in ,

Tiga Pertimbangan Sebelum Menempuh Upaya Hukum Sengketa Pajak

Tiga Pertimbangan Sebelum Menempuh Upaya Hukum Sengketa Pajak
FOTO: Tiga Dimensi

Tiga Pertimbangan Sebelum Menempuh Upaya Hukum Sengketa Pajak

Pajak.com, Jakarta – Berdasarkan data Pengadilan Pajak, jumlah berkas  sengketa pajak pada tahun 2022 meningkat menjadi sebanyak 11.602 dari 7.109. Litigation and Disputes Assistant Manager TaxPrime Muh Fahri Maulana menganalisis, faktor utama yang menyebabkan peningkatan sengketa pajak adalah perbedaan interpretasi dalam membaca maupun mengimplementasikan perundang-undangan perpajakan. Namun, menurut Fahri, ada tiga pertimbangan bagi Wajib Pajak sebelum menempuh upaya hukum dalam sengketa pajak.

“Secara umum dapat saya simpulkan, sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksepahaman antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Wajib Pajak. Perbedaan pemahaman membaca undang-undang dan perbedaan pemahaman terkait implementasi peraturan. Hal ini sebenarnya patut dimaklumi karena adanya perubahan peraturan perpajakan yang membuat Wajib Pajak kesulitan memahami dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Di sisi lain, seperti kita ketahui bersama, regulasi-regulasi pajak adalah peraturan yang sangat dinamis dan cepat menyesuaikan dengan situasi ekonomi dan bisnis perusahaan,” ungkap Fahri kepada Pajak.com, di Ruang Rapat TaxPrime, Menara Kuningan, (8/9).

Ia menguraikan, sengketa pajak berawal dari Hasil Pemeriksaan yang menetapkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), atau pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) tersebut, maka Wajib Pajak berhak mengajukan upaya hukum, meliputi keberatan, banding, peninjauan kembali sesuai dengan Pasal 25 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Selain itu, permohonan pada Pasal 36 KUP, antara lain pembatalan SKP, Surat Tagihan Pajak (STP), atau pengurangan sanksi, kemudian masuk ke upaya hukum gugatan, hingga peninjauan kembali.

Kendati demikian, Fahri menilai, Wajib Pajak disarankan dapat memperhitungkan cost and benefit ketika menempuh upaya hukum dalam menyelesaikan sengketa pajak. Ada tiga pertimbangan sebelum menempuh upaya hukum sengketa pajak yang bisa menjadi perhatian Wajib Pajak, yaitu pertama, berapa nominal yang disengketakan. Kedua, bagaimana dampak dari sengketa tersebut. Ketiga, seberapa sulit atau berapa peluang untuk menang dalam upaya hukum berikutnya.

“Atas ketiga pertimbangan inilah yang akan menentukan Wajib Pajak maju atau tidak. Begitu pula ketika kami mendampingi Wajib Pajak, tiga pertimbangan tersebut yang kami sampaikan kepada Wajib Pajak untuk kemudian diputuskan bersama. Contoh, ada koreksi pemeriksaan kredit pajak sebesar 12 dollar AS. Maka, pastinya Wajib Pajak berpikir, apakah worth it itu untuk diperjuangkan, sehingga harus dilanjutkan ke langkah-langkah pengajuan keberatan, yang dimulai dari mengirim Surat Keberatan, kemudian nanti ada permintaan dokumen, adanya bahasan dengan Pemeriksa Pajak, selanjutnya harus menunggu lagi maksimal 12 bulan keputusan keberatan,” ujar Fahri.

Baca Juga  Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengembalian Pajak dalam Rangka Impor

Keberatan 

Namun, apabila nominal koreksi dalam SKP cukup besar atau material, dan berpotensi mempengaruhi cash flow perusahaan dan transaksi-transaksi tahun pajak berikutnya, serta dari sisi penyelesaian sengketanya mudah dilakukan karena hanya perlu menyediakan dokumen yang sudah ada, maka Wajib Pajak disarankan untuk memperjuangkan haknya dengan menempuh upaya hukum, yang dimulai dari keberatan.

“Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari SKP, yang meliputi pos-pos dalam SKP seperti peredaran usaha, harga pokok produksi, koreksi fiskal, kredit pajak, atau jumlah rugi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Jika alasan keberatan selain dari hal-hal tersebut atau lebih cenderung ke masalah formal penerbitan SKP atau STP, maka dapat menempuh upaya hukum Permohonan Pasal 36,” jelas Fahri.

Secara lebih rinci, Fahri menyebutkan syarat formal dalam mengajukan Surat Keberatan antara lain diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan, dan satu surat keberatan diajukan hanya untuk satu SKP.

Lebih lanjut ia menjelaskan, Wajib Pajak harus membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui dalam pembahasan akhir Hasil Pemeriksaan, sebelum Surat Keberatan disampaikan. Surat Keberatan diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal SKP dikirim atau pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.

Fahri juga mengingatkan, Surat Keberatan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak. Apabila Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampirkan dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP.

Baca Juga  Mengenal Tobin Tax: Definisi, Tujuan, dan Tantangan Penerapannya

“Proses keberatan juga memiliki prosedur dan memakan waktu yang panjang. Tim Penelaah Keberatan berwenang meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data dan informasi. Tim Penelaah Keberatan juga dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan, meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga, meninjau tempat Wajib Pajak—termasuk tempat lain yang diperlukan,” urai Fahri.

Fahri menambahkan, Tim Penelaah Keberatan dan Wajib Pajak melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan. Adapun surat panggilan dikirimkan paling lama 10 hari kerja sebelum tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan. Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan dan klarifikasi sengketa perpajakan.

“Berdasarkan pengalaman dan strategi, dalam menempuh proses keberatan, kami mengikuti peraturan yang berlaku. Namun, terkadang untuk menyelesaikan sebuah sengketa, Wajib Pajak kurang mau membaca peraturan sampai tuntas. Jadi, dari pengalaman kami, hal yang mendasar adalah Surat Keberatan harus memenuhi persyaratan formal. Hal ini penting, karena mau sekuat apapun materi kita, kalau persyaratan formal tidak dipenuhi atau ditolak. Maka, nihil. Tidak bisa maju ke langkah berikutnya,” ungkap Fahri.

Ia mengungkapkan, berdasarkan PMK Nomor 9 Tahun 2013 j.o PMK Nomor 202 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, Penelaah Keberatan memberikan waktu bagi Wajib Pajak untuk menyerahkan dokumen hingga dua kali, yakni dalam waktu 15 hari kerja dan 10 hari kerja.

“Ini berarti Wajib Pajak diberikan waktu yang cukup untuk menyiapkan data-data. Kemudian, Wajib Pajak mempunyai hak menanggapi dan menyampaikan dokumen pendukung pada saat SPUH (Surat Pemberitahuan untuk Hadir) disampaikan. Jadi, sebenarnya dari sisi peraturan sendiri, Wajib Pajak punya hak minimal tiga kali untuk menjelaskan pendapat dan memberikan dokumen pendukung ditahap keberatan. Hak tiga kali tersebut menurut saya waktu yang cukup untuk menjelaskan alasan-alasan kita untuk mengajukan keberatan, dan hak ini harus Wajib Pajak manfaatkan. Bahkan, kalau Wajib Pajak kooperatif, tim Penelaah Keberatan pun terkadang memberikan kebijaksanaannya—memberikan waktu tambahan untuk berdiskusi,” ungkap Fahri.

Baca Juga  Bulukumba Diganjar BI Atas Pembayaran Pajak Nontunai yang Melejit

Ia memastikan, TaxPrime hadir mendampingi Wajib Pajak untuk mengubah stigma dari Wajib Pajak yang menganggap proses keberatan akan bermuara pada penolakan dari DJP.

“Secara persentase, kemenangan keberatan di tim saya sekitar 85 persen. Ini artinya, stigma bahwa proses keberatan itu hanya sekadar proses yang asal lewat, tidak terbukti. Kami menilai, Penelaah Keberatan di DJP sudah sangat bijaksana dan mengayomi Wajib Pajak, bagaimana memberikan hak-hak Wajib Pajak sesuai dengan aturan yang berlaku,” ungkap Fahri.

Apabila proses keberatan dilakukan dan Wajib Pajak masih tidak setuju dengan hasil dari keberatan, maka kita dapat menempuh upaya hukum pengajuan banding atau gugatan jika awalnya adalah permohonan Pasal 36.

Banding dan gugatan

Fahri menjelaskan, banding adalah upaya hukum lanjutan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak ketika upaya keberatan Wajib Pajak ditolak atau diterima sebagian oleh Direktur Jenderal Pajak. Sementara gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak, seperti Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan—misalnya Keputusan permohonan pengajuan pasal 36 UU KUP.

“Permohanan banding dan gugatan dapat diajukan Wajib Pajak ke Pengadilan Pajak. Ada juga persyaratan formal dan material yang harus dipenuhi seperti mengajukan keberatan. Strategi yang sama ketika Wajib Pajak mengajukan keberatan, yaitu bagaimana kita memenuhi syarat formal. Karena seberapa kuat data material kita, kalau persyaratan formal tidak dipenuhi, maka permohonan banding akan ditolak tanpa masuk ke pembahasan materi,” pungkas Fahri.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *