in ,

AKP2I Gelar Webinar Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal

AKP2I Gelar Webinar Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal
FOTO: Aprilia Hariani

AKP2I Gelar Webinar Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal

Pajak.com, Jakarta – Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) gelar webinar bertajuk ‘Penyusunan Laporan Keuangan Fiskal dan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan dan terkait Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 serta PMK Nomor 72 Tahun 2023’. Ketua Umum AKP2I Suherman Saleh berpandangan, acara ini penting digelar menjelang pelaporan SPT Tahunan.

“Menurut saya, diadakan seminar ini sangat tepat dan cerdas untuk mengantisipasi tiga bulan (sebelum tahun 2023) berakhir. Kita persiapkan berapa hal, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang sudah disetor, PPh (Pajak Penghasilan), potput (potong-pungut). Maka, webinar ini dirancang agar pemahaman kita semua lebih baik, khususnya dalam pelaporan keuangan fiskal yang tepat waktu dan akurat. Karena DJP biasanya bilang, Februari masukkan (SPT Tahunan), jangan nunggu Maret (untuk Wajib Pajak orang pribadi) atau April (untuk Wajib Pajak badan). Karena saya menangani beberapa universitas dan rumah sakit, pada umumnya menghadapi beberapa masalah, seperti potput-nya enggak matching. Saya berharap narsum memberikan strategi dan teknik untuk mengatasi hal-hal seperti itu,” jelas Suherman dalam sambutannya, dikutip Pajak.com, (2/10).

Hal senada juga diungkapkan Ketua PD DKI Jakarta AKP21 Monang P Sihombing. Menurutnya, topik yang disampaikan sangat tepat untuk memitigasi laporan SPT tahunan narasumber sangat kompeten.

Eks Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jawa Tengah (Jateng) II Surakarta Jalidin Koderi memaparkan materi mengenai laporan keuangan. Ia menjelaskan, laporan komersial adalah setiap pertanggungjawaban yang diidentifikasikan sebagai laporan kegiatan apapun dalam periode tertentu.

“Kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban penyetoran pajak yang terutang pada periode tertentu akan dituangkan dalam SPT untuk periode masa pajak atau tahun pajak, sehingga terdapat di SPT Tahunan dan SPT Masa. Pengisian SPT yang dilakukan Wajib Pajak ini, haruslah benar, lengkap, dan jelas,” jelas Jalidin.

Baca Juga  Syarat dan Dokumen Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Badan

Founder Hive Five sekaligus Chief Executive Officer (CEO) PT Lima Sekawan Indonesia Sabar L. Tobing memaparkan beberapa materi, mulai dari penjelasan mengenai klasifikasi penghasilan dan pemetaan biaya.

“Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Penghasilan, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/diperoleh pada tahun pajak yang dapat dipakai untuk konsumsi/menambah kekayaan Wajib Pajak berasal dari dalam negeri atau luar negeri. Klasifikasi PPh, yaitu penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan tidak final, penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final, penghasilan yang tidak kena pajak (bukan objek pajak),” jelas Sabar.

Sementara penghasilan tidak kena pajak, meliputi dividen yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) badan dari WPDN badan lainnya, iuran yang diterima/diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. Kemudian, penghasilan dividen dari anak perusahaan diluar negeri.

“Lalu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima/diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif,” ungkap Sabar.

Kemudian, pembebasan pajak juga diberlakukan terhadap bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan sosial; beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu; dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus; dan penghasilan dari pengembangan keuangan Haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu—yang diterima oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat tertentu; serta penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun.

“Sedangkan, merujuk Pasal 9 (2) UU PPh, biaya yang dimaksud adalah untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Biaya boleh dibebankan sekaligus ketika secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk dalam positive list Pasal 6 (1) UU PPh, termasuk dalam negative list Pasal 9 (1) UU PPh. Sedangkan, tidak boleh dibebankan sekaligus ketika depresiasi (Pasal 11 UU PPh) serta amortisasi (Pasal 11 A UU PPh),” jelas Sabar.

Baca Juga  Tingkatkan Kepatuhan Wajib Pajak, DJP Bersinergi dengan TNI

Ia juga menjelaskan, mengenai rekonsiliasi fiskal, yakni penyesuaian ketentuan menurut pembukuan secara komersial atau akuntansi yang harus disesuaikan menurut ketentuan perpajakan. Jenis rekonsiliasi fiskal, meliputi rekonsiliasi beda tetap dan rekonsiliasi beda waktu.

“Rekonsiliasi fiskal, yakni adanya transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau biaya yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Sementara rekonsiliasi beda waktu merupakan adanya beda waktu antara sistem akuntansi dan sistem perpajakan,” ujar Sabar.

Menurutnya, koreksi fiskal sangat erat kaitannya dengan persiapan dan perhitungan pajak terutang selama satu tahun, terutama bagi Wajib Pajak badan.

“Teknik rekonsiliasi fiskal, yakni mengurangi beban pajak sehingga menambah penghasilan kena pajak atau menambah beban pajak, sehingga mengurangi penghasilan kena pajak,” tandas Sabar.

Ia menyebutkan, mengacu Pasal 6 (1) huruf h UU PPh, piutang tidak tertagih yang dapat dibebankan dalam perhitungan penghasilan kena pajak harus memenuhi persyaratan, antara lain telah dibebankan dalam laporan laba rugi komersial dan Wajib Pajak harus menyampaikan daftar piutang tidak tertagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.

“Untuk piutang tidak tertagih berikut perkara penagihan telah diajukan ke pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, ada kesepakatan tertulis mengenai penghapusan piutang/utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, dan telah diterbitkan dalam penerbitan umum atau khusus. Namun, opsional, hanya salah satu yang perlu dipenuhi. Persyaratan tersebut juga tidak berlaku untuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat tertagih kepada debitur kecil,” jelas Sabar.

Baca Juga  Pemprov Sumbar Luncurkan Gerakan Tabungan Pajak Kendaraan

Materi selanjutnya dipaparkan mengenai debt to equity ratio (DER), yaitu  perbandingan antara jumlah utang dan modal yang digunakan dalam perhitungan pajak yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham. Selanjutnya, Sabar pun menguraikan tentang ekualisasi SPT Tahunan Badan, di mana ini merupakan proses untuk mengecek kesesuaian antara satu jenis pajak dengan jenis pajak lainnya yang memiliki hubungan.

“Wajib Pajak dapat menemukan selisih antara data menurut SPT Tahunan Badan dan SPT Masa. Apakah seluruh omzet sudah dipungut PPN? Lalu, apakah seluruh transaksi yang menjadi objek PPh 23 telah dipotong pajak, dan seluruh biaya gaji, dan upah tenaga kerja sudah sama dengan jumlah biaya gaji pada laporan laba rugi?, itu juga harus diperhatikan,” ujar Sabar.

Materi berikutnya, ia membahas mengenai PMK Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura Dan/Atau Kenikmatan. Sabar juga mengenalkan tentang compliance risk management (CRM) berdarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak SE- 39/PJ/2021.

“Pentingnya Wajib Pajak memiliki TCF (tax control framework). Wajib Pajak memperoleh kesempatan untuk menunjukkan kepada otoritas pajak bahwa dirinya adalah lowrisk taxpayer. CRM adalah jaminan bahwa Wajib Pajak mampu mengidentifikasi dan memitigasi risiko-risiko pajak,” pungkas Sabar.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *