Dengan begitu, ia yakin, platform digital dan marketplace lebih mudah diajak bekerja sama untuk melakukan pemungutan perpajakan. Aturan di RUU HPP ini lebih efektif, efisien, dan tidak mengganggu bisnis marketplace.
“Ini semua juga ditopang oleh pengaturan baru tentang PPN (pajak pertambahan nilai) final. UU HPP memberikan payung di pasal 9a agar pemajakan lebih sederhana untuk sektor atau barang jasa tertentu sehingga mempermudah pelaku usaha,” tambah Prastowo.
Kemudian, RUU HPP seirama dengan konsensus global dalam memerangi praktik penghindaran pajak di era digital, khususnya yang dilakukan oleh WP orang pribadi/kaya.
“Berdasarkan data TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional. Intervensi bilateral sudah cukup kuat, bagaimana automatic exchange of information (AEOI) itu juga diarahkan untuk menangkal praktik penghindaran pajak,” jelas Prastowo.
Dengan demikian, ia memastikan, bahwa pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan pemajakan di era digital melalui RUU HPP. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pemajakan sehingga penerimaan negara lebih optimal dan dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional.
“Meminjam penjelasan Daniel S. Goldberg, profesor hukum pajak dari Universitas Maryland, bahwa digitalisasi menimbulkan pergeseran konsep-konsep perpajakan dari yang selama ini ada, tetapi ternyata menjadi tidak relevan lagi. Regulasi-regulasi perpajakan yang terbit dalam beberapa waktu terakhir berupaya mencapai relevansi itu,” kata Prastowo.
Comments