in ,

Guru Besar Unpad: Pajak Karbon Wujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Guru Besar Unpad: Pajak Karbon
FOTO: IST

Guru Besar Unpad: Pajak Karbon Wujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Pajak.com, Bandung – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (FEB Unpad) Memed Sueb berpandangan, pajak karbon sebagai alternatif untuk wujudkan pembangunan berkelanjutan. Hal itu ditegaskannya saat membacakan Orasi Ilmiah Berkenaan dengan Penerimaan Jabatan Guru Besar, di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad (Kampus Iwa Koesoemasoemantri), Bandung,

“Pengenaan pajak terhadap karbon merupakan sesuatu yang dilematis. Di satu sisi pajak ini dapat meningkatkan pendapatan negara, tetapi di sisi yang lain seolah-olah ini merupakan bentuk penerimaan terhadap pencemaran udara yang terus meningkat. Meski hasil riset diperoleh data bahwa potensi penerimaan pajak karbon dari sektor energi pada 2021-2025 adalah sekitar Rp 23 triliun, namun hal ini bukanlah hal yang menggembirakan. Ini menandakan bahwa kualitas lingkungan yang terus menurun,” ungkap Memed, dikutip Pajak.com, (25/1).

Untuk itu, pajak karbon semestinya difungsikan sebagai sebuah hukuman yang diharapkan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca. Selain itu, ada sejumlah fungsi dari pajak karbon, diantaranya penerimaan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, dan dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.

“Dilihat dari pengalaman sejumlah negara, penerapan pajak karbon ini dinilai berhasil menurunkan emisi karbon, seperti Finlandia dan Polandia. Negara-negara tersebut ternyata berhasil menurunkan emisi karbonnya walaupun tentunya penerimaan pajak dari karbonnya akan menurun,” ungkap Memed.

Baca Juga  Airlangga: Pajak Karbon Berlaku 2025

Ia meyakini bawah mengurangi jejak karbon tidak dapat dilakukan  secara individu, melainkan setiap masyarakat diharapkan bekerja sama dalam upaya mengurangi emisi tersebut. Ada beberapa cara untuk mengatasi terjadi emisi karbon yaitu menanam pohon, menghindari terjadi kebakaran hutan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan pengenaan pajak.

“Maka, perlu disadari juga bahwa pentingnya bijak dalam memperlakukan alam karena generasi selanjutnya perlu juga memanfaatkan alam ini dengan baik. Eksploitasi alam demi kepentingan ekonomi telah merusak tatanan alam semesta. Nilai ekonomis alam semesta menjadi target dan prioritas utama daripada kesadaran diri akan kebergantungan hidup manusia pada alam semesta,” pungkas Memed.

Seperti diketahui, pengenaan pajak karbon yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Regulasi tersebut menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp 30 per kg CO2 ekuivalen atau lebih rendah dari yang diusulkan sebesar Rp 75 per kg CO2 ekuivalen.

Pada kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pajak karbon baru akan berlaku pada tahun 2025.

Baca Juga  Menakar Kompleksitas dan Peluang Pengenaan Pajak Karbon

“Pelaksanaan perdagangan karbon yang juga akan dilakukan melalui bursa karbon mulai September 2023 ini harus ada mekanisme insentif dan disinsentif. Karena pajak karbon diperlukan juga untuk mengantisipasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism), yang akan diberlakukan di Eropa di tahun 2025. Eropa minta (penetapan bursa karbon) di tahun 2025,” jelas Airlangga dalam konferensi pers, di Shangri La Jakarta.

Kendati demikian, para pengusaha yang sudah punya karbon kredit, dapat diperdagangkan melalui Bursa Karbon Indonesia. Selanjutnya, pemerintah menetapkan pajak karbon untuk melengkapi mekanisme tersebut.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *