in ,

International Tax Conference 2023 Dorong Keadilan Perpajakan Global

International Tax Conference 2023
FOTO: KAPj IAI

International Tax Conference 2023 Dorong Keadilan Perpajakan Global

Pajak.com, Bali – International Tax Conference (ITC) 2023 bertajuk Trends of the Future: International Tax, Transfer Pricing, and Digital Tax Transformation telah digelar di Legian, Bali. Ketua Dewan Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Ardan Adiperdana menuturkan, tema dalam International Tax Conference (ITC) 2023 ini tepat dipilih untuk dorong keadilan perpajakan global.

ITC 2023 merupakan penyelenggaraan ke-10 kerja sama oleh Kompartemen Akuntan Perpajakan (KAPj) IAI dan Moody’s Analytics, yang didukung oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Acara yang dihadiri oleh 300 peserta dengan berbagai latar belakang ini diisi dengan seminar perpajakan internasional.

Seperti diketahui, kerangka kerja inklusif OECD/G20 tentang Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah mencapai konsensus, yaitu mengenai pengenaan pajak minimum global yang tertera dalam Proposal Pilar II pada Oktober 2021 silam. Pilar II memperkenalkan tarif pajak efektif atau effective tax rate (ETR) minimum global. Kelompok perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas 750 juta Euro bakal dikenakan ETR minimum sebesar 15 persen. Tarif ini dikenakan atas pendapatan yang diperoleh di yurisdiksi dengan pajak rendah.

OECD/G20 telah merekomendasikan agar peraturan Pilar II berlaku efektif pada tahun 2024, sementara pengecualian peraturan Undertaxed Profits Rule (UTPR) direkomendasikan untuk berlaku pada tahun 2025. Untuk menerapkan Pilar II, setiap negara akan memberlakukan peraturan perundang-undangan lokal.

Menurut Ardan, gagasan OECD/G20 ini timbul karena pergeseran besar yang sedang terjadi dalam perpajakan internasional. Kemunculan big data didorong oleh pertukaran otomatis informasi atau Automatic Exchange of Information (AEoI) dan industri e-commerce yang berkembang pesat, membuat otoritas harus menjalani transformasi digital di bidang perpajakan.

Baca Juga  Waspadai Modus Penipuan Mengatasnamakan Dirjen Pajak Ini

“Transformasi ini diharapkan menghasilkan solusi untuk meningkatkan pendapatan pajak, mengurangi biaya kepatuhan dan administrasi, mendorong transparansi, dan memungkinkan penekanan pada kegiatan bernilai tinggi. Pengenalan perhitungan pajak minimum melalui Pilar II harus mematuhi prinsip arm’s length. Penyesuaian penciptaan nilai dan pertimbangan lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG (Environmental, Social, and Governance) juga akan memengaruhi penentuan arm’s length. Akuntan, sebagai pemain penting, memiliki peran instrumental dalam menavigasi lanskap pajak internasional yang terus berubah dan transformasi pajak digital,” ungkap Ardan dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (23/10).

Selain itu, sifat dinamis transfer pricing yang secara historis berlandaskan konsep nexus atau kehadiran akan didorong untuk dikenakan pajak. Pendekatan tradisional ini mengalami gelombang transformasi karena inisiatif Pilar I yang diinisiasi OECD berfokus pada pembentukan sistem perpajakan internasional yang lebih adil.

“Maka, Pilar I mengalokasikan hak pajak ke yurisdiksi pasar, yang mengubah lanskap transfer pricing,” tandas Ardan.

Moody’s Analytics Maqbool Lalljee menilai, peraturan perpajakan bagi perusahaan internasional sudah usang karena disusun sekitar satu abad yang lalu. Sementara kini telah terjadi perkembangan digital yang membuat model bisnis perusahaan multinasional menjadi berubah—tidak ada lagi keharusan memiliki kehadiran fisik di wilayah tertentu. Oleh karena itu, pentingnya reformasi perpajakan internasional untuk menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak maupun yurisdiksi.

Sejak awal tahun 1990-an, semakin mudah bagi perusahaan besar/perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungannya ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau tanpa pajak, terutama melalui peningkatan penggunaan dan eksploitasi aset tak berwujud. Bahkan, OECD memperkirakan kerugian akibat praktik perpajakan yang tidak adil itu berkisar antara 240 miliar dollar AS hingga lebih dari 480 miliar dollar AS setiap tahun.

Baca Juga  Bea Cukai Jelaskan Aturan Impor Barang Kiriman dari Luar Negeri

“Proyek BEPS OECD/G20 yang dimulai pada tahun 2013 telah menghasilkan pengembangan peraturan baru berdasarkan Pilar I dan Pilar II untuk mereformasi dasar peraturan perpajakan perusahaan internasional dan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil di mana pun mereka beroperasi,” ujar Maqbool.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Prof Suahazil Nazara yang diwakili oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Iwan Djuniardi juga menyadari bahwa saat ini tengah terjadi pergeseran paradigma pada ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi telah bergeser dari barat ke timur. Kondisi tersebut dapat terlihat dari naiknya pertumbuhan perusahaan berstatus Fortune 500 di negara-negara Asia Pasifik.

“Aspek lain yang harus diantisipasi secara serius adalah pesatnya otomasi secara global yang mengubah model bisnis secara drastis. Pada 2045, diperkirakan lebih dari 50 persen industri global akan mengimplementasikan otomasi dalam proses bisnisnya. Otomasi ini diperkuat dengan meningkatnya transaksi digital yang menggantikan transaksi tunai. Namun, pertumbuhan tersebut sekaligus meningkatkan ancaman siber yang harus diantisipasi oleh para pelaku industri dan regulator di seluruh dunia,” ungkap Iwan.

Untuk itu, berbagai kondisi telah mendorong otoritas pajak di seluruh dunia menyesuaikan kebijakan serta memodernisasikan administrasi perpajakannya.

“Pemerintah Indonesia melakukan transformasi untuk menjadikan sistem perpajakan lebih sederhana dan efisien. Implementasi core tax system berupa PSIAP (Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan) yang dijalankan DJP dapat menyederhanakan proses administrasi perpajakan, lebih efisien bagi Wajib Pajak. Ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan meningkatkan rasa keadilan bagi Wajib Pajak, sehingga yang mendapatkan manfaat ekonomi lebih tinggi diharuskan memberikan kontribusi melalui pajak lebih banyak,” ujar Iwan.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaktim Apresiasi Wajib Pajak, Realisasi Penerimaan Capai Rp 6,56 T

Di akhir acara, Ketua KAPj IAI Prof John Hutagaol mengeksplorasi dua pilar OECD/G20 dan membuka diskusi mengenai ETR. Ia menekankan bahwa lanskap pajak internasional diproyeksi berubah dengan cepat karena Pilar II. Secara simultan, transformasi digital dan konsep transfer pricing akan terus dimutakhirkan.

“Apalag DJP saat ini sedang dalam proses meluncurkan PSIAP yang merupakan reformasi inti sistem administrasi perpajakan. Sistem ini merupakan bagian dari Reformasi Perpajakan Jilid III pada bidang informasi dan teknologi.

Sebagai informasi, IAI adalah organisasi profesi akuntan yang menaungi seluruh akuntan di Indonesia yang tersebar di 34 provinsi. IAI merupakan anggota dan pendiri International Federation of Accountants (IFAC) dan ASEAN Federation of Accountants (AFA), serta associate member of Chartered Accountants Worldwide (CAW).

Untuk menjaga integritas dan profesionalisme, IAI menerbitkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Sebagai standard setter, IAI juga menyusun dan menetapkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *