in ,

Mekanisme Permohonan dan Contoh Pengakuan Kerugian atas Asuransi

Contoh Pengakuan Kerugian
FOTO: Tiga Dimensi

Mekanisme Permohonan dan Contoh Pengakuan Kerugian atas Asuransi

Pajak.com, Jakarta – Selain penyusutan dan amortisasi, pemerintah juga mengatur terkait pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2023 tentang Penyusutan Harta Berwujud dan/atau Amortisasi Harta Tak Berwujud untuk Keperluan Perpajakan. Partner TaxPrime Saut Hotma Hasudungan Sibarani mengungkapkan, PMK yang berlaku mulai 13 Juli 2023 ini telah memerinci ketentuan apabila pengalihan atau penarikan yang mendapatkan penggantian asuransi beserta tahapan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak. Saut juga akan memberikan contoh perhitungan pengakuan kerugian dan penghasilan.

“Kita melihat Pasal 8 (PMK Nomor 72 Tahun 2023), di mana apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi berlaku dua ketentuan, yaitu jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dialihkan atau ditarik dibebankan sebagai kerugian. Selanjutnya, jumlah harga jual dan/atau penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh, dibukukan atau diakui sebagai penghasilan. Nilai sisa buku fiskal harta ini apa? Dia merupakan nilai sisa buku harta berwujud pada akhir bulan terjadinya peristiwa yang mendasari penggantian asuransi. Jadi, PMK ini mengatur bagaimana apabila aktiva atau harta, misalnya rusak atau terbakar, dan harta itu diasuransikan. Atau apabila harta tersebut rusak atau hilang, bagaimana pencatatan jurnalnya,” jelas Saut kepada Pajak.comdi Kantor TaxPrime, Gedung TTH, Jakarta, (29/9).

Kendati demikian, Saut mengatakan, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan atas keputusan pemilihan penjurnalan tersebut. Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa depan, maka jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dibebankan sebagai kerugian dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.

Baca Juga  Brasil Terus Merayu Negara G20 Setujui Pajak Kekayaan Miliarder

“Untuk memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan. Jadi, ini sifatnya permohonan, bukan pemberitahuan. Artinya, DJP bisa memberikan persetujuan atau menolak atas permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak dengan mempertimbangkan tahun pajak diterimanya penggantian asuransi. Apabila harta yang dimintakan penggantian asuransi telah dijual atau dialihkan sebelum diterimanya penggantian asuransi, jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang dibebankan sebagai kerugian, maka akan diperhitungkan terlebih dahulu dengan harga jual atas pengalihan harta tersebut,” ungkap Saut.

Ia memerinci, permohonan tersebut dilakukan secara tertulis oleh Wajib Pajak, perusahaan kantor pusat, atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pusat. Permohonan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kemudian, prosedur permohonan persetujuan penundaan pembebanan kerugian atas pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi untuk dibukukan sebagai beban masa kemudian, meliputi lampiran identitas Wajib Pajak, nama harta berwujud, nilai sisa buku harta, nilai penggantian asuransi, tanggal terjadinya kerugian, tanggal diterimanya penggantian asuransi.

“Jangan lupa permohonan juga dilampiri dengan polis asuransi, berita acara peristiwa yang mendasari klaim asuransi, surat keterangan penggantian asuransi atau bukti pembayaran dari perusahaan asuransi. Permohonan harus diajukan paling lama satu bulan setelah akhir tahun pajak diterimanya penggantian asuransi. Wajib Pajak sebenarnya bisa melihat format surat permohonan pada lampiran PMK Nomor 72 Tahun 2023. Ini yang saya katakan, bahwa PMK ini aturan yang ditunggu-tunggu karena sangat rinci dan mengakomodir kebutuhan bisnis, sehingga dampaknya memberikan kepastian hukum,” ujar Saut.

Baca Juga  Komwasjak: “Core Tax” Bikin Potensi Sengketa Pajak Menurun

Ia menyebutkan, studi kasus dalam Lampiran T PMK Nomor 72 Tahun 2023. Misalnya, PT A mempunyai gedung dengan nilai sisa buku fiskal senilai Rp 10 miliar terbakar pada 9 September 2023. Setelah diajukan klaim asuransi, Wajib Pajak menerima senilai Rp 4 miliar pada 10 Desember 2023.

“Maka, dalam kasus ini, pada tahun pajak 2023 PT A membukukan nilai sisa buku gedung Rp 10 miliar sebagai kerugian, sedangkan penggantian senilai Rp 4 miliar dari asuransi dibukukan sebagai penghasilan. Apabila dalam satu kasus hasil penggantian asuransi yang akan diterima baru bisa diketahui jumlahnya dengan pasti di masa kemudian, nilai sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru bisa dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi,” jelas Saut.

Contoh perhitungan pengakuan kerugian lain, lanjutnya, PT B memiliki aset berupa truk dengan nilai sisa buku fiskal sebesar Rp 1 miliar. Kemudian, truk tersebut mengalami kecelakaan pada tanggal 7 Juli 2023. Setelah mengajukan klaim asuransi, klaim dibayarkan sebesar Rp 600 juta pada 1 Desember 2023. Pada 2 Desember 2023, sisa truk tersebut masih dapat dijual dan diperoleh Rp 50 juta.

“Dengan demikian, pada tahun pajak 2023 PT B membukukan nilai sisa buku harta Rp 1 miliar sebagai kerugian dikurangi Rp 50 juta hasil penjualan truk dan penggantian asuransi Rp 600 juta sebagai penghasilan,” ujarnya.

Saut juga menyebutkan contoh lainnya yang terdapat dalam lampiran di PMK Nomor 72 Tahun 2023. PT C mempunyai gedung dengan nilai sisa buku fiskal sebesar Rp 10 miliar dan terbakar pada tanggal 9 September 2023. Setelah mengajukan klaim asuransi atas gedung tersebut, ternyata diperlukan investigasi oleh pihak asuransi.

Baca Juga  KP2KP dan BAZNAS Edukasi Syarat Zakat sebagai Pengurang Pajak

“Hasilnya, pada 1 Juni 2024 klaim asuransi disetujui dan dibayarkan sebesar Rp 7 miliar. PT C mengajukan permohonan persetujuan untuk penundaan pembebanan kerugian atas gedung yang terbakar tersebut pada tahun pajak penggantian asuransi diterima. Maka, setelah mendapatkan persetujuan, pada tahun pajak berikutnya (2024), PT C ini membukukan nilai sisa buku harta Rp 10 miliar sebagai kerugian dan penggantian asuransi Rp 7 miliar sebagai penghasilan,” jelasnya.

Saut meyakini, PMK Nomor 72 Tahun 2023 semakin memberikan kepastian hukum yang konkret kepada Wajib Pajak maupun DJP. Sebab berdasarkan pengalamannya, tak sedikit klaim asuransi ini menimbulkan temuan oleh Pemeriksa Pajak.

“Karena asuransi ini bersifat proyeksi, ada penelitian, dan investigasi. Makanya, diajukan pada tahun pajak 2023 namun baru dapat kabar berapa sih yang akan diganti pada tahun 2024. Ada beda waktu. Karena ada perbedaan itu, maka Wajib Pajak perlu mengajukan permohonan,” pungkasnya.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *