in ,

Machfud Sidik, Peletak Fondasi Regulasi Perpajakan Pasca-Krisis Moneter

Machfud Sidik
 FOTO: TaxPrime

Machfud Sidik, Peletak Fondasi Regulasi Perpajakan Pasca-Krisis Moneter

Pajak.com, Jakarta – Di tengah fase pemulihan krisis moneter 1998, Machfud Sidik menerima tongkat estafet kepemimpinan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) periode 2000-2001. Pada masa penuh tantangan dan dinamika itu, Machfud Sidik peletak fondasi perubahan sejumlah regulasi perpajakan, diantaranya mengenai Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Senior Advisor TaxPrime ini meyakini, reformasi regulasi merupakan pilar utama dalam membangun keadilan, kepatuhan, dan optimalisasi penerimaan pajak.

Pada era kepemimpinan Machfud terbentuk pula Tim Modernisasi Administrasi Perpajakan sebagai cikal-bakal lahirnya reformasi administrasi perpajakan yang ditengarai dengan membentuk dua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar pada tahun 2002—periode Dirjen Pajak setelahnya (Hadi Poernomo).

Ia menggarisbawahi, reformasi regulasi maupun administrasi yang dilakukannya adalah rangkaian perbaikan aturan perpajakan yang telah dicanangkan sebelumnya oleh Dirjen Pajak periode 1998-1999 Prof. Dr.  Abdul Anshari Ritonga.

“Karier saya sebenarnya tidak langsung di DJP, karena sebelumnya saya mengemban tugas di Badan Analisa Keuangan Negara Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP & NP) sekarang Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Saya masuk di DJP karena dipercaya oleh Pak Mar’ie Muhammad (Dirjen Pajak periode 1988-1993) sebagai stafnya mulai tahun 1988. Promosi menjadi Direktur Pajak Bumi dan Bangunan (1993-1998), mutasi menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (1998-2000), hingga akhirnya saya diangkat menjadi Dirjen Pajak pada tahun 2000-2001 dan menghadapi periode krisis moneter dan perekonomian tahun 1998-2000,  yang sama seperti tahun 2020 (krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19), walaupun case-nya jauh lebih berat tahun 2020,” kenangnya, di Ruang Rapat TaxPrime, (12/9).

Seperti diketahui, krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997 hingga 1998 telah berubah menjadi krisis ekonomi dan politik. Kala itu, terjadi kelumpuhan kegiatan ekonomi yang dipicu oleh kebangkrutan tak sedikit perusahaan dan bermuara pada meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK).

Krisis juga diperberat oleh pelbagai kesulitan lainnya, seperti kegagalan panen akibat musim kemarau panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, ditambah kerusuhan yang melanda banyak kota. Krisis multidimensi tersebut tentu berujung pada rendahnya kinerja penerimaan negara, utamanya perpajakan.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

“Maka, bisa dikatakan periode saya memimpin itu sedang menuju pemulihan setelah menghadapi situasi yang kurang lebih sama dengan krisis tahun 2020. Walaupun, sekali lagi, tidak seberat dan kompleksitas saat pandemi COVID-19. Saya meletakkan fondasi pada masa itu, menginisiasi perubahan-perubahan yang tidak bisa dihindari dari aspek kebijakan perpajakan. Sementara perbaikan administrasi itu dilanjutkan pada periode selanjutnya, meskipun sudah mulai diinisiasi,” ungkap Machfud Sidik.

Peraih Master of Science bidang Public Policy and Management dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, AS dan Doktor (cum laude) bidang ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini menyakini, di tengah krisis, penting bagi pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan sebagai respons positif menghadapi tantangan maupun peluang ke depan. Regulasi merupakan panglima utama dalam mengoptimalkan penerimaan pajak sekaligus menjadi bagian dari orkestra yang mampu menjaga keberlangsungan kegiatan bisnis, iklim investasi dan stabilitas ekonomi.

“Ketika saya menjadi Dirjen Pajak mulai awal Januari tahun 2000, tugas utama saya adalah collecting money for state budget. Alhamdulillah, target penerimaan pajak di tahun 1999-2000 sampai dengan 2000-2001 tercapai. Karena sebenarnya, menurut saya, target is important bagi DJP, meskipun harus secara sungguh-sungguh memperhatikan dampak distorsinya terhadap perekonomian apalagi di tengah masa krisis. Kemudian, yang lebih penting lagi, kinerja dari tahun sebelumnya mengalami peningkatan untuk merebut kepercayaan publik,” ujar Machfud Sidik.

Maka, saat menakhodai DJP, ia fokus mengoptimalkan penerimaan pajak dengan mendorong lahirnya perubahan enam UU perpajakan, antara lain UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kebijakan itu menegaskan, Surat Paksa diterbitkan secara selektif apabila penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis; terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Kemudian, Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.

Adapun pertimbangan diterbitkan UU tersebut adalah untuk menampung perkembangan sistem hukum nasional dan kehidupan masyarakat yang dinamis;  memberikan kepastian hukum dan keadilan; serta mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan lahirnya regulasi ini keadilan dapat tercipta dengan penegakan hukum yang jelas dan tegas.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

“Di sisi lain, pajak itu harus elastis terhadap pertumbuhan perekonomian, kalau economic growth 5 persen, pertumbuhan penerimaan pajak itu tidak boleh 4-5 persen. Pertumbuhan penerimaan pajak secara sederhana seharusnya lebih besar dari penjumlahan pertumbuhan PDB (produk domestik bruto), tingkat inflasi, dan pertumbuhan jumlah penduduk. Bila misalnya delta PDB sekitar 5 persen, tingkat inflasi 4 persen dan delta penduduk 1 persen, maka pertumbuhan penerimaan pajak harus lebih besar dari 10 persen—itu namanya elastis terhadap komposit delta PDB, tingkat inflasi dan delta penduduk,” kata Machfud.

Selain itu, penting pula bagi DJP untuk meningkatkan kredibilitas yang bermuara pada tumbuhnya kepercayaan dari Wajib Pajak. Kredibilitas DJP dapat terwujud dari bagaimana otoritas pajak secara lugas menegakkan hukum perpajakan. Dengan asumsi pemerintah pusat dan pemerintah daerah mampu meningkatkan kualitas belanja negara dan daerah, hal ini akan memengaruhi kepercayaan publik pada pemerintah (pusat dan daerah) dan pada gilirannya berdampak positif pada seluruh aspek perekonomian nasional, seperti makin membaiknya kualitas pelayanan publik, meningkatnya iklim investasi dan stabilitas sosial maupun politik.

“Tahun 2023 ini juga masih merupakan tahun post-recovery, baik dalam rangka memperbaiki ekonomi setelah pandemi maupun membangun kredibilitas pemerintah termasuk DJP. Perekonomian Indonesia saat ini ibarat orang baru pulih dari sakit, sudah mulai bisa duduk tapi belum bisa berlari. Lalu, bagaimana kebijakan perpajakannya? Sebaiknya harus tetap prudent. Pemerintah perlu berhitung lebih cermat dalam menggali sumber penerimaan perpajakan,” kata Machfud.

Ia berpandangan, industri membutuhkan formulasi kebijakan perpajakan yang berkeadilan dan tepat sasaran, yakni regulasi yang mampu membantu pemulihan keterpurukan beberapa sektor. Di sisi lain, penerimaan pajak dari industri dan beberapa sektor pertambangan yang berkinerja gemilang pun harus mulai dioptimalkan.

“Sektor mana yang sudah pulih, sektor mana yang masih perlu didorong dengan stimulus fiskal. Ada yang masih sakit sampai sekarang, ada yang berjalan, dan bisa lari cepat, seperti sektor pertambangan nikel dan mineral batu bara, komoditas sawit, dan beberapa sektor lainnya. Sektor-sektor tersebut juga masih menghadapi fluktuasi dan ketidakpastian perekonomian global. Kita harus tepat waktu, tepat sasaran sektor yang dipajaki secara normal, tepat kelembagaan, termasuk kesiapan otoritas pajak dalam menghadapi ketidakpastian perekonomian global menjelang tahun 2024 yang ditandai dengan fluktuasi harga komoditas internasional, perkembangan digital economy, krisis energi, kelangkaan pangan, tahun menjelang Pemilu 2024, perang antara Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung yang tidak pasti kapan berakhirnya, kesemuanya memerlukan penyesuaian kebijakan perpajakan yang adaptif,” jelas Machfud

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Ia pun mengapresiasi lima pilar Reformasi Perpajakan Jilid III yang tengah dijalankan DJP, meliputi yakni penguatan organisasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), perbaikan proses bisnis, pembaruan sistem informasi dan basis data, dan penyempurnaan regulasi.

“Semua perubahan zaman atau krisis demi krisis memaksa otoritas pajak harus melakukan reform secara berkelanjutan. Digitalisasi administrasi perpajakan melalui core tax yang sedang kita tunggu akan memberikan harapan positif pada optimalisasi penerimaan pajak, mitigasi risiko, dan mampu meminimalkan distorasi,” kata Machfud.

Ia optimistis, core tax sebagai pengganti Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) mampu mempermudah administrasi perpajakan yang berimplikasi pada perbaikan iklim investasi dan bisnis, serta pelayanan publik yang makin membaik.

“Semakin mudahnya Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan, akan meningkatkan kredibilitas otoritas pajak. Reformasi perpajakan bertujuan bukan hanya sekadar meningkatkan penerimaan, melainkan bagaimana kepatuhan sukarela dapat ditingkatkan dan  berkeadilan, sehingga penerimaan pajak semakin memberikan dampak positif pada kualitas belanja negara dan daerah yang pada gilirannya  memberikan manfaat bagi pemerataan pembangunan daerah serta dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat,” ujar Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Kementerian Keuangan periode 2001–2004 ini.

Kini, sebagai Senior Advisor TaxPrime, Machfud ingin tetap berkontribusi membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya maupun mendapatkan haknya sesuai peraturan yang berlaku. Baginya, TaxPrime memiliki visi dan misi yang seirama dalam menjaga profesionalisme dan integritas serta berkontribusi pada check and balance antara otoritas pajak dan Wajib Pajak.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *