in ,

Celios: Ekonomi Hijau Berpotensi Hasilkan Penerimaan Pajak Rp 80 T

Celios: Ekonomi Hijau Berpotensi Hasilkan Penerimaan Pajak
FOTO: IST

Celios: Ekonomi Hijau Berpotensi Hasilkan Penerimaan Pajak Rp 80 T

Pajak.com, Jakarta – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan hasil riset yang menyatakan bahwa ekonomi hijau berpotensi hasilkan penerimaan pajak sekitar Rp 80 triliun selama 10 tahun.

“Penyelenggaraan ekonomi hijau akan menciptakan sebanyak 19,4 juta pekerja baru, terutama di sektor yang berkaitan dengan transisi energi terbarukan. Pendapatan masyarakat karena menerapkan ekonomi hijau bisa meningkat hingga sebesar Rp 902 triliun. Ekonomi hijau juga diasumsikan mampu memberikan pajak bersih Rp 80 triliun. Apa yang dimaksud pajak bersih? pajak dikurangi subsidi-subsidi,” jelas Bhima dalam Launching Policy Brief Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik, dikutip Pajak.com, (21/12).

Kendati demikian, penerapan ekonomi hijau akan mengubah struktur perekonomian nasional dari sisi lapangan usaha yang telah bergantung pada sektor berbasis ekstraktif. Untuk itu, proses transisi menuju ekonomi hijau merupakan kebijakan yang perlu segera dilakukan pemerintah.

Baca Juga  Peran Pajak Dalam Menyukseskan SDGs 8

“Ini bisa menjawab bahwa untuk hidup layak di DKI Jakarta itu membutuhkan hampir Rp 15 juta, sedangkan UMP (upah minimum provinsi) hanya Rp 5 juta, jawabannya adalah membuka lapangan pekerjaan hijau. Pekerja di sektor konstruksi, perdagangan, industri pengolahan, serta pertanian bisa mendapat manfaat paling besar dari ekonomi hijau,” ujar Bhima.

Dengan demikian, Celios mendorong pemerintah untuk meningkatkan komponen konsumsi rumah tangga dalam menetapkan kebijakan ekonomi hijau, sehingga dampaknya mampu mendorong pendapatan masyarakat secara signifikan.

“Misalnya, secara sektoral mulai dari pengadaan listrik gas, industri pengolahan juga akan terdorong, sehingga pendapatan jadi lebih tinggi. Selama ini pemerintah masih bergantung pada sektor ekstraktif, yaitu ekspor komoditas pertambangan dalam roda perekonomian nasional. Padahal sektor ekstraktif rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan gejolak perekonomian global. Saat terjadi gangguan pada dua faktor itu, maka ekonomi nasional mengalami turbulensi. Kita harus move on dari ekonomi yang naik dan turunnya tidak bisa kita perkirakan. Kita butuh ekonomi yang lebih berkelanjutan dan positif untuk menutup gap antara kebutuhan hidup layak di masing-masing daerah dengan pendapatan masyarakat,” kata Bhima.

Baca Juga  Pajak Sepatu Impor Picu Somasi Ke Bea Cukai dan DHL

Ia menekankan, apabila ekonomi Indonesia masih mengandalkan ekonomi ekstraktif, tambahan penerimaan pajak ke negara hanya berkisar Rp 34,8 triliun dalam 10 tahun ke depan.

“Transisi dari ekstraktif ke ekonomi hijau akan menciptakan tambahan pada rasio pajak dibandingkan pendapatan yang diterima oleh ekonomi ekstraktif. Dengan begitu, ruang fiskal diperkirakan akan semakin lebar dan kemampuan membayar utang pemerintah maupun belanja program perlindungan sosial akan semakin membaik,” ujar Bhima.

Secara simultan, Celios menyarankan agar pemerintah perlu segera menerapkan pajak karbon untuk mengurangi emisi yang ditimbulkan dari aktivitas ekonomi ekstraktif dan bahan bakar fosil.

“Pemerintah bisa mengalihkan insentif fiskal di sektor bahan bakar fosil dan tambang ke sektor industri berkelanjutan, menerapkan pajak karbon untuk produksi batu bara dan pajak windfall profit, serta mengelola dana abadi yang berasal dari pendapatan SDA (sumber daya alam),” pungkas Bhima.

Baca Juga  Bea Cukai Anjurkan Tiga Hal Krusial Agar Importir Tak Kena Denda

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *