in ,

Airlangga: Pajak Karbon Berlaku 2025

Airlangga: Pajak Karbon Berlaku
FOTO: Kemenko

Airlangga: Pajak Karbon Berlaku 2025

Pajak.com, Jakarta – Menteri Koordinator  Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pajak karbon baru akan berlaku pada 2025. Meski begitu, bursa karbon tetap akan dimulai September 2023. Untuk mendukung pendirian bursa karbon, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon.

“Pelaksanaan perdagangan karbon yang juga akan dilakukan melalui bursa karbon mulai September 2023 ini harus ada mekanisme insentif dan disinsentif. Karena pajak karbon diperlukan juga untuk mengantisipasi CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism), yang akan diberlakukan di Eropa di tahun 2025. Eropa minta (penetapan bursa karbon) di tahun 2025,” jelas Airlangga dalam konferensi pers, di Shangri La Jakarta, dikutip Pajak.com (28/8).

Kendati demikian, para pengusaha yang sudah punya karbon kredit, dapat diperdagangkan melalui bursa karbon. Selanjutnya, pemerintah menetapkan pajak karbon untuk melengkapi mekanisme tersebut.

“Kami harapkan mereka (perusahaan) sudah punya carbon credit (bisa memperdagangkan) melalui bursa karbon dan kedua baru pajak karbon. Jadi, itu dua hal yang saling melengkapi. Kalau untuk (penyelenggara) bursa karbon nanti di Bursa Efek Indonesia (BEI),” ungkap Airlangga.

Baca Juga  Kurs Pajak 1 – 7 Mei 2024

Selain itu, Indonesia juga sudah mendapatkan dukungan pendanaan dari Just Energy Transition Mechanism (JETP) untuk program pensiun dini dan menukarnya dengan pembangkit yang lebih ramah lingkungan.

“Pemerintah sedang berupaya mengatasi polusi yang berasal dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), baik melalui pendekatan teknologi maupun pensiun dini (phasing down). Phasing down tentu yang sudah tua. Karena ada beda teknologi, ada yang supercritical, ada PLTU-PLTU yang sudah beroperasi puluhan tahun,” kata Airlangga.

Sebagai informasi, pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif pada lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pengenaan pajak karbon diharapkan dapat mendukung Indonesia mewujudkan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060.

Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pajak karbon akan dikenakan dengan hati-hati dan bertahap untuk menciptakan stabilitas pasar dengan memerhatikan dampak negatif dari setiap instrumen. Dengan demikian, pemerintah masih mengkaji serta mempertimbangkan waktu pemberlakuan pajak karbon.

Baca Juga  Sumbang Devisa Rp 156,9 T per Tahun, Segini Gaji TKI di Luar Negeri

“Pajak karbon adalah bagian dari rencana panjang jangka menengah yang disusun untuk terus membawa ekonomi Indonesia ke arah ekonomi rendah karbon emisi. Pajak karbon sudah dituangkan dalam UU HPP dan kita telah mengamanatkan tarif pajak karbon minimal Rp 30 per kg CO2 ekuivalen. Penerapan akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positif diinginkan, tapi dampak negatif diperhatikan. Dengan begitu, perekonomian Indonesia mampu terus berlanjut dari sisi pertumbuhan, stabilitas, namun juga mampu melakukan transformasi,” jelas Sri Mulyani dalam acara Green Economy Forum 2023.

Meski begitu, pemerintah akan mengakselerasi dan mengembangkan perdagangan karbon untuk mengenalkan skema transisi energi kepada pasar. Mekanisme ini bakal dikelola secara transparan dan kredibel, sehingga pelaku ekonomi semakin tertarik berpartisipasi.

“Skema harga dalam perdagangan maupun pajak karbon dapat mengembangkan mekanisme pembiayaan inovatif. ETS (Emission trading scheme merupakan mandatori pemerintah dalam sisi perdagangan karbon. Hampir 100 PLTU berbasis batu bara yang akan ikut dalam ETS. Pada 2023, ada 99 PLTU coal yang berpotensi ikut ETS, di mana total kapasitas PLTU adalah 33.565 megawatt. Ini artinya, 86 persen lebih dari total PLTU batu bara di Indonesia akan mengikuti ETS. Kondisi ini membawa kemajuan, karena para PLTU paham bahwa mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan ekonomi dan masyarakat, tapi juga mereka menghasilkan CO2 yang memperburuk iklim dunia,” jelas Sri Mulyani.

Baca Juga  Komwasjak: “Core Tax” Bikin Potensi Sengketa Pajak Menurun

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

194 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *