in ,

Nilai Ekspor Hilirisasi Nikel Capai Rp 507 T pada 2022

nilai ekspor hilirisasi nikel
FOTO: IST

Nilai Ekspor Hilirisasi Nikel Capai Rp 507 T pada 2022

Pajak.com, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, nilai ekspor produk hilirisasi nikel sepanjang 2022 telah mencapai 33,81 miliar dollar AS atau sekitar Rp 507 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per dollar AS).

“Dulu pendapatan kita hanya 4 miliar dollar AS di tahun 2017. Tahun lalu 34 miliar dollar AS. Artinya, angka itu melonjak 745 persen dari nilai ekspor pada tahun 2017, ketika Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa bijih nikel. Dan tahun ini saya pikir bisa naik,” ungkap Luhut dalam acara Jakarta Geopolitical Forum VII, dikutip Pajak.com (15/6).

Ia yakin, hilirisasi nikel memiliki banyak manfaat bagi negara. Selain meningkatkan perekonomian di dalam negeri, juga menciptakan lapangan pekerjaan dan mendorong usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Baca Juga  Pemerintah Bakal Tarik Utang Lebih Awal Rp 775,86 Triliun untuk APBN 2025 

Untuk itu, pemerintah terus mendorong program hilirisasi dalam negeri. Luhut menegaskan, Pemerintah Indonesia tidak akan melakukan kegiatan penjualan bahan mentah ke luar negeri, meskipun Uni Eropa menggugat ke World Trade Organization (WTO).

“Kenapa kita tidak boleh mengolah mineral kita sendiri? kenapa harus diekspor (bahan mentah nikel)? What the hell, sorry to say, forgive me. WTO telah memaksa kita untuk mengekspor mineral kita sendiri. Lihat lah Indonesia sekarang. Indonesia sudah mendapatkan keuntungan melalui hilirisasi industri mineral, itu baru satu jenis komoditas bijih nikel,” ungkap Luhut.

Pada kesempatan berbeda, pengamat perdagangan Internasional Deny W Kurnia menjelaskan, gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia tidak terlepas dari sejarah berdirinya WTO.

Ia menguraikan, WTO didirikan tahun 1995, yang sebelumnya merupakan pengembangan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang sekitar tahun 1970-1980. WTO dibentuk oleh negara-negara yang sudah memiliki processing industry, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang demi mengamankan pasokan bahan baku.

Baca Juga  Menkeu Sri Mulyani Beberkan Strategi Indonesia Keluar dari “Middle Income Trap”

“Maka, dalam regulasi dibentuk larangan bahwa ekspor jangan dihambat, termasuk bahan mentah karena dalam rangka processing industry mereka,” jelas Denny.

Di sisi lain, Indonesia justru mengeluarkan kebijakan industri pengolahan baru di dalam negeri yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan dijalankan sepenuhnya pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Otomatis Uni Eropa menganggap aturan ini akan menyulitkan mereka dalam menjalankan pengembangan industri besi dan baja. Akhirnya, Uni Eropa pun menggugat Indonesia ke WTO.

“Prinsip utama WTO tidak bisa memundurkan liberalisasi. Makanya, pemerintah mesti mencari strategi agar bisa tetap melakukan hilirisasi pengolahan mineral di dalam negeri dengan menghadapi penentangan dari negara yang merasa dihalangi akses bahan bakunya. Opsi yang disampaikan, Indonesia akan membuat aturan baru saja, misalnya saja mengenakan pajak ekspor untuk komoditas bijih nikel. Itu bisa menjadi strategi untuk keluar dari vonis pengadilan di WTO,” kata Denny.

Baca Juga  PLN Manfaatkan Limbah Operasional Kantor Bank Indonesia di NTT Jadi Bahan “Co-firing” PLTU Bolok

Menurutnya, pajak ekspor dapat menjadi instrumen yang dapat dilakukan Pemerintah Indonesia dalam menghadapi kekalahan gugatan Uni Eropa di WTO.

“Berikan saja jenis-jenis pajak berbeda-beda, itu expertise-nya kementerian keuangan. Mereka bisa temukan formula yang pas untuk mencapai tujuan, yaitu kita (Indonesia) lolos dari vonis pengadilan WTO sekaligus tidak menyebabkan rush ekspor bahan mentah nikel kita ke luar negeri,” kata Denny.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *