in ,

Apa Benar Pengajuan Keberatan Pasti Berujung Penolakan?

Pengajuan Keberatan Pasti Berujung Penolakan
FOTO: Tiga Dimensi

Apa Benar Pengajuan Keberatan Pasti Berujung Penolakan?

Pajak.com, Jakarta – Dalam proses penyelesaian sengketa, Wajib Pajak memiliki hak untuk mengajukan Surat Keberatan atas ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Upaya hukum itu akan dianalisis oleh Tim Penelaah Keberatan DJP. Analisis yang dilakukan oleh internal DJP itu mencuatkan rumor bahwa pengajuan Surat Keberatan pasti berujung pada penolakan. Apa benar demikian? Dibantu oleh Litigation and Disputes Manager TaxPrime Muh Fahri Maulana, Pak Jaka akan menemukan jawabannya.

Tanya: 
Setelah menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP) dari KPP terdaftar, kami berencana menempuh upaya hukum dengan mengajukan Surat Keberatan. Namun, ada isu yang menyebut bahwa pengajuan tahapan keberatan hanya sia-sia—berujung pada penolakan. Apakah hal itu benar? Kami juga ingin bertanya mengenai tips dan strategi dalam menjalani tahapan keberatan pajak yang efektif.

Jawab: 
Terima kasih atas pertanyaannya. Berdasarkan pengalaman saya mendampingi Wajib Pajak, tidak benar jika pengajuan keberatan hanya akan berujung pada penolakan. DJP justru telah memberikan banyak ruang untuk Wajib Pajak memperbaiki kepatuhan perpajakannya. DJP memfasilitasi Wajib Pajak untuk menjelaskan poin-poin keberatan secara komprehensif.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari SKP, meliputi jumlah laba rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan atau pemungutan pajak.

Mari kita perhatikan dengan saksama Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2013 j.o PMK Nomor 202 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan. Aturan ini mengatur tentang kewajiban Penelaah Keberatan DJP untuk memberikan waktu kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan dokumen dan/atau data hingga dua kali kesempatan, yakni dalam waktu 15 hari kerja dan 10 hari kerja.

Dengan demikian, Wajib Pajak mempunyai waktu sekitar 25 hari kerja untuk mempersiapkan dokumen-dokumen penguat yang bisa diajukan ke DJP. Menurut saya, Wajib Pajak telah diberikan waktu yang cukup untuk menyiapkan data-data dalam memperjuangkan haknya.

Setelah itu, Wajib Pajak mempunyai hak menanggapi dan menyampaikan dokumen pendukung lagi pada saat Surat Pemberitahuan untuk Hadir (SPUH) disampaikan. Tim Penelaah Keberatan dan Wajib Pajak melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan melalui penyampaian surat panggilan kepada Wajib Pajak.

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Adapun surat panggilan dikirimkan paling lama 10 hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan. Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan. Jadi, dari sisi peraturan, Wajib Pajak punya hak minimal tiga kali untuk menjelaskan argumentasinya, baik secara tertulis melalui dokumen maupun pertemuan secara langsung.

Saya berpandangan, tiga kali kesempatan tersebut adalah waktu yang cukup bagi Wajib Pajak untuk membuktikan keberatan-keberatan atas ketetapan DJP. Bahkan, kalau Wajib Pajak kooperatif, tim Penelaah Keberatan terkadang memberikan kebijaksanaannya dengan menambah waktu untuk berdiskusi kembali.

Barangkali, kesempatan-kesempatan itu belum dimanfaatkan secara optimal atau kemungkinan Wajib Pajak belum mengetahuinya. Oleh karena itu, penting bagi Wajib Pajak membaca aturan perpajakan secara detail. Kecermatan dalam membaca aturan merupakan strategi dalam menempuh upaya hukum perpajakan.

Saya optimistis, strategi yang tepat dengan mengacu pada aturan adalah kunci dari keberhasilan Wajib Pajak dalam menempuh upaya hukum keberatan. Secara persentase, kemenangan keberatan di mana saya bertugas saat ini adalah sekitar 85 persen. Artinya, stigma bahwa proses keberatan itu hanya sekadar proses yang asal lewat, tidak terbukti. Menurut saya, Penelaah Keberatan DJP sudah sangat bijaksana dan mengayomi Wajib Pajak—bagaimana memberikan hak-hak Wajib Pajak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kemudian, secara general, strategi yang efektif dalam mengajukan permohonan Surat Keberatan adalah patuh terhadap setiap prosedur yang tertuang dalam PMK Nomor 202 Tahun 2019. Jangan ada satu tahapan pun yang terlewat, keliru, atau terlambat. Permohonan keberatan akan ditolak bila Wajib Pajak tidak tertib pada prosedur atau persyaratan formal.

Sesuai dengan PMK Nomor 202 Tahun 2015, prosedur mengajukan keberatan yang harus ditaati Wajib Pajak, meliputi: 

  • Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
  • Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan. Alasan yang menjadi dasar penghitungan maksudnya adalah alasan- alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi SKP, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan;
  • Satu keberatan diajukan hanya untuk satu SKP, untuk satu pemotongan pajak, atau untuk satu pemungutan pajak;
  • Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
  • Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKP dikirim atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak. Apabila ternyata bahwa batas waktu tiga bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeure), tenggang waktu selama tiga bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak;
  • Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak. Dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus; dan
  • Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Baca Juga  Cara Mudah Lacak Barang Kiriman Melalui Bea Cukai

Dan dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:

  • Meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi;
  • Meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
  • Meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
  • Meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;
  • Melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 202 Tahun 2015; dan
  • Melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
Baca Juga  Lapor SPT Tak Benar, Kejati DIY Sita Rp 12 Miliar dari Perusahaan Ini

Kemudian, Wajib Pajak harus memenuhi: 

  • Peminjaman dan/atau permintaan buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan informasi paling lama 15 hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim;
  • Apabila sampai dengan jangka waktu 15 hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir, Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Surat Permintaan Peminjaman yang Kedua dan/atau Surat Permintaan Keterangan yang Kedua;
  • Selanjutnya, Wajib Pajak harus memenuhi peminjaman dan/atau permintaan yang kedua paling lama 10 hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang kedua dikirim; dan
  • Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *