Kooperatif dengan Petugas Pajak Kunci Hadapi SP2DK
Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku banyak menerima keluhan Wajib Pajak yang menerima Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan (SP2DK) atau “surat cinta” dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Wajib Pajak mengeluhkan ketakutannya ketika menerima SP2DK tersebut. Namun, menurut Tax Compliance and Audit Assistant Manager TaxPrime Alvian Yanuar Yasin, Wajib Pajak sejatinya tidak perlu takut ketika menerima SP2DK. Kooperatif dan komunikatif dengan petugas pajak atau Account Representative (AR) pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) adalah kunci saat hadapi SP2DK.
Alvian menjelaskan, berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-39/PJ/2015, SP2DK adalah surat yang diterbitkan oleh KPP untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak apabila ditemukan dugaan bahwa Wajib Pajak tersebut tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam SE Nomor 39 Tahun 2015, dijelaskan pula pengertian data dan/atau keterangan, meliputi data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki dirjen pajak dari sistem informasi DJP, Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa, alat keterangan; serta hasil kunjungan.
“SP2DK dikirimkan karena berkaitan dengan sistem perpajakan kita (self-assessment). DJP melalui KPP akan menerbitkan SP2DK apabila terdapat indikasi ketidaksesuaian antara data, informasi, atau informasi perpajakan dengan SPT tahunan dan SPT masa yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak. SP2DK dapat diterbitkan sebagai bagian dari tahun pajak atau dalam waktu lima tahun dari tahun pajak setelah kewajiban pajak atau akhir masa pajak. Jadi, pada prinsipnya, SP2DK bukan Surat Teguran, apalagi Surat Pemeriksaan untuk memberikan sanksi atau denda. Kalaupun terdapat kesalahan, kekurangan (pelaporan data dan/informasi), atau pembayaran pajak, Wajib Pajak bisa diberikan penyuluhan serta solusi bagaimana aturannya,” jelas Alvian kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, (27/7).
Ia menyebutkan, DJP dapat menerbitkan SP2DK dalam rangka menguji kepatuhan material SPT tahunan/masa selama jangka waktu lima tahun, ditetapkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Artinya, bila SPT tahunan/masa selama lima tahun ke belakang tidak dilaporkan dengan benar, maka terdapat risiko bagi Wajib Pajak untuk dikirimkan SP2DK maupun diperiksa.
Di sisi lain, perlu juga dipahami bahwa tidak melulu setelah melaporkan SPT tahunan, Wajib Pajak akan langsung mendapat SP2DK. Namun, apabila mendapat SP2DK, Alvian mengimbau agar Wajib Pajak tidak bersikap skeptis atau berpikiran negatif terhadap pertanyaan yang diajukan dalam SP2DK.
Berdasarkan pengalamannya, KPP meminta penjelasan berdasarkan olah data dan/informasi yang dihimpun dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) maupun dari yurisdiksi negara lain melalui skema automatic exchange of information (AEoI). Adapun data yang diterima DJP dari ILAP maupun yurisdiksi negara lain, antara lain laporan perbankan, data transaksi, data identitas, data perizinan, dan data-data lain yang sifatnya nontransaksional.
“Sepanjang saya menjadi konsultan pajak, kunci utamanya komunikasi yang baik dengan AR. Jawab saja setiap pertanyaan dalam SP2DK dengan jelas dan tepat. Terpenting, tunjukkan sikap bahwa Wajib Pajak kooperatif dengan menghadiri pertemuan tatap muka langsung dengan AR. Apabila Wajib Pajak merasa jangka waktu untuk memberikan tanggapan atas SP2DK selama 14 hari kurang, Wajib Pajak dapat menyampaikan ke AR dengan komunikasi yang baik maupun surat formal ke KPP untuk mengajukan perpanjangan.
Merujuk SE Nomor 39 Tahun 2015, SP2DK harus ditanggapi 14 hari setelah SP2DK diterima. Jika membutuhkan waktu lebih untuk menjawab SP2DK tersebut, Wajib Pajak dapat membuat Surat Permohonan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian Tanggapan SP2DK.
Sesuai dengan pengalaman saya di TaxPrime, setelah kami memberikan penjelasan yang utuh berdasarkan pertanyaan dari SP2DK, AR pun menerima penjelasan kami dan tidak melanjutkan ke proses pemeriksaan. Karena petugas pajak hanya membutuhkan konfirmasi atas data yang Wajib Pajak sampaikan dengan informasi yang dimiliki DJP,” ungkap Alvian.
“Tentu, ada risiko jika Wajib Pajak tidak mengindahkan SP2DK, AR dapat mengambil salah satu dari tiga keputusan atau tindakan. Tiga keputusan itu bisa saja memberikan perpanjangan jangka waktu kepada Wajib Pajak untuk menanggapi SP2DK berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, bisa saja AR melakukan kunjungan kepada Wajib Pajak. Bahkan, kalau Wajib Pajak tetap tidak menganggapinya, AR bisa mengusulkan untuk dilakukan verifikasi, pemeriksaan, atau pemeriksaan bukti permulaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Apabila sudah masuk tahap pemeriksaan atau bukti permulaan, Wajib Pajak bukan lagi berhak melakukan konfirmasi data, melainkan membuktikan temuan DJP dengan dokumen, informasi, dan data yang lebih rinci,” jelas Alvian.
Menurutnya, untuk memitigasi risiko diterimanya SP2DK, Wajib Pajak harus melaporkan SPT tahunan/masa sesuai dengan aturan yang berlaku. Mengacu PMK Nomor 243/PMK.03/ 2014 tentang Surat Pemberitahuan, setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Comments