in ,

Pajak Karbon di Indonesia: Pengertian dan Manfaat

Pajak Karbon di Indonesia: Pengertian dan Manfaat
FOTO: IST

Pajak Karbon di Indonesia: Pengertian dan Manfaat

Pajak.comJakarta – Kalau Anda tinggal di Jakarta, tentu merasakan tebalnya polusi udara belakangan ini. Kendaraan bermotor dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mengepung Jakarta disebut-sebut sebagai biang kerok polusi. Pemerintah telah melakukan sejumlah tindakan untuk penanganan jangka pendek, dari membuat hujan buatan, penyemprotan uap air (water mist), hingga memberi sanksi kepada industri penyumbang polutan yang tidak mematuhi peraturan berusaha. Untuk jangka panjang, pemerintah tengah menggodok pajak karbon. Di artikel ini, Pajak.com bakal mengulas lebih banyak tentang pengertian dan manfaat pajak karbon di Indonesia.

Apa itu pajak karbon?

Pajak karbon merupakan pungutan yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Sederhananya, pajak karbon itu semacam denda yang harus dibayar sama orang-orang yang memakai bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.

Pajak karbon sebenarnya bukan hal baru di dunia. Sejak tahun 1990-an, beberapa negara seperti Prancis, Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark sudah menerapkan pajak karbon.

Menurut data dari World Bank, sampai tahun 2020 ada 64 negara dan wilayah yang sudah mengadopsi pajak karbon atau sistem perdagangan emisi (emissions trading system/ETS). Pajak karbon dan ETS adalah dua cara yang berbeda untuk mengatur harga karbon.

Pajak karbon menetapkan harga per ton CO2 yang dilepaskan, sedangkan ETS menetapkan batas maksimum emisi yang boleh dilakukan oleh sektor-sektor tertentu. Jika batas tersebut terlampaui, maka pelaku usaha harus membeli hak emisi dari pelaku usaha lain yang emisinya lebih rendah. Dengan begitu, ada insentif untuk mengurangi emisi dan meningkatkan efisiensi energi.

Salah satu negara yang sudah menerapkan pajak karbon adalah Prancis. Sejak tahun 2014, Prancis mengenakan pajak karbon terhadap industri batu bara, bahan bakar minyak (BBM), dan gas alam. Pajak atas gas ditetapkan sebesar 1,41 euro/MWh mulai 1 April 2014, lalu naik dua kali lipat menjadi 2,93 euro/MWh pada 2015, dan 4,45 euro/MWh pada 2016.

Baca Juga  Data Pendukung yang Diperlukan saat Ajukan Keberatan Penetapan Tarif Kepabeanan

Pajak karbon di Prancis dikenakan pada sektor industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil. Penerimaan dari pajak karbon di Prancis digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang berkaitan dengan transisi energi, seperti pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, dan mobilitas hijau.

OECD mencatat, pajak karbon di Prancis berhasil mengurangi emisi CO2 sebesar 9 persen antara tahun 2014 dan 2018. Selain itu, pajak karbon juga memberikan dampak positif bagi perekonomian Prancis, seperti meningkatkan pertumbuhan PDB, lapangan kerja, dan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana dengan Indonesia? Pengertian pajak karbon di Indonesia merupakan pungutan yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pajak karbon di Indonesia pertama kali diperkenalkan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian target nasional dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Selanjutnya, pajak karbon juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 50/2022. Berdasarkan beleid tersebut, pajak karbon di Indonesia dikenakan pada penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang menghasilkan CO2 ketika dibakar.

Pajak karbon dilunasi dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, atau dipungut oleh pemungut pajak karbon. Nantinya, Wajib Pajak yang melakukan aktivitas penghasil emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/ atau pembayaran pajak karbon.

Wajib Pajak baik penghasil emisi dan pemotong pajak karbon juga harus menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya pajak karbon yang terutang.

Baca Juga  Ketentuan Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25

Nah, jika berdasarkan UU HPP, pajak karbon seharusnya diterapkan pada April 2022, tetapi kebijakan itu ditunda hingga Juli 2022. Namun, kebijakan ini kembali molor hingga di tahun 2025 mendatang.

Alasan penundaan ini adalah untuk memberikan waktu bagi pemerintah dalam menyusun aturan pelaksanaan UU HPP, seperti PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Selain itu, penundaan juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi sektor-sektor yang akan dikenakan pajak karbon untuk melakukan penyesuaian dan persiapan.

Pada tahap awal, penerapan pajak karbon akan dilakukan secara terbatas pada PLTU batu bara mulai tahun 2025 dengan skema cap and tax dan tarif minimal Rp 30 per kg CO2 ekuivalen. Artinya, jika entitas tidak dapat membeli izin emisi atau sertifikat penurunan emisi atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya, maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon.

Pajak karbon untuk sektor lainnya akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan roadmap dan memperhatikan perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan skema perdagangan karbon (cap and trade) dalam upaya menurunkan emisi karbon. Kabar baiknya, kebijakan ini akan dilaksanakan mulai 26 September 2023.

Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap (batasan) diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE). Namun, jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax.

Apa saja manfaat pajak karbon?

Pemerintah berharap bahwa penerapan pajak karbon dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan perekonomian Indonesia. Dari segi lingkungan, pajak karbon dapat membantu Indonesia mencapai target nasional dalam RAN-GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030.

Baca Juga  Airlangga Tawarkan Peluang KEK ke Investor Singapura

Selain itu, pajak karbon diyakini dapat mendorong penggunaan energi yang lebih bersih dan efisien, serta mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Pajak karbon juga dapat membantu Indonesia mencapai target net zero emission pada tahun 2060, yang merupakan komitmen Indonesia dalam upaya global untuk menanggulangi perubahan iklim. Dengan mengurangi emisi karbon, Indonesia dapat melindungi keanekaragaman hayati, menjaga kesehatan masyarakat, dan mencegah bencana alam yang disebabkan oleh pemanasan global.

Dari segi perekonomian, pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan negara yang dapat digunakan untuk mendanai program-program yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti pengembangan energi baru terbarukan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan peningkatan ketahanan pangan.

Pajak karbon juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang berkelanjutan, dengan meningkatkan daya saing dan inovasi di sektor energi. Pajak karbon juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim.

Yang tak kalah penting, implementasi pajak karbon dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam pasar karbon global, baik melalui mekanisme perdagangan karbon, maupun mekanisme kerja sama bilateral atau multilateral dengan negara-negara lain.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *