Pemerintah Ungkap Kerja Sama Pengembangan LFP dengan Tiongkok
Pajak.com, Jakarta – Polemik mengenai penggunaan baterai LFP (lithium ferro phosphate) dan baterai nikel untuk kendaraan listrik yang berdampak pada prospek hilirisasi nikel telah mencuat di tengah masyarakat. Menanggapi hal tersebut, pemerintah ungkap rencana kerja sama baru dengan Tiongkok dalam pengembangan baterai berbasis besi atau LFP.
Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah mendukung kerja sama pengembangan baterai LFP bersama dengan pabrikan Tiongkok sebagai salah satu upaya untuk memperkuat industri baterai di Indonesia.
“Kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan Tiongkok,” kata Luhut dalam keterangannya melalui video, dikutip Pajak.com, Selasa (30/01).
Kerja sama ini diumumkan oleh Luhut sebagai tanggapan atas pernyataan yang disampaikan oleh mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai tren penurunan harga nikel dunia dan migrasi pabrikan mobil listrik ke baterai LFP. Mulanya, isu tentang nikel dan LFP diangkat oleh calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, dalam acara debat keempat cawapres pada Minggu (21/1).
Namun, meskipun debat telah berakhir, isu itu terus hangat diperbincangkan publik hingga menjadi bola liar. Luhut pun menyatakan, co-Captain Timnas AMIN ini telah salah memahami strategi hilirisasi nikel yang sedang dikerjakan pemerintah.
“Setelah menonton acara debat keempat Pilpres 2024 yang digelar minggu lalu, saya sangat menyayangkan adanya banyak disinformasi yang disampaikan pada momen tersebut. Karena itu, saya merasa perlu menyampaikan beberapa catatan terkait program hilirisasi yang menjadi ranah pekerjaan di kantor kami selama ini, serta erat kaitannya dengan tema debat saat itu,” jelasnya.
Ia menuturkan, saat ini fokus baterai yang dikembangkan Indonesia adalah nickel mangan cobalt (NMC) yang sudah bisa didaur ulang atau masuk ke tahap recyle. Sementara itu, baterai LFP belum mampu didaur ulang.
“Publik perlu tahu bahwa lithium baterai berbasis nikel itu bisa didaur ulang, sedangkan baterai LFP sejauh ini masih belum bisa didaur ulang,” tegasnya.
Namun, ia tak menyangkal bahwa penggunaan LFP mulai dilirik oleh beberapa pelaku usaha, seiring dengan semakin mutakhirnya penelitian terhadap komoditas tersebut.
“Memang ada yang mulai LFP, karena penelitian mengenai LFP-nya sudah makin berkembang. Tidak tertutup kemungkinan nikel ini makin kurang penggunanya. Makanya, kita harus genjot juga, tapi dengan tadi (secara) terukur,” ucap Luhut.
Selanjutnya, ia juga menentang ucapan Thomas bahwa perusahaan raksasa Tesla di Shanghai telah sepenuhnya menggunakan bahan baku LFP untuk produksi setiap mobil listriknya. Luhut menyebut, Tesla hingga saat ini masih menggunakan baterai berbahan dasar nikel, yang dipasok oleh pabrik baterai LG di Korea Selatan.
Luhut pun menjelaskan tentang kinerja produk hilirisasi nikel di dalam negeri yang diklaim terus naik. Berdasarkan catatannya, harga rata-rata nikel dunia selama 10 tahun terakhir sejak 2014 adalah senilai 15 ribu dollar AS, atau lebih rendah dibandingkan harga sekarang yang berada di level 16 ribu dollar AS.
“Bahkan pada periode 2014–2019, ketika awal-awal periode hilirisasi mulai kita lakukan, harga rata-rata nikel dunia hanya sebesar 12 ribuan dollar AS,” katanya.
Ia pun menekankan bahwa pemerintah terus berupaya mencari keseimbangan terhadap harga nikel agar tetap diminati produsen mobil listrik hingga belasan tahun yang akan datang. Sebab, harga nikel yang terlalu tinggi juga dinilai berbahaya bagi kestabilan ekosistem kendaraan listrik di dalam negeri—termasuk harga bahan baku baterai ini.
“Kita belajar dari kasus kobalt. Tiga tahun lalu harganya begitu tinggi, orang akhirnya mencari bentuk baterai lain. Itu salah satu lahirnya lithium ferro phospate itu. Jadi ini kalau kita juga membuat harga itu ketinggian, orang akan cari alternatif lain. Teknologi berkembang sangat cepat,” tutur Luhut.
Selain itu, Luhut menerangkan tentang capaian ekspor produk turunan nikel selama periode Januari–November 2023 yakni mencapai 31,30 miliar dollar AS, naik 0,6 persen dibandingkan ekspor periode yang sama pada tahun 2022 yaitu sebesar 31,13 miliar dollar AS.
“Meskipun produksi kita meningkat cukup signifikan, bukan berarti pendapatan kita menurun,” ucapnya.
Comments