in ,

Muh Fahri Maulana, Memadukan Kompetensi Perpajakan dan Seni Komunikasi

Muh Fahri Maulana
FOTO: TaxPrime

Muh Fahri Maulana, Memadukan Kompetensi Perpajakan dan Seni Komunikasi

Pajak.com, Jakarta – Berprofesi sebagai konsultan pajak tak hanya dituntut mampu menguasai bidang perpajakan, akuntansi, atau keuangan. Bagi Litigation and Disputes Manager TaxPrime Muh Fahri Maulana, profesinya membutuhkan perpaduan beragam soft skill untuk memperkuat kompetensi diri, salah satunya kepiawaian dalam seni berkomunikasi.

Soft skill dalam hal komunikasi sebenarnya sudah saya pelajari dalam kegiatan kemahasiswaan dan memang saya suka, sehingga dulu saya aktif diorganisasi. Ketika saya masuk ke TaxPrime sekitar 8 tahun lalu, saya semakin suka karena TaxPrime sendiri sangat peduli dengan perkembangan soft skill. Kalau saya sendiri, saya beberapa kali ikut pelatihan public speaking, lalu training untuk bagaimana kita mengelola emosi, dan mengelola pikiran untuk mengambil suatu keputusan—bagaimana kita bersikap. Bahkan, ketika diskusi dengan para top management di TaxPrime, mereka sering bertanya ‘Fahri, kamu selama di TaxPrime kira-kira kamu merasa kurangnya apa? Atau kamu ada hambatan apa?’,” ungkap Muh Fahri Maulana kepada Pajak.com, di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Kuningan, (16/1).

Secara simultan, TaxPrime juga senantiasa memperkuat hard skill Fahri untuk mengembangkan kapasitas dalam bidang perpajakan dengan berbagai pelatihan, sertifikasi, sekaligus membuka ruang-ruang diskusi dengan top management maupun rekan kerja. Menurutnya, penting bagi konsultan pajak mempertajam pengetahuan dan analisisnya dengan saling bertukar pengalaman bersama profesional lain. Saat berdialog, kepiawaiannya dalam berkomunikasi pun menjadi semakin terasah.

“Saat kuliah, ketika bisa belajar mengenai pajak, saya lebih excited lagi. Karena menurut saya pajak itu menghubungkan ilmu ekonomi, ilmu akuntansi, dan ilmu hukum, serta ilmu sosial. Dan kata-kata pajak itu selalu timbul di masyarakat. Namun, untuk mendekatkan gap antara pajak dan masyarakat, butuh ilmu sosial dan ilmu komunikasi—ini penting. Misalnya, berdasarkan pengalaman saya mendampingi Wajib Pajak, ada anggapan bahwa jika pengajuan keberatan hanya akan berujung pada penolakan. Akhirnya, Wajib Pajak dalam tanda kutip tidak serius menyampaikan data-data atau pembelaannya. Padahal, DJP justru telah memberikan banyak ruang untuk Wajib Pajak memperbaiki kepatuhan perpajakannya. Penelaah Keberatan memfasilitasi Wajib Pajak untuk menjelaskan poin-poin keberatan secara lengkap,” ungkap alumnus Prodi Akuntansi Universitas Mercu Buana ini.

Baca Juga  Tiga Pertimbangan Sebelum Menempuh Upaya Hukum Sengketa Pajak

Fahri memberikan salah satu studi kasus. Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2013 j.o PMK Nomor 202 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, kewajiban Penelaah Keberatan adalah memberikan waktu kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan dokumen dan/atau data hingga dua kali kesempatan, yakni dalam waktu 15 hari kerja dan 10 hari kerja.

“Artinya, Wajib Pajak mempunyai waktu sekitar 25 hari kerja untuk mempersiapkan dokumen-dokumen penguat yang bisa diajukan ke DJP. Menurut saya, Wajib Pajak telah diberikan waktu yang cukup untuk menyiapkan data-data dalam memperjuangkan haknya. Setelah itu, Wajib Pajak mempunyai hak menanggapi, berkoordinasi dengan Tim Penelaah Keberatan, dan menyampaikan dokumen pendukung lagi pada saat Surat Pemberitahuan untuk Hadir (SPUH) disampaikan. Tim Penelaah Keberatan dan Wajib Pajak melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan melalui penyampaian surat panggilan kepada Wajib Pajak. Di sini Wajib Pajak harusnya mampu menjalin komunikasi yang baik dengan Tim Penelaah Keberatan,” ujar Fahri.

Kemudian, surat panggilan dikirimkan paling lama 10 hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan. Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan.

“Jadi, dari sisi peraturan, Wajib Pajak punya hak minimal tiga kali untuk menjelaskan argumentasinya, baik secara tertulis melalui dokumen maupun pertemuan secara langsung. Saya berpandangan, tiga kali kesempatan tersebut adalah waktu yang cukup bagi Wajib Pajak untuk membuktikan keberatan-keberatan atas ketetapan DJP. Bahkan, kalau Wajib Pajak kooperatif, berkomunikasi dengan baik, tim Penelaah Keberatan terkadang memberikan kebijaksanaannya dengan menambah waktu untuk berdiskusi kembali,” ungkap Fahri. Dengan demikian, dalam konteks penyelesaian sengketa pajak, penting bagi Wajib Pajak menunjukkan sikap kooperatif dengan DJP maupun Pengadilan Pajak.

Baca Juga  Apa Benar Pengajuan Keberatan Pasti Berujung Penolakan?

Fahri meyakini, penyelesaian sebuah perkara dapat berjalan dengan baik apabila seluruh pihak memadukan antara integritas, tegak lurus pada aturan, dan ketepatan dalam berkomunikasi. Menurut Fahri, seni komunikasi menuntut individu mampu menyesuaikan metode bertutur, berkoordinasi, dan bersikap. Sebagai konsultan pajak, ia harus mampu berkomunikasi secara efektif sesuai porsi pemangku kepentingannya.

“Untuk di posisi saat ini butuh proses. Makanya, pengalaman saya yang paling berkesan adalah saat menangani sengketa pertama kali. Saya dipercaya menangani dari awal proses sengketa sampai putusan, karena dulu karyawan TaxPrime tidak sebanyak sekarang. Sembari dibimbing, saya belajar proses drafting surat, menyampaikan surat bandingnya, mengikuti persidangan, di sini saya belajar bagaimana menjelaskan dengan baik, lalu menyampaikan penjelasan tertulis, analisis data, kemudian menyampaikan dalam penjelasan tertulis, uji bukti, kemudian sampai sidang pengucapan putusan, itu benar-benar luar biasa. Ketika menang, tambah berkesan. Bisa membantu Wajib Pajak dengan jalur yang benar karena setiap langkah kita mengacu peraturan perundang-undangan. Itu yang menjadi value TaxPrime, tegak lurus pada peraturan,” pungkas Fahri.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *