in ,

Saut Hotma Sibarani, Perjuangkan Kepastian Hukum dalam Sengketa Pajak

Saut Hotma Sibarani
FOTO: TaxPrime

Saut Hotma Sibarani, Perjuangkan Kepastian Hukum dalam Sengketa Pajak

Pajak.com, Jakarta – Memutuskan berkarier sebagai konsultan pajak setelah 22 tahun mengabdi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tak mengubah poros haluan Saut Hotma Hasudungan Sibarani. Bagi Partner TaxPrime ini, memperjuangkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak adalah tujuan utamanya.

Pada akhir tahun 2017, Saut mencatatkan lembaran baru kariernya di TaxPrime. Pengalaman, keahlian, dan latar belakang pendidikan, membuatnya dipercaya secara khusus untuk menangani pemeriksaan dan penyelesaian sengketa pajak. Saat bertugas di DJP, Saut telah mengemban beragam amanah, mulai dari pemeriksa pajak, account representative (AR), hingga kepala seksi pengawasan dan konsultasi (kasi waskon). Terakhir, ia menjalankan amanah sebagai Kepala Seksi Waskon di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Jakarta Setiabudi Dua.

“Saya melihat TaxPrime sebagai kantor konsultan pajak yang berintegritas. Apalagi sebagian besar pendiri-pendiri dan partner di TaxPrime adalah teman-teman kita dulu di DJP—jadi kita sudah saling mengenal bagaimana integritas selalu menjadi nilai utama. Ditambah lagi komunikasi yang harus selalu kita jaga. Dua poin itu menjadi nilai yang dibawa terus untuk mencapai tujuan kita, memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak, bagaimana memberi kepastian hukum dengan menegakkan perundang-undangan perpajakan yang berkeadilan,” ungkap peraih Magister Manajemen Universitas Indonesia (UI) ini kepada Pajak.comdi Graha TTH, Jakarta, (11/12).

Saut Hotma Sibarani berpandangan konsultan pajak juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan kepatuhan, karena harus menjadi mediator antara Wajib Pajak dan fiskus dalam menyelesaikan sengketa. Meskipun sengketa pajak menjadi hal yang lazim terjadi sebagai konsekuensi dari sistem self assessment, namun hal itu dapat mengganggu aktivitas dunia usaha sehingga berimplikasi pada perekonomian nasional.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

“Di sisi lain, peraturan (perpajakan) itu dinamis—mengikuti kondisi perekonomian. Seperti lahirnya PMK Nomor 72 Tahun 2023 ini. Nah, Wajib Pajak ini harus benar-benar mengimplementasikan aturan—benar dalam penghitungan, penyetoran, dan pelaporannya. Di sini konsultan pajak berperan bagaimana mengedukasi Wajib Pajak dan memberikan pendampingan saat terjadi dispute. Wajib Pajak perlu kepastian hukum,” jelas alumnus PKN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) ini.

Saut menyoroti bahwa PMK Nomor 72 Tahun 2023 sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah memberi kepastian hukum, keadilan, serta mempermudah Wajib Pajak dalam menghitung penyusutan harta berwujud dan/atau amortisasi harta tak berwujud untuk keperluan perpajakan.

“Mengapa (PMK Nomor 72 Tahun 2023) memberikan kepastian hukum? Karena banyak sekali sebelumnya terkait dengan penyusutan dan/atau amortisasi yang menimbulkan perbedaan persepsi. Berdasarkan pengalaman, bukan karena Wajib Pajak tidak ingin mematuhi peraturan, namun karena perbedaan pemahaman. Sebelum aturan ini terbit, ada PMK Nomor 96 Tahun 2009 yang hanya memberikan gambaran jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan. Sedangkan PMK 72 Tahun 2023 memberikan gambaran sekaligus definisi yang jelas, sehingga perhitungan penyusutan dan/atau amortisasi menjadi mudah dan pasti. Boleh dikatakan, PMK ini mengakomodir masukan-masukan para pelaku bisnis,” ungkapnya.

Saut berpandangan, memperjuangkan kepastian hukum seyogianya dilakukan konsultan pajak dalam setiap langkah penyelesaian sengketa. Sekalipun pada fase langkah hukum awal dalam penyelesaian sengketa pajak, yaitu keberatan. Ia ingin menghapus asumsi bahwa seorang konsultan pajak berpotensi sengaja memperpanjang suatu perkara.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

“Kami di TaxPrime tidak begitu. Kalau di proses keberatan, harus selesai, ya selesai.  Itu kunci kami, memberikan kepercayaan, kepastian hukum. Contohnya, untuk menghindari saksi kenaikan atau denda 30 persen, apabila kalah di keberatan, Wajib Pajak harus bayar dulu (pajak beserta denda) seluruhnya. Kalau kita undur-undur perkaranya dari keberatan sampai PK (peninjauan kembali), berarti secara tidak langsung, ada dana Wajib Pajak yang tertahan di kas negara. Kalau kita panjangin (sengketanya) berarti cash flow perusahaan terganggu, padahal itu bisa digunakan untuk produksi, gaji, dan lainnya. Maka, kita harus berusaha berjuang selesaikan prosedur hukum paling utama dan pertama,” tegas pemegang Izin Kuasa Hukum Pengadilan Pajak ini.

Saut meyakini, menjaga erat prinsip itu telah membuat TaxPrime tumbuh sebagai kantor konsultan pajak yang semakin tepercaya dan kapabel. Bahkan, mampu mengantarkan TaxPrime menjadi nomine Tax Dispute of the Year di ajang International Tax Review (ITR) Award Asia-Pacific di setiap tahunnya.

“Dulu kami enggak merencanakan masuk nomine ITR secara internasional. Saya cuma kebayang, gimana caranya menang sengketa. Tapi ketika ikut mendaftar lalu persiapan, dan ternyata masuk. Tapi di sini saya merasa 95 persen keberhasilan itu adalah hasil kerja dari teman-teman dalam mengumpulkan dokumen, mencari peraturan, menyiapkan argumentasi, dan menyampaikan. Pencapaian prestasi-prestasi dalam menyelesaikan sengketa adalah kerja sama tim yang solid,” ungkap pria kelahiran Padang, 8 Juni 1975 ini.

Baca Juga  Ahdianto, Teknik Kimia Jadi Bekal Diagnostik Atasi Sengketa Pajak dan Kepabeanan

Di sisi lain, memperjuangkan kepastian hukum dan keadilan merupakan manifestasi dari peran konsultan pajak membantu DJP meningkatkan kepatuhan perpajakan—sekaligus mewujudkan amanah perundang-undangan perpajakan. Kepastian hukum yang diterima Wajib Pajak akan menyuburkan rasa percaya kepada otoritas perpajakan yang bermuara pada optimalisasi penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat.

“Kami berusaha untuk menempatkan diri di tengah-tengah. Misalnya, Wajib Pajak salah, kita akan perbaiki, kita akan edukasi, di samping itu bagaimana kita menjaga komunikasi yang baik dengan pemeriksa. Atau ketika di Pengadilan Pajak, kita pastikan seluruh dokumen dan peraturan sudah dipenuhi dengan baik. Karena itu kunci dari penyelesaian sengketa pajak,” ungkap Saut.

Seorang konsultan pajak juga perlu memahami proses bisnis Wajib Pajak. Sebab hal itu berkaitan erat dengan bagaimana penyelesaian sengketa yang efektif.

“Beda-beda, seperti bisnis manufaktur, konstruksi, pertambangan, atau provider. Bisnis-bisnis ini, sistem pencatatan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang digunakan berbeda. Jadi, kita harus tahu dulu bisnis Wajib Pajak itu apa, baru kita bisa melakukan analisis penyelesaian sengketa pajaknya. Dari situ kita juga bisa jelaskan ke pemeriksa pajak,” pungkas Saut.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *