in ,

Rencana Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Rencana Penerapan Pajak Karbon
FOTO: IST

Rencana Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Rencana Penerapan Pajak Karbon di Indonesia. Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan rendah karbon dan menargetkan Net Zero Emission pada tahun 2070. Di lain pihak, Indonesia memiliki potensi karbon sangat besar. Jaringan listrik di Indonesia masih didominasi pembangkit listrik batu bara, penggunaan transportasi berbahan bakar fosil juga terus meningkat.

Ada 4 usulan penerapan objek pajak karbon dan pengalokasiannya di Indonesia. Pertama, kendaraan baru dikenakan pajak per konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) per tahun dan dialokasikan ke transportasi umum dan jalan.

Kedua, setiap liter BBM dikenakan pajak dan dialokasikan ke pengembangan energi terbarukan. Ketiga, pembangkit listrik tenaga batu bara dikenakan pajak untuk setiap listrik yang dihasilkan dan dialokasikan sebagai feed in tariff bagi energi terbarukan.

Keempat, pajak karbon oil boiler di atas 100 ton/jam dan dialokasikan kembali untuk subsidi boiler berefisiensi tinggi dan boiler biomassa. Berdasarkan usulan tersebut, dana yang didapatkan dari pajak karbon akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim termasuk insentif atau subsidi ke sektor lain yang sangat mendesak seperti transportasi publik, maupun industri hijau.

Baca Juga  Bea Cukai Banten Beri Izin Fasilitas KITE Pembebasan untuk Perusahaan, Ini Manfaatnya

Dengan berbagai isu dan skenario yang dapat diraih dari pengenaan pajak karbon ini masih banyak hal yang perlu mendapat pertimbangan. Setidaknya terdapat 6 pertimbangan pemerintah dalam mengenakan pajak karbon. Pertama, penerapan prinsip polluters pay principle. Artinya, melalui pajak karbon, pemerintah ingin membebankan biaya kerusakan lingkungan akibat emisi karbon kepada pihak yang mengeluarkan emisi karbon.

Kedua, pajak karbon sebagai upaya mencapai target penurunan GRK dengan kemampuan sendiri. Dalam UU No.16/2016, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Ketiga, sumber baru pembiayaan pembangunan. Pemerintah telah menetapkan prioritas pembangunan dalam dokumen RPJMN 2020-2024. Selain itu, di tengah pandemic Covid 19, pemerintah juga menetapkan prioritas utama pada sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi.

Baca Juga  Ekspor Perdana 2,4 Ton “Aromatic Flavor Mixture” ke Tiongkok, Dorong Daya Saing Industri Lokal

Prioritas kesehatan dan pemulihan ekonomi tersebut menambah keterbatasan fiskal pemerintah. Untuk itu, pendapatan negara dari pajak karbon dicanangkan sebagai sumber baru bagi pembiayaan pembangunan atau menambah fiscal space.

Keempat, mengisi gap pembiayaan perubahan iklim. Berdasarkan pada data climate budget tagging, kemampuan APBN untuk memenuhi kebutuhan pendanaan perubahan iklim hanya sekitar 34% dari kebutuhan. Untuk itu, penerimaan dari pajak karbon akan menutupi gap pembiayaan perubahan iklim tersebut.

Kelima, sumber investasi energi ramah lingkungan dan terbarukan. Investasi energy ramah lingkungan dan terbarukan memerlukan dana yang sangat besar. Dengan adanya pajak karbon, pemerintah dapat melakukan earmarking atas pajak karbon untuk mendukung investasi ramah lingkungan dan terbarukan.

Keenam, sumber pembiayaan untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah. Pengenaan pajak karbon dapat berdampak pada masyarakat berpenghasilan rendah, terutama pascapandemi Covid-19. Untuk itu, pendapatan dari pajak karbon dapat dialokasikan pada masyarakat berpenghasilan rendah guna mengurangi dampak regresifitasnya.

Baca Juga  Pemprov Bali Siapkan Revisi Aturan Pajak Turis Asing, Ada Sanksi Tegas Bagi Wisatawan Bandel

Berkaca dari pengalaman penerapan pajak karbon di berbagai negara, perlu kajian mendalam apabila akan diterapkan di Indonesia. Pemerintah perlu membuat Regulatory Impact Assessment yang mengkaji dampak pemberlakuan kebijakan ini tidak hanya dari sudut pandang penerimaan negara, tetapi juga bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Syarat utama penerapan pajak karbon adalah prinsip keadilan. Pihak yang terdampak kebijakan, terutama dunia usaha, harus menjadi perhatian utama dalam proses dialog dan komunikasi. Perlu dilakukan pemetaan dan implementasi secara bertahap.

Jika pada tahun 2022 pemetaan, tata kelola, regulasi termasuk aturan teknisnya telah disiapkan, serta assessment, dialog, dan sosialisasi kepada pihak yang terdampak sudah dilakukan, maka seyogyanya mulai tahun 2023 pajak karbon ini sudah dapat diterapkan secara bertahap di Indonesia.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *