in ,

PMK 72 Tahun 2023 Beri Kemudahan Hitung Penyusutan dan Amortisasi

PMK 72 Tahun 2023
FOTO: Tiga Dimensi

PMK 72 Tahun 2023 Beri Kemudahan Hitung Penyusutan dan Amortisasi

Pajak.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud untuk Keperluan Perpajakan telah berlaku sejak 17 Juli 2023. Menurut Partner TaxPrime Saut Hotma Hasudungan Sibarani, regulasi yang merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini beri kepastian hukum maupun keadilan, serta mempermudah Wajib Pajak dalam menghitung penyusutan harta berwujud dan/atau amortisasi harta tak berwujud untuk keperluan perpajakan.

“Mengapa PMK Nomor 72 Tahun 2023 dikatakan memberikan kepastian hukum? Karena banyak sekali sebelumnya terkait dengan penyusutan dan/atau amortisasi yang menimbulkan perbedaan persepsi. Berdasarkan pengalaman, bukan karena Wajib Pajak tidak ingin mematuhi peraturan, namun karena perbedaan pemahaman. Sebelum aturan ini terbit, ada PMK Nomor 96 Tahun 2009 yang hanya memberikan gambaran jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan. Sedangkan PMK 72 Tahun 2023 memberikan gambaran sekaligus definisi yang jelas, sehingga perhitungan penyusutan dan/atau amortisasi menjadi mudah dan pasti. Boleh dikatakan, PMK ini mengakomodir masukan-masukan para pelaku bisnis,” ungkap Saut kepada Pajak.comdi Kantor TaxPrime, Gedung TTH, Jakarta, (12/9).

Apa ketentuan penyusutan pajak?

Ia menjelaskan, PMK 72 Tahun 2023 menegaskan penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, serta memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.

Sementara penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dimaksud, selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.

Menurut Saut, masa manfaat harta berwujud tetap sama dengan pengaturan sebelumnya, yakni kelompok 1 selama 4 tahun, kelompok 2 selama 8 tahun, kelompok 3 selama 16 tahun, dan kelompok 4 selama 20 tahun. Sementara untuk bangunan, yaitu bangunan permanen selama 20 tahun dan tidak permanen selama 10 tahun.

“Dalam menghitung penyusutan, masa manfaat, dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan dengan gamblang dalam setiap kelompoknya. Misalnya, kelompok 1 (bukan bangunan) mempunyai masa manfaat 4 tahun, maka tarif penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud sebesar 25 persen. Sementara penyusutan dengan metode saldo menurun atas pengeluaran harta berwujud yang dimaksud, selain bangunan ditetapkan tarif 50 persen,” jelas Saut.

Baca Juga  DJP: Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Badan Bisa Secara “On-line”

Ia melanjutkan, pada kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun, tarif penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud sebesar 12,5 persen. Sedangkan, penyusutan dengan metode saldo menurun atas pengeluaran harta berwujud yang dimaksud, selain bangunan ditetapkan 12,5 persen.

Kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun, tarif penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud sebesar 6,25 persen. Sementara, penyusutan dengan metode saldo menurun atas pengeluaran harta berwujud yang dimaksud, selain bangunan ditetapkan 12,5 persen.

Kelompok 4 dengan masa manfaat 20 tahun, tarif penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud sebesar 5 persen. Sedangkan, penyusutan dengan metode saldo menurun atas pengeluaran harta berwujud yang dimaksud, selain bangunan ditetapkan 10 persen.

Saut memerinci, dalam lampiran PMK Nomor 72 Tahun 2023 jenis harta berwujud bukan bangunan yang termasuk dalam kelompok 1, antara lain meliputi mebel dan peralatan dari kayu atau rotan, termasuk meja, bangku, kursi, lemari, dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan. Kemudian mesin kantor, seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, laptop, komputer, printer, scanner, dan sejenisnya termasuk peranti elektronik lainnya. Sementara, pada kelompok 3 menguraikan harta untuk jenis usaha pertambangan serta minyak dan gas (migas), meliputi mesin-mesin yang dipakai dalam bidang selain minyak pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah produk pelikan.

Selain itu, dalam PMK Nomor 72 Tahun 2023, untuk bangunan permanen dengan masa manfaat 20 tahun dikenakan tarif 5 persen, sedangkan bangunan tidak permanen dipatok tarif 10 persen.

“Apabila Wajib Pajak merasa bahwa bangunan permanen memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun.  Maka Wajib Pajak harus memberitahukan ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak berstatus pusat terdaftar. Bahwa ‘saya akan menggunakan masa manfaat harta tersebut sesuai dengan dokumen pendukungnya’. Karena mungkin ini mempertimbangkan dari segi bisnis bangunan dibuat kokoh dengan kekuatan lebih dari 20 tahun. Maka, Wajib Pajak di awal memberikan kepastian. Sehingga tidak terjadi perbedaan waktu koreksi yang terlampau lama,” ungkap Saut.

Berdasarkan pengalamannya, sebelum PMK Nomor 72 Tahun 2023, sengketa pajak yang timbul karena pengelompokan kerap terjadi. Namun, dengan berlakunya PMK ini Wajib Pajak dapat melakukan permohonan untuk selanjutnya DJP menerbitkan Penetapan Masa Manfaat Atas Harta Berwujud Bukan Bangunan Dan Harta Tidak Berwujud.

Baca Juga  Daftar Lengkap Penyesuaian Jenis dan Tarif Pajak di Kota Malang

“Banyak sekali sengketa-sengketa (sebelum PMK Nomor 72 Tahun 2023). Karena ada Wajib Pajak merasa, misalnya, masa manfaatnya kelompok 2 sehingga Wajib Pajak sudah mencatat dalam penyusutannya itu masuk ke kelompok 2. Namun, pada saat dilakukan pemeriksaan, ternyata Pemeriksa Pajak menilai itu masuk ke kelompok 3. Dengan begitu, penetapan masa manfaat atas permohonan Wajib Pajak dalam PMK ini bisa diminimalisasi atau memitigasi sengketa pajak,” jelas Saut.

Ia menguraikan, permohonan kelompok masa manfaat penyusutan paling sedikit memuat identitas Wajib Pajak, nama harta berwujud, tanggal perolehan, nilai perolehan, masa manfaat menurut Wajib Pajak, dan kelompok penyusutan menurut Wajib Pajak.

Permohonan tersebut dilampiri dengan penjelasan terperinci Wajib Pajak mengenai harta berwujud yang paling sedikit memuat nama harta berwujud, asal perolehan harta berwujud, jumlah harta berwujud, nilai perolehan harta berwujud, alasan/ dasar pertimbangan perkiraan masa manfaat, kelompok penyusutan menurut Wajib Pajak, spesifikasi harta berwujud dari produsen, dokumen perkiraan umur harta berwujud/masa manfaat ekonomis dari penilai publik sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penilai publik, dan keputusan penetapan kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan, dalam hal pernah memperoleh penetapan untuk harta lainnya.

“Atas permohonan Wajib Pajak, KPP akan melakukan penelitian dan penetapan. Apa saja? penelitian kelengkapan dokumen, penelitian substansi—bagaimana kelompok masa manfaat penyusutan, saat mulainya penyusutan, persetujuan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi untuk dibukukan sebagai beban masa kemudian kelompok masa manfaat penyusutan untuk bidang usaha tertentu,” jelas Saut.

Selain itu, kepastian hukum terkait biaya perbaikan juga kini ditegaskan dalam Pasal 7 PMK Nomor 72 Tahun 2023. Saut menjelaskan, biaya perbaikan harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun dikapitalisasi pada nilai sisa buku fiskal harta berwujud dan dibebankan melalui penyusutan.

Apa ketentuan amortisasi pajak?

Saut mengutip, berdasarkan PMK Nomor 72 Tahun 2023, amortisasi dilakukan atas harta tak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dimiliki atau digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M).

Ia mengatakan, masa manfaat untuk amortisasi tetap sama dengan PMK Nomor 96 Tahun 2009, yakni kelompok 1 selama 4 tahun, kelompok 2 selama 8 tahun, kelompok 3 selama 16 tahun, dan kelompok 4 selama 20 tahun. Pengaturan baru terdapat pada harta tak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun.

“Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun yang dipergunakan untuk 3M. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu,” jelas Saut.

Baca Juga  Bayar PBB Tepat Waktu di Sukabumi, Berpeluang Umrah Gratis

Adapun bidang usaha tertentu dalam PMK Nomor 72 Tahun 2023, meliputi kehutanan, perkebunan, dan peternakan yang dapat berproduksi berkali-kali. Saut menjelaskan, tanaman kehutanan atau bidang kehutanan disusutkan selama 20 tahun, kemudian tanaman keras termasuk tanaman rempah dan penyegar atau bidang perkebunan disusutkan selama 20 tahun.

Sedangkan ternak, termasuk ternak pejantan atau bidang peternakan disusutkan selama 8 tahun untuk ternak yang menghasilkan setelah dipelihara lebih dari 1 tahun atau menggunakan masa manfaat selain 8 tahun dengan mempertimbangkan masa manfaat yang sebenarnya.

“Pengelompokan ternak yang menghasilkan setelah dipelihara kurang dari atau sama dengan satu tahun merupakan pengaturan baru. Hal ini artinya untuk memberikan kemudahan dan kepastian penghitungan penyusutan bagi pelaku usaha ternak,” kata Saut.

Ia menyebutkan, untuk menghitung masa manfaat dan tarif amortisasi harta tak terwujud yang ditetapkan, yaitu kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun, maka tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus ditetapkan 25 persen dan saldo menurun 50 persen. Kemudian, kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun ditetapkan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5 persen dan saldo menurun 25 persen.

Selanjutnya, kelompok 3 dengan masa manfaat 16 tahun memiliki tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus ditetapkan 6,25 persen dan saldo menurun 12,5 persen. Lalu, kelompok dengan masa manfaat 20 tahun, tarif amortisasi berdasarkan garis lurus sebesar 5 persen dan saldo menurun 10 persen.

“Wajib Pajak yang telah melakukan amortisasi harta tak berwujud yang dimiliki dan digunakan sebelum tahun pajak 2022, dapat memilih melakukan amortisasi sesuai masa manfaat yang sebenarnya dengan menyampaikan pemberitahuan kepada DJP paling lambat akhir tahun pajak 2022. Kalau Wajib Pajak memilih untuk melakukan amortisasi dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak dan belum menyampaikan pemberitahuan, Wajib Pajak dapat menyampaikan pemberitahuan paling lambat 30 April 2024. Tapi ingat ya, ini sifatnya pemberitahuan, bukan permohonan,” jelas Saut.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *