasa jumlah pajaknya terutangnya cukup besar dan memengaruhi secara signifikan kelangsungan perusahaan,” jelas Fahri kepada Pajak.com, di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Kuningan, (10/10).

Selain itu, ia berpandangan, pertimbangan untuk menempuh upaya hukum banding bisa ditandai dengan potensi temuan pemeriksaan pajak yang berulang setiap tahunnya (mirroring). Menurutnya, dengan tidak diajukannya tahapan upaya hukum selanjutnya, maka ada peluang koreksi yang sama dapat menjadi temuan pada pemeriksaan pajak tahun-tahun pajak berikutnya.

“Misalnya, berdasarkan Pemeriksa Pajak di tahun ini, transaksi biaya A yang dilakukan Wajib Pajak tidak berhubungan dengan kegiatan usaha. Ketika kita tidak mengajukan keberatan dan tahun berikutnya diperiksa, Pemeriksa Pajak-nya dapat beranggapan ‘oh transaksi biaya ini memang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha’. Saya koreksi lagi’. Itu akan begitu terus ketika kita tidak mengajukan keberatan. Namun tidak menutup kemungkinan walaupun mengajukan keberatan, pemeriksa dapat melakukan koreksi yang sama ditahun berikutnya jika tahun pajak sebelumnya belum inkrah putusannya. Artinya, ketika kita mengajukan keberatan, ada peluang memutus risiko untuk tidak dikoreksi tahun pajak selanjutnya. Kalaupun tadi mengajukan keberatan dan kalah. Wajib Pajak dapat mengajukan banding dan menang. Artinya, terpenting bagi Wajib Pajak adalah punya kepastian hukum. Sehingga jika pada pemeriksaan selanjutnya, kecil kemungkinan Pemeriksa Pajak untuk mengoreksi mengenai transaksi A itu. Walaupun Pemeriksa Pajak tetap mau mengoreksi, itu akan sangat lemah untuk upaya hukum berikutnya,” urainya.

Baca Juga  Syarat Mengajukan Surat Keterangan Sengketa Pajak

Pertimbangan yang krusial untuk Wajib Pajak adalah mengenai sanksi denda. Fahri merujuk Pasal 27 ayat 5d Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), apabila permohonan banding ditolak, maka Wajib Pajak akan dijatuhi sanksi administrasi berupa denda sebesar 60 persen dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding, dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Apa saja syarat pengajuan banding?

Ia mengutip, berdasarkan Pasal 27 dan 27B UU KUP, serta UU Nomor 14 Tahun 2002, prosedur pengajuan banding dimulai dengan pemenuhan syarat formal oleh Wajib Pajak. Pertama, setiap 1 Surat Keputusan Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak dapat diajukan 1 Surat Banding. Wajib Pajak harus melengkapi dokumen administrasi dalam Surat Banding sebanyak 2 rangkap (1 asli dan 1 fotokopi).

Kedua, permohonan banding diajukan secara tertulis menggunakan bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas, jangka waktu permohonan pengajuan surat banding, yaitu 3 bulan sejak Keputusan Keberatan diterima. Fahri menyebutkan,  Surat Banding dibuat dengan mengacu pada format yang ditetapkan di dalam Surat Edaran Nomor SE-08/PP/2017 tentang Perubahan atas Surat Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang Kelengkapan Administrasi Banding atau Gugatan.

“Surat Banding yang akan diajukan harus dilampiri Surat Keputusan Keberatan yang sudah diputuskan,” tambah Fahri.

Keempat, syarat ini perlu menjadi perhatian Wajib Pajak, yaitu pengajuan banding hanya dapat diajukan ketika besarnya jumlah pajak terutang Wajib Pajak sudah terbayar 50 persen. Untuk itu, Wajib Pajak harus melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) minimal jumlah pajak yang harus dibayar yang disetujui pada Surat Ketetapan Pajak (SKP).

Baca Juga  Kanwil DJP Jaksus dan Politeknik Jakarta Internasional Teken Kerja Sama Inklusi Perpajakan

Kelima, melampirkan dokumen pelengkap, seperti fotokopi akta pendirian dan perubahan yang mencantumkan pengurus yang menandatangani Surat Banding dan Surat Kuasa Khusus.

Fahri mengingatkan, seluruh dokumen banding disampaikan di dalam flash disk (off-line). Sementara, dalam e-Tax Court dokumen akan diunggah secara 0n-line. Adapun Surat Banding yang disampaikan harus dalam format document (doc), sedangkan dokumen pendukung lain berupa portable document format (pdf).

“Syarat dan ketentuan administratif ini penting untuk dilakukan oleh Wajib Pajak sesuai dengan rambu-rambunya. Karena berdasarkan pengalaman, sidang pertama dan kedua di Pengadilan Pajak akan membahas ketentuan formalnya. Nanti ketika hakim berkesimpulan, pengajuan banding atau pemohon banding telah memenuhi ketentuan formal sesuai aturan yang berlaku, maka dapat dilanjutkan dengan sidang uji materi. Kalau misalnya (ketentuan formal tidak terpenuhi, bisa di-cut disitu, ‘Jadi, jika pemohon banding tidak memenuhi ketentuan formal, maka sidang akan dicukupkan dan permohonan banding ditolak secara formal’,” ungkapnya.

Dengan demikian, Fahri menyarankan agar Wajib Pajak memeriksa kelengkapan dokumen pendukung atau persyaratan administrasi lainnya secara detail sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

“Di lain sisi, Wajib Pajak juga berhak membatalkan permohonan Banding atau mencabut Surat Banding. Jadi kita dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan Pencabutan Surat Banding. Formatnya ada dalam Surat Edaran Nomor SE-08/PP/2017 tentang Perubahan atas Surat Ketua Pengadilan Pajak Nomor SE-002/PP/2015 tentang Kelengkapan Administrasi Banding atau Gugatan,” jelas Fahri.

Bagaimana mekanisme proses banding perkara pajak?

Ia memerinci mekanismenya yang diawali dengan mengajukan Surat Banding ke Pengadilan Pajak. Selanjutnya, Pengadilan Pajak akan mengirimkan Surat Permintaan Uraian Banding ke DJP, maksimal 14 hari setelah menerima Surat Banding.

“Setelah DJP dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak akan menyampaikan uraian itu (menjawab Surat Permintaan Uraian Banding) maksimal tiga bulan setelah menerima surat dari Pengadilan Pajak. Prosesnya diteruskan dengan Pengadilan Pajak meminta bantahan terhadap surat yang sudah dijawab oleh DJP paling lambat 30 hari,” urai Fahri.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

Ia melanjutkan, Pengadilan Pajak akan menyampaikan salinan bantahan atas Surat Permintaan Uraian Banding kembali ke DJP maksimal dalam waktu 14 hari. Hingga akhirnya, Pengadilan Pajak menggelar proses sidang pemeriksaan dengan mengundang DJP dan Wajib Pajak. Jika mekanismenya menggunakan aplikasi e-Tax Court, maka proses persidangan bisa dilakukan secara daring.

“Maksimal proses persidangan ini berdasarkan UU, 12 bulan sejak pengajuan Surat Banding, dan dapat dilakukan perpanjangan maksimal 3 bulan. Setelah proses persidangan selesai, Pengadilan Pajak akan menerbitkan Surat Putusan Banding dalam jangka waktu yang tidak ditetapkan. Putusan banding ini akan direspons oleh DJP dalam jangka waktu 30 hari sejak putusan diterima. Waktu yang tidak singkat dan menguras energi maupun sumber daya. Makanya, Wajib Pajak perlu memperhitungkan cost and benefit ketika ingin menempuh upaya hukumnya,” jelas Fahri.

Jika Wajib Pajak atau DJP tidak setuju dengan hasil putusan Banding dari Pengadilan Pajak, maka keduanya bisa mengajukan upaya hukum selanjutnya, yakni Peninjauan Kembali (PK).

“Ada pertimbangan lagi ketika ingin mengajukan upaya hukum PK. Dia (Wajib Pajak) harus memiliki pemahaman yang cukup untuk proses administratif PK. Selain itu, Wajib Pajak harus melihat peluang untuk melakukan upaya hukum PK dengan mempertimbagkan putusan-putusan yang sudah ada sebelumnya dengan jenis koreksi yang sama. Di sinilah penting jika Wajib Pajak menggunakan konsultan pajak, menjadi eksekutor sekaligus mentor agar upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak benar-benar merupakan langkah yang tepat, penuh perhitungan, pertimbangan, dan strategi maupun kemampuan yang mumpuni,” pungkas Fahri.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *