in ,

Menakar Kompleksitas dan Peluang Pengenaan Pajak Karbon

Menakar Kompleksitas dan Peluang Pengenaan Pajak Karbon
FOTO: Dok. Provisio Consulting /Desain: Muhammad Ikhsan Jamaludin

Menakar Kompleksitas dan Peluang Pengenaan Pajak Karbon

Pajak.com, Jakarta – Meskipun Bursa Karbon Indonesia telah diluncurkan, pemerintah agaknya masih berhati-hati untuk seirama memberlakukan pajak karbon. Senior Manager Provisio Consulting Riza Ardiyanto akan menakar  kompleksitas pemungutan pajak karbon dengan mengacu regulasi yang telah diterbitkan pemerintah. Secara simultan, ia turut menguraikan beragam peluang dari pengenaan pajak karbon bagi perusahaan.

Tarif pajak karbon dan mekanisme pelaporan 

Riza menuturkan, pengenaan pajak karbon yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kemudian, ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Wajib Pajak diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Regulasi tersebut menetapkan tarif pajak karbon sebesar Rp 30 per kg CO2 ekuivalen atau lebih rendah dari yang diusulkan sebesar Rp 75 per kg CO2 ekuivalen.

“Para pelaku industri yang masih memproduksi emisi karbon dalam jumlah tinggi tentunya akan mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan dengan membayar pajak karbon atau membeli kredit karbon melalui pasar karbon (Bursa Karbon Indonesia). Maka, diharapkan tarif pajak karbon dikaji setiap tahunnya mengikuti data emisi karbon yang dihasilkan oleh para pelaku industri,” ujarnya kepada Pajak.com, di Kantor Provisio Consulting, Kawasan SCBD, Sudirman, Jakarta, (2/10).

Terkait mekanisme pelaksanaan pajak karbon, Riza menyebutkan, telah termaktub dalam Pasal 69 ayat (2) PP Nomor 50 Tahun 2022. Dalam beleid ini pajak karbon dilunasi oleh Wajib Pajak dengan cara dibayar sendiri atau dipungut oleh pemungut pajak karbon.

“Wajib Pajak orang pribadi atau badan melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon, maka mereka harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Selain itu, terdapat kewajiban Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa,” kata Riza.

Ketentuan penyampaian SPT Tahunan/Masa pun diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), SPT Tahunan/Masa wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, dan ditandatangani oleh Wajib Pajak. Penyampaian SPT Tahunan untuk pelaporan pajak karbon pun wajib disampaikan paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun kalender, sedangkan SPT Masa disampaikan paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak.

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Gugatan ke Pengadilan Pajak Lewat Sistem e-Tax Court

“Apabila Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Tahunan pajak karbon, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda senilai Rp 1 juta. Keterlambatan penyampaian SPT Masa pajak karbon dikenai sanksi denda senilai Rp 500 ribu,” jelas Riza.

Melihat mekanisme umum yang diatur dalam PP Nomor 50 Tahun 2022, Wajib Pajak badan/perusahaan tidak perlu khawatir mengenai mekanisme pemungutan pajak karbon yang relatif cenderung sama dengan pajak lainnya.

“Namun, pemerintah belum mengatur mengenai Wajib Pajak penghasil emisi karbon dengan kriteria tertentu yang dikecualikan dari pelaporan SPT Tahunan/Masa,” ungkap Riza.

Di sisi lain, ia berpandangan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu menyadari bahwa selama mekanisme pengenaan pajak karbon ditetapkan secara adil, memiliki kepastian hukum, dan efisien, maka tingkat kepatuhan administrasi perpajakan akan cenderung baik.

”Apabila mekanisme pengenaan pajak karbon belum matang, sebaiknya tidak diterapkan terlebih dulu. Sebab pengenaan pajak karbon digunakan untuk jangka waktu yang panjang. Terkait permasalahan polusi udara yang terjadi saat ini, pemerintah agaknya bisa membuat aturan untuk membatasi emisi karbon yang dikeluarkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan mengenakan sanksi yang tegas apabila melebihi batasan yang telah ditetapkan. Dengan begitu, urgensi pajak karbon tak hanya menjawab tantangan jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang,” ujar Riza.

Penundaan pemberlakuan pajak karbon

Riza berhipotesis, dengan dilakukan penundaan penerapan pajak karbon—yang diamanahkan berlaku 1 April 2023—menandakan bahwa Pemerintah Indonesia sangat berhati-hati mempersiapkan roadmap pengenaan pajak karbon. Pemerintah Indonesia harus mampu menciptakan aturan pelaksanaan yang jelas dan adil bagi seluruh pelaku ekonomi di Indonesia. Sebab hal fundamental yang dipertimbangkan pemerintah adalah implikasi dari penerapan pajak karbon. Jangan sampai berpengaruh terhadap barang-barang yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat, sehingga akan menurunkan daya beli masyarakat.

Baca Juga  Cara Mudah Lacak Barang Kiriman Melalui Bea Cukai

”Penundaan pemberlakuan pajak karbon menunjukkan pemerintah masih sangat memerhatikan kondisi perekonomian Indonesia yang masih dalam tahap pemulihan setelah COVID-19 dan imbas konflik geopolitik Rusia-Ukrania, yakni terganggunya kestabilan harga komoditas,” ujarnya.

Secara simultan, pengenaan pajak karbon juga memerlukan strategi yang senada dengan tujuan penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi terbarukan, dan keselarasan dengan peraturan lainnya.

Manfaat perdagangan dan pajak karbon

Sejatinya, Pemerintah Indonesia berupaya untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan mendorong peralihan ke bahan bakar yang tidak terlalu berpolusi, sehingga membatasi emisi karbon dioksida (CO2).

Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon telah dibuktikan dengan meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dan menuangkan Aksi Ketahanan Iklim pada dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Dalam UU dan dokumen tersebut, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Komitmen Indonesia pun diperkuat pada Conference of Parties (COP-26) di Glasgow dengan menetapkan target pencapaian net zero emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

”Dengan demikian, pemerintah harus mengedukasi masyarakat umum tentang bahaya dari emisi karbon yang dapat mengancam keberlangsungan hidup,” kata Riza.

Sebagai implementasi komitmen, pemerintah telah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia sebagai wadah yang disiapkan dalam menjalankan instrumen perdagangan karbon (kegiatan jual beli kredit karbon). Ia menjelaskan, pembeli kredit karbon adalah perusahaan penghasil emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Adapun kredit karbon merupakan representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Baca Juga  Beli Jaket Rp 6 Juta dari Luar Negeri, Cakra Khan Kena Denda Rp 21 Juta?

“Secara konseptual, perdagangan karbon akan menjadi sarana pembiayaan bagi industri yang menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk melakukan ekspansi. Selain itu, pasar karbon menjadi salah satu jalan untuk melakukan kerja sama dengan pemerintahan negara lain untuk mengurangi emisi karbon,” ungkap Riza.

Dengan demikian, ia optimistis menenai adanya peluang pengenaan pajak karbon, pasar karbon berpeluang untuk menarik investasi. Presiden Joko Widodo pun memproyeksi, potensi perdangangan karbon bisa mencapai sebesar Rp 3.000 triliun karena melihat potensi sumber daya alam (SDA) Indonesia.

”Perdagangan karbon dapat dilakukan dengan tepat dan berkelanjutan, akan turut berimplikasi pada peralihan industri Indonesia yang berlandaskan EBT. Seirama dengan itu, pengenaan pajak karbon merupakan salah satu upaya pemerintah agar industri memiliki opsi lain. Pajak karbon mendorong para pelaku industri untuk mencari cara yang paling efisien untuk mengurangi emisi karbon—apakah membeli kredit karbon atau membayar pajak karbon. Maka, pajak karbon turut berperan mengubah perilaku pelaku ekonomi atau industri untuk beralih menjalankan kegiatan ekonomi yang lebih rendah karbon dan ramah lingkungan,” ungkap Riza.

Untuk mencapai peluangan itu, pemerintah juga perlu memiliki basis data yang akurat mengenai pemetaan sektor ekonomi penghasil emisi karbon tinggi. Sebab tak bisa dilupakan, pengenaan pajak karbon memberikan potensi penerimaan negara yang tinggi.

”Apalagi, industri di Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Bahkan, sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pemerintah berpotensi memperoleh penerimaan pajak sebesar Rp 23,651 triliun di tahun 2025,” pungkas Riza.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *